Senin, 21 Juli 2014

Ainoshi (ketika di ambang batas)

Gadis dan Mawar

dua puluh tangkai mawar di  meja itu lebih pasrah dari kelihatannya
tunggu ada yang berbisik waktunya mereka tanggal
mereka menatap gadis berkerudung jingga lengkap dengan segaris senyum
dalam mata dan hati yang mengusut bayang-bayang kenangan
andai bisa bicara jangan pada malaikat;
ketika kelopak-kelopaknya mesti membusuk lalu tanggal
pastilah gembira gadisnya tak jadi merunduk
ingat selalu pemberi mawar itu  yang bergantung
antara abadi atau pupus; “lantas bagaimana nasib gadisku?”
tanya salah satu tangkai mawar berkelopak kuning kecoklatan
sementara malaikat makin berdesis untuk mengumumkan
gadisnya akan kehilangan kelopak-kelopaknya
bersama kenangan yang harus pupus; bukan abadi


Permadani

Sebut aku permadani
Yang akan bawa dirimu melayang tinggi
Bersama rasaku yang tiada tepi
Jika kau ingin terbang lagi
Panggil saja aku kembali


Pagar

Andai tidak tahu sekuat apa pagar berdiri,
Jangan coba bersandar padanya
Rupanya kau tak mendengar
dan tetap mengendap masuk
Lalu benih kau tabur di dalamnya
Jika sudah berkembang dan berbuah,
Kau harus tetap di situ
Sebab sang pagar akan menguncimu
Kau telah menabur kebahagiaan, bukan?
Tapi jika kau bersikeras untuk keluar
Mendobrak sang pagar hingga roboh
Lalu ia rusak dan tak lagi berdiri
Bukan dari besi, hanya sebilah bambu kuning
Jadilah ia terkapar di tanah merah
Apa yang dikata tadi?
Jangan sentuh pagar itu!



Kisahku Dalam Hujan

Ketika usia baru disambut derai hujan
Yang memaparkan cerita tempo lalu
Tentang cintaku yang tak kunjung punah
Tentang cintamu yang belum dapat ku pahami
Dingin yang lalu begitu hangat berkat dirimu
Namun kali ini aku dibuat membeku

Hujan ini tak lagi sama rupanya
Tiap bulirnya membawa kisah-kisahku
Saat dirimu ada dan tiada
Diantara masa depan dan kenangan
Tak ingin melaju tapi mundur pun enggan
Maka harus kemanakah aku harus berpihak?

Sapaan hujan kusertakan salam rindu
Untuk engkau yang tak jelas
Untuk dirimu yang masih semu



0 komentar:

Posting Komentar