Keseimbangan
Kau sedang gencar-gencarnya mensejajarkan kaki denganku. Hingga pada suatu hari, kita mulai saling bergandengan (kau yang curi start). Tanpa penolakan sekecil apapun, aku seolah bersedia melenggang denganmu di atas jalan setapak yang sama.
Mengapa tangan kita bersatu tanpa tepisan?
Masing-masing dari kita tahu bahwa kau dan aku punya cara pandang yang--sangat--berbeda. Jujur, aku kagum dengan caramu melihat semesta. Kau punya logika yang masuk akal, aku punya intuisi yang kuat. Poin kesamaannya: kita punya keunggulan dalam fitrah masing-masing. Maka tak segan tangan kita pun saling merangkul, saling menuntun.
Perlukah saling menuntun?
Ya. Hidupku tidak baik dalam segala hal. Aku masih menemukan pondasi-pondasi yang terkikis keraguan dan ingkar. Kadang marah tak terkendali, kadang berlalu tanpa salah. Kau bisa jadi pengingatku?
Bumi itu seimbang. Aku pernah dapat petuah: jangan pernah mengejar kesempurnaan. Dan, aku pun terpengaruhi. Terlalu sempurna itu membosankan. Yang apa adanya adalah hal terjujur di bumi ini. Kau punya kekosongan, aku punya kekurangan, mungkinkah kita bisa saling menyeimbangi?
Tangan kita masih saling merangkul. Tapi, sampai di persimpangan, masih bisakah kita? Sekali lagi, kau dan aku punya cara pandang yang tak sama. Lebih menakutkan lagi, rangkulanmu tak seerat kemarin saat kita mulai dekat dengan persimpangan jalan. Aku menengadah melihat tubuhmu yang jauh lebih tinggi dariku. Matamu masih menatap lurus tanpa pedulikan aku yang mulai cemas.
Hingga kita benar-benar sampai di persimpangan. Pelan-pelan namun pasti; kita tak lagi bersentuhan. Kau tersenyum bersama mata sipitmu. "Kita tak akan pernah bisa seimbang."
Rabu, 11 November 2015.
-Ree K.
that's good
BalasHapuskalimat sarat makna juga sedikit banyak memainkan logika
Hai, Anon.
BalasHapusTerimakasih sudah membaca.
Aku nggak tau ini cerpen atau puisi, tapi terimakasih komentarnya :)
Let's brainstorming together! Hahahaha i know you, Anon. Xixixi