Perlu kalian
ketahui alasanku menulis surat ini. Tentang seberapa dalam makna persahabatan
yang aku tahu, dan seberapa pentingnya peran sahabat dalam hidupku. Aku memang
tahu arti persahabatan dan bagaimana kisah-kisahnya menurut cerita-cerita dari teman-temanku
yang lain. Dan aku berpikir, kisah-kisah persahabatan yang ada di televisi atau
di novel-novel fiksi itu hanya fiktif belaka dan tidak pernah ada di kehidupan
nyata. Kisah-kisah itu cuma karangan yang dibuat-buat supaya penikmatnya
memberi ratting tinggi.
Tapi,
beberapa waktu ini, aku menjilat ludah sendiri dan menelannya dalam-dalam. Aku
mulai sadar, dan aku mulai paham. Kisah persahabatan itu terjadi dalam alur
kehidupanku. Aku tahu alasan mengapa punya sahabat itu penting. Aku tahu ketika
dihadapkan dua pilihan antara sahabat dengan hal lain aku harus memilih yang
mana. Aku tahu rasanya ketika aku terjatuh dalam lubang kehidupan, dan dunia
seakan memojokkanku, ada orang yang setia di sampingku. Orang-orang yang
bersedia menemani aku ketika aku terpuruk, yang selalu ada ketika aku putus
asa, yang selalu membuatku tersenyum dan semangat.
Bersama
kalian, aku bisa merasakan dan memahami itu semua. Kalian peran penting dalam
hidupku. Sahabat...
Nur
Azizah...
Si
bungsu dalam keluarga keduaku (Long Way K 11). Yang sifatnya begitu
kekanak-kanakkan. Kalau dilihat-lihat, orang yang akrab disapa Nuy ini tidak
nampak seperti anak berusia 18 tahun. Mungkin seperti 3 tahun lebih muda. Dia
penggila Thinkker Bell.
Aku dan Nuy menjadi
semakin dekat ketika aku memintanya untuk membantuku melatih Paskibra di SMK
Budhi Cendekia. Dia selalu bersedia menemani sekaligus membantu melatih
anak-anak kelas X dan XI untuk mengikuti perlombaan (tanpa dibayar).
Kami
pernah terlibat cinta segitiga. Aku dan Nuy menyukai orang yang sama.
Sampai-sampai kejadian itu membuat kami merasa saling tidak enak. Orang yang
aku sukai itu juga menyukai aku (katanya). Otomatis aku dihadapkan dengan dua
pilihan. Satu anak laki-laki, atau satu orang sahabat. Ck!
Aku
mencoba untuk buka-bukaan pada Nuy. Kukatakan semua yang sebenar-benarnya.
Meskipun berat hati (terlihat dari wajahnya), ia mau menerima kenyataan. Aku
dengan anak laki-laki itu semapt dekat. Tapi hanya sebentar. Dari awal aku tahu
perasaanku pada anak laki-laki itu hanya sesaat. Tidak seperti perasaanku pada
seseorang di sana hingga saat ini aku belum bisa move on.
Akhirnya,
aku memilih sahabatku, Nuy. Meskipun anak laki-laki itu nembak aku dan menginginkan aku menjadi pacarnya. Tapi, hatiku
berbicara: Ada sahabat yang selalu
bersamamu dan lebih mengenalmu. Dibandingkan laki-laki yang memancing hasrat
untuk sesaat.
Dari
situlah, awal aku memahami arti persahabatan. Aku memilih untuk menjauh dari
anak laki-laki itu. Alhasil, semua makin terkuak kejelasannya. Anak laki-laki
itu dengan mudahnya pergi dan dengan cepatnya pula mengantongi perempuan lain.
Beruntung untuk aku yang hampir jatuh pada seorang player.
Nuy
sudah kuanggap seperti adik kandungku. Jadi, pilihanku itu bukan tanpa alasan.
Melainkan aku yang paham tentang arti persahabatan serta kekeluargaan.
Iis
Aisyah Sanmas...
Si
K-popers yang usianya hanya terpaut
4 bulan lebih tua daripada aku. Biasa disapa Mae. Aku sendiri lupa darimana
asal-muasal panggilan itu.
Orang
kedua yang setia menemani sekaligus membantuku melatih (tanpa dibayar juga).
Aku, Nuy dan Mae akhirnya disebut sebagai pelatih Paskibra SMK Budhi Cendekia.
Dari awal aku merasa tidak enak pada Nuy dan Mae karena mereka bersedia
mengeluarkan tenaga, menguras pikiran dan selalu berusaha meluangkan waktunya tanpa
dibayar sepeserpun. Aku juga malu pada diriku sendiri selain pada mereka.
Kami
menjadi lebih dekat dan kemana-mana selalu bersama. Kami jadi sering hang out bersama, pajama’s party, dan malam mingguan bersama.
Suatu
ketika, aku merasa dunia sedang menghujamku dengan berbagai masalah. Cacian,
hujatan, tuduhan, serta lirikkan tajam dari lingkungan membuatku muak dengan
semuanya. Tapi aku tidak merasa sendiri. Ada
Nuy juga Mae. Terlebih Mae, yang kebetulan rumah kami berdekatan, aku
jadi lebih sering menumpahkan keluhanku padanya. Beberapa kali ia sering
menginap di rumahku. Sepulang dari kantor, kami selalu berangkat bersama menuju
sekolah untuk ngelatih. “Mae, tunggu di rumah yaa. Aku bawa motor,
kok.” Itu kalimat dariku ketika kami janjian untuk pergi melatih bersama.
Aku
dan Mae jadi sangat dekat. Bahkan orang tuaku sendiri sangat senang jika ada
Nuy dan Mae main ke rumah. Aku pun melihat mama sangat cocok ketika mengobrol
dengan Mae.
Ketika
aku kebingungan diantara dua kubu, sementara dari masing-masing kubu aku merasa
serba salah. Ketika beberapa pihak menyalahkan aku walaupun sebenarnya bukan
begitu kenyataannya. Ketika semua seperti menjauh, adik-adik junior di sekolah
sendiri, kakak-kakak senior yang melempar pandangan aneh, dan pihak-pihak lain
yang bersikap sangat tidak dewasa. Mae...aku rasa dia yang paling mengerti aku,
mengerti posisiku. Yang paling bisa merasakan sekaligus selalu memiliki
pendapat yang sama denganku.
Dan
seringnya kami melakukan hal-hal bersama, aku menemukan titik nyaman dalam
dirinya. Yang paling aku suka adalah ketika kami bertukar cerita tentang
pekerjaan kami di kantor, tentang cita-cita kami di masa depan, atau tentang
hal-hal yang kami sukai. Aku sudah menganggapnya sebagai saudara perempuanku
yang sebelumnya aku tak pernah punya.
Anisa
Apriyani...
Dia
6 bulan lebih tua dariku. Si pecinta warna hitam yang sifatnya berbanding
terbalik dengan Nuy. Dia lebih dewasa, punya wibawa yang lain. Berparas ayu dan
sholehah. Dulu penggila One Direction. Tapi sekarang, entahlah. Sepertinya dia
sudah move on dari One-D. Terkecuali move on dari....(Skip)
Sifat
kedewasaannya inilah yang membuatku nyaman ketika bercerita padanya. Aku lebih
sering menumpahkan kegalauanku padanya, dia yang amat sangat tahu satu persatu
kejadian-kejadian dalam hidupku. Terutama tentang “seseorang” di sana itu yang
membuatku tidak ada henti-hentinya merengek. Dia juga mampu mengerti apa yang
aku rasakan, sama halnya dengan Mae. Nuy juga bisa merasakan, dia juga sangat
peka, tapi tertutupi dengan sifat kekanak-kanakkannya yang tidak membuatnya
menanggapi dengan serius.
Anis,
begitu panggilan akrabnya. Dia sangat pandai berbicara di depan public. Dan aku sangat menyukai ketika
ia memberi saran untukku saat aku bercerita. Saran yang sangat membangun.
Terlebih ketika aku bercerita tentang perceraian orang tuaku, ekspresi wajahnya
dan matanya menunjukkan kepedulian yang tidak oernah aku dapatkan dari
siapapun. Itu yang aku butuhkan, meski bukan kata-kata yang ia keluarkan.
Hal yang paling aku
ingat sampai detik ini adalah, ketika aku dirundung bingung, ketika aku tidak
lagi kuasa menahan air mata dan menangis di depan semuanya. Di hadapan
adik-adik junior, ia berbicara tentang aku dan seolah-olah membelaku. Kata-katanya
berusaha menyadarkan mereka bahwa aku jauh lebih merana dibanding mereka yang
lelah karena latihan yang penuh tekanan. Di belakangnya, aku sangat terharu.
Hatiku tersentuh.
Dan
di waktu itulah, aku kembali menemukan makna persahabatan. Tentang adanya
mereka ketika aku terjatuh.
Kemal
Arigi...
Si
anak rimba penggila sejarah dan Chelsea
yang terlihat sangat tua padahal umurnya hanya terpaut beberapa bulan
denganku. Memiliki wajah paling boros. Bangke. Begitulah panggilan akrabnya.
Dia
yang aku anggap sebagai kakak laki-laki, seperti kakak-kakakku yang lainnya.
Sebenarnya aku dan dia baru sekali berkenalan ketika aku masuk ke SMK Budhi
Cendekia sebagai pelatih. Aku mengenalnya karena dulu dia naksir salah satu
rekanku di Paskibra. Dia berencana PDKT yang berakhir dengan penolakkan dari
pihak si perempuan. Menyedihkan.
Dia
tahu permasalahanku dengan Nuy ketika kami terlibat cinta segitiga. Dia tahu
masalah keluargaku, mulai dari ketika aku dipusingkan dengan kabar “Thalaq” dan
perceraian orang tuaku. Dia tahu tentang “seseorang” itu. Dia tahu
kebingunganku diantara dua kubu yang membuatku serba salah di keduanya. Dia
mengetahui semuanya. Meskipun aku belum lama mengenalnya, tapi aku sudah
menemukan titik kenyamanan dalam dirinya. Semua problem aku ceritakan padanya seolah ia adalah tempat untuk aku
menumpahkan kepahitan hidup yang aku alami. Di depannya aku tertawa, di
depannya aku menangis, di depannya aku marah. Tapi ia tak pernah bosan
mendengar keluhanku.
Bangke.
Yang selalu bersedia mengantarku kemana saja. Yang selalu siap ketika aku
meminta bantuan apapun. Yang selalu mentraktir, dan mengantarku pulang jika
larut malam. Dia yang selalu ada ketika aku terpuruk.
Dia...Menyukai
Ina, kemudian Nuy, lalu Mae, lalu Anggra, dan sekarang...Aku. Ya! Tanpa orang
bilang, tanpa ia berkata pun, aku sudah menaangkap feeling itu. Awalnya aku memang senagaj menjauh. Tapi tidak terlalu
terlihat, karena aku memang terkesan cuek dengan anak itu. Tapi, mungkin
langkahku terlalu jauh. Hingga saat ini, aku merasa dia berbeda. Dan aku
sedikit menyesali langkah yang aku ambil untuk menjauh darinya. Tapi aku
mengambil keputusan ini karena aku tidak menginginkan dia menyukaiku. Itu cuma
akan merusak persahabatan kami. Dan itu terbukti sekarang.
Untuk
semua ...
Nuyee-San:
Aku
pikir dulu kita terlalu bodoh ketika kita terlibat dalam cinta segitiga itu.
Kau tahu? Aku jadi depresi saat diantara kita timbul masalah demikian, dalam
waktu bersamaan aku mendengar kabar mamaku yang kena Thalaq. Dan dipusingkan
dengan tingkah salah satu junior kita. Juga tentang pekerjaanku yang membuat
otakku sumpek. Ya Tuhan, ini terlalu berat.
Tapi,
aku disadarkan dengan sesuatu. Ketika kau memilih menerima dengan ikhlas, dan
akupuun lebih memilihmu dibanding anak laki-laki itu, kita jadi semakin dekat.
Ini membuktikan bahwa kita sama-sama menganggap penting sebuah persahabatan.
Maee:
Aku
sangat senang punya teman, sahabat, sekaligus saudara sepertimu. Padahal dulu
kita pernah satu kelas saat dibangku SMP kelas IX, dengan Anis juga. Tapi kita
tidak pernah dekat. Dan aku sangat tidak menyangka kita sudah melewati banyak
peristiwa bertahun-tahun.
Maee...belakangan
ini aku merasakan ada yang aneh. Kau seperti menghindar atau menjauh. Aku
mencoba menebak-nebak alasannya. Terakhir kali ketika kita saling balas mention di twitter. Dan aku mengambil keputusan, bahwa kau
merasa tidak suka ketika aku mengirim mention dengan kalimat yang terkesan “menggurui”. Benarkah? Aku menyadari hal
itu. Dan aku sangat sangat menyesali sikapku yang aku sendiri tidak bermaksud
demikian. Maksudku hanya ingin mengingatkan. Tapi maaf jika kau mengira kalau
aku sedang mengguruimu. Maaf...
Anis:
Anis...terimakasih
banyak atas sempatnya kamu untuk mendengarkan cerita-ceritaku. Aku tahu kau
pernah merasa tidak suka denganku, dengan sikapku yang membuatmu jadi berpikir
aneh tentang diriku.
Tapi
kedewasaanmulah yang membuatmu tidak begitu aneh. Kau menyikapinya dengan
tenang.
Dan
terimakasih juga atas pembelaannya di depan adik-adik Paras saat malam gladi
untuk lomba di Lembang kemarin.
Bangke:
Hoy,
Bang! Aku sudah katakan dari awal, jangan sampai suka denganku! Sekarang lihat,
aku jadi menjauh darimu. Tapi langkahku kelewat jauh dan membuat keadaan
semakin kacau. Akhirnya kau pun jadi berubah.
Aku
memang sengaja menjauh darimu dan Henda. Karena aku tidak mau kalian berdua
mempunyai perasaan lebih untukku. Aku lebih suka kalian menjadi sahabat atau
bahkan kakakku. Tidak lebih. Kau puun tahu sendiri, aku masih belum bisa lepas
dari bayangan “seseorang” di sana.
Kalian
para sahabat-sahabatku, sekaligus keluargaku...
Saat ini
aku merasa kalian jadi aneh. Mungkin tidak semua, hanya beberapa. Semua seakan
menjauh. Dan aku merasa sendirian.
Mungkin
ada beberapa sikapku yang menjengkelkan, dan membuat kalian dongkol dalam hati.
Tapi maafkanlah, aku khilaf. Maafkan atas sikapku yang seperti sok tahu,
terkesan menggurui, terkesan ingin dipuji, egois, terkesan curi-curi perhatian.
Ya! Aku menyadari itu semua setelah aku merenung dalam satu waktu
kesendirianku.
Kalian
tahu? Saat ini aku sedang merasakan hari-hari terberat. Tentang keluargaku,
pekerjaanku, masa depan dan cita-citaku yang mengambang tanpa kejelasan.
Ditambah kalian semua tidak ada di sini.
Tapi
tidak apa. Mungkin kalian bosan dengan kepenatan kemarin saat kita sedang
kesusahan. Maaf, lebih tepatnya aku.
Nuy,
Maee, Anis dan Bangke...Terimakasih banyak. Terimakasihh atas waktu, tenaga,
uang, dan banyak hal lainnya yang kalian keluarkan. Aku tidak mampu membayar
semuanya satu persatu. Tapi akan kuusahakan untuk membalas kalian. Selebihnya
biar Tuhan yang membalas dengan Rahmat
dan Kasih-Nya.
Sekali
lagi terimakasih, dan maafkan...
Salam Hangat,
Kuree
keren teh :) tapi ga ada aku nya -_- wkwk
BalasHapusAlhamdulillah..Makasih :) Isshh...Kalau ada weni jadi nggak bagus :p hahaha kidding cantik :D
BalasHapus