Rabu, 28 Mei 2014

Surat untuk Sahabat



Perlu kalian ketahui alasanku menulis surat ini. Tentang seberapa dalam makna persahabatan yang aku tahu, dan seberapa pentingnya peran sahabat dalam hidupku. Aku memang tahu arti persahabatan dan bagaimana kisah-kisahnya menurut cerita-cerita dari teman-temanku yang lain. Dan aku berpikir, kisah-kisah persahabatan yang ada di televisi atau di novel-novel fiksi itu hanya fiktif belaka dan tidak pernah ada di kehidupan nyata. Kisah-kisah itu cuma karangan yang dibuat-buat supaya penikmatnya memberi ratting tinggi.
            Tapi, beberapa waktu ini, aku menjilat ludah sendiri dan menelannya dalam-dalam. Aku mulai sadar, dan aku mulai paham. Kisah persahabatan itu terjadi dalam alur kehidupanku. Aku tahu alasan mengapa punya sahabat itu penting. Aku tahu ketika dihadapkan dua pilihan antara sahabat dengan hal lain aku harus memilih yang mana. Aku tahu rasanya ketika aku terjatuh dalam lubang kehidupan, dan dunia seakan memojokkanku, ada orang yang setia di sampingku. Orang-orang yang bersedia menemani aku ketika aku terpuruk, yang selalu ada ketika aku putus asa, yang selalu membuatku tersenyum dan semangat.
                Bersama kalian, aku bisa merasakan dan memahami itu semua. Kalian peran penting dalam hidupku. Sahabat...

Nur Azizah...
                Si bungsu dalam keluarga keduaku (Long Way K 11). Yang sifatnya begitu kekanak-kanakkan. Kalau dilihat-lihat, orang yang akrab disapa Nuy ini tidak nampak seperti anak berusia 18 tahun. Mungkin seperti 3 tahun lebih muda. Dia penggila Thinkker Bell.
Aku dan Nuy menjadi semakin dekat ketika aku memintanya untuk membantuku melatih Paskibra di SMK Budhi Cendekia. Dia selalu bersedia menemani sekaligus membantu melatih anak-anak kelas X dan XI untuk mengikuti perlombaan (tanpa dibayar).
                Kami pernah terlibat cinta segitiga. Aku dan Nuy menyukai orang yang sama. Sampai-sampai kejadian itu membuat kami merasa saling tidak enak. Orang yang aku sukai itu juga menyukai aku (katanya). Otomatis aku dihadapkan dengan dua pilihan. Satu anak laki-laki, atau satu orang sahabat. Ck!
                Aku mencoba untuk buka-bukaan pada Nuy. Kukatakan semua yang sebenar-benarnya. Meskipun berat hati (terlihat dari wajahnya), ia mau menerima kenyataan. Aku dengan anak laki-laki itu semapt dekat. Tapi hanya sebentar. Dari awal aku tahu perasaanku pada anak laki-laki itu hanya sesaat. Tidak seperti perasaanku pada seseorang di sana hingga saat ini aku belum bisa move on.
                Akhirnya, aku memilih sahabatku, Nuy. Meskipun anak laki-laki itu nembak aku dan menginginkan aku menjadi pacarnya. Tapi, hatiku berbicara: Ada sahabat yang selalu bersamamu dan lebih mengenalmu. Dibandingkan laki-laki yang memancing hasrat untuk sesaat.
                Dari situlah, awal aku memahami arti persahabatan. Aku memilih untuk menjauh dari anak laki-laki itu. Alhasil, semua makin terkuak kejelasannya. Anak laki-laki itu dengan mudahnya pergi dan dengan cepatnya pula mengantongi perempuan lain. Beruntung untuk aku yang hampir jatuh pada seorang player.
                Nuy sudah kuanggap seperti adik kandungku. Jadi, pilihanku itu bukan tanpa alasan. Melainkan aku yang paham tentang arti persahabatan serta kekeluargaan.

Iis Aisyah Sanmas...
                Si K-pop­ers yang usianya hanya terpaut 4 bulan lebih tua daripada aku. Biasa disapa Mae. Aku sendiri lupa darimana asal-muasal panggilan itu.
                Orang kedua yang setia menemani sekaligus membantuku melatih (tanpa dibayar juga). Aku, Nuy dan Mae akhirnya disebut sebagai pelatih Paskibra SMK Budhi Cendekia. Dari awal aku merasa tidak enak pada Nuy dan Mae karena mereka bersedia mengeluarkan tenaga, menguras pikiran dan selalu berusaha meluangkan waktunya tanpa dibayar sepeserpun. Aku juga malu pada diriku sendiri selain pada mereka.
                Kami menjadi lebih dekat dan kemana-mana selalu bersama. Kami jadi sering hang out bersama, pajama’s party, dan malam mingguan bersama.
                Suatu ketika, aku merasa dunia sedang menghujamku dengan berbagai masalah. Cacian, hujatan, tuduhan, serta lirikkan tajam dari lingkungan membuatku muak dengan semuanya. Tapi aku tidak merasa sendiri. Ada  Nuy juga Mae. Terlebih Mae, yang kebetulan rumah kami berdekatan, aku jadi lebih sering menumpahkan keluhanku padanya. Beberapa kali ia sering menginap di rumahku. Sepulang dari kantor, kami selalu berangkat bersama menuju sekolah untuk ngelatih. “Mae, tunggu di rumah yaa. Aku bawa motor, kok.” Itu kalimat dariku ketika kami janjian untuk pergi melatih bersama.
                Aku dan Mae jadi sangat dekat. Bahkan orang tuaku sendiri sangat senang jika ada Nuy dan Mae main ke rumah. Aku pun melihat mama sangat cocok ketika mengobrol dengan Mae.
                Ketika aku kebingungan diantara dua kubu, sementara dari masing-masing kubu aku merasa serba salah. Ketika beberapa pihak menyalahkan aku walaupun sebenarnya bukan begitu kenyataannya. Ketika semua seperti menjauh, adik-adik junior di sekolah sendiri, kakak-kakak senior yang melempar pandangan aneh, dan pihak-pihak lain yang bersikap sangat tidak dewasa. Mae...aku rasa dia yang paling mengerti aku, mengerti posisiku. Yang paling bisa merasakan sekaligus selalu memiliki pendapat yang sama denganku.
                Dan seringnya kami melakukan hal-hal bersama, aku menemukan titik nyaman dalam dirinya. Yang paling aku suka adalah ketika kami bertukar cerita tentang pekerjaan kami di kantor, tentang cita-cita kami di masa depan, atau tentang hal-hal yang kami sukai. Aku sudah menganggapnya sebagai saudara perempuanku yang sebelumnya aku tak pernah punya.

Anisa Apriyani...
                Dia 6 bulan lebih tua dariku. Si pecinta warna hitam yang sifatnya berbanding terbalik dengan Nuy. Dia lebih dewasa, punya wibawa yang lain. Berparas ayu dan sholehah. Dulu penggila One Direction. Tapi sekarang, entahlah. Sepertinya dia sudah move on dari One-D. Terkecuali move on dari....(Skip)
                Sifat kedewasaannya inilah yang membuatku nyaman ketika bercerita padanya. Aku lebih sering menumpahkan kegalauanku padanya, dia yang amat sangat tahu satu persatu kejadian-kejadian dalam hidupku. Terutama tentang “seseorang” di sana itu yang membuatku tidak ada henti-hentinya merengek. Dia juga mampu mengerti apa yang aku rasakan, sama halnya dengan Mae. Nuy juga bisa merasakan, dia juga sangat peka, tapi tertutupi dengan sifat kekanak-kanakkannya yang tidak membuatnya menanggapi dengan serius.
                Anis, begitu panggilan akrabnya. Dia sangat pandai berbicara di depan public. Dan aku sangat menyukai ketika ia memberi saran untukku saat aku bercerita. Saran yang sangat membangun. Terlebih ketika aku bercerita tentang perceraian orang tuaku, ekspresi wajahnya dan matanya menunjukkan kepedulian yang tidak oernah aku dapatkan dari siapapun. Itu yang aku butuhkan, meski bukan kata-kata yang ia keluarkan.
Hal yang paling aku ingat sampai detik ini adalah, ketika aku dirundung bingung, ketika aku tidak lagi kuasa menahan air mata dan menangis di depan semuanya. Di hadapan adik-adik junior, ia berbicara tentang aku dan seolah-olah membelaku. Kata-katanya berusaha menyadarkan mereka bahwa aku jauh lebih merana dibanding mereka yang lelah karena latihan yang penuh tekanan. Di belakangnya, aku sangat terharu. Hatiku tersentuh.
                Dan di waktu itulah, aku kembali menemukan makna persahabatan. Tentang adanya mereka ketika aku terjatuh.

Kemal Arigi...
                Si anak rimba penggila sejarah dan Chelsea  yang terlihat sangat tua padahal umurnya hanya terpaut beberapa bulan denganku. Memiliki wajah paling boros. Bangke. Begitulah panggilan akrabnya.
                Dia yang aku anggap sebagai kakak laki-laki, seperti kakak-kakakku yang lainnya. Sebenarnya aku dan dia baru sekali berkenalan ketika aku masuk ke SMK Budhi Cendekia sebagai pelatih. Aku mengenalnya karena dulu dia naksir salah satu rekanku di Paskibra. Dia berencana PDKT yang berakhir dengan penolakkan dari pihak si perempuan. Menyedihkan.
                Dia tahu permasalahanku dengan Nuy ketika kami terlibat cinta segitiga. Dia tahu masalah keluargaku, mulai dari ketika aku dipusingkan dengan kabar “Thalaq” dan perceraian orang tuaku. Dia tahu tentang “seseorang” itu. Dia tahu kebingunganku diantara dua kubu yang membuatku serba salah di keduanya. Dia mengetahui semuanya. Meskipun aku belum lama mengenalnya, tapi aku sudah menemukan titik kenyamanan dalam dirinya. Semua problem aku ceritakan padanya seolah ia adalah tempat untuk aku menumpahkan kepahitan hidup yang aku alami. Di depannya aku tertawa, di depannya aku menangis, di depannya aku marah. Tapi ia tak pernah bosan mendengar keluhanku.
                Bangke. Yang selalu bersedia mengantarku kemana saja. Yang selalu siap ketika aku meminta bantuan apapun. Yang selalu mentraktir, dan mengantarku pulang jika larut malam. Dia yang selalu ada ketika aku terpuruk.
                Dia...Menyukai Ina, kemudian Nuy, lalu Mae, lalu Anggra, dan sekarang...Aku. Ya! Tanpa orang bilang, tanpa ia berkata pun, aku sudah menaangkap feeling itu. Awalnya aku memang senagaj menjauh. Tapi tidak terlalu terlihat, karena aku memang terkesan cuek dengan anak itu. Tapi, mungkin langkahku terlalu jauh. Hingga saat ini, aku merasa dia berbeda. Dan aku sedikit menyesali langkah yang aku ambil untuk menjauh darinya. Tapi aku mengambil keputusan ini karena aku tidak menginginkan dia menyukaiku. Itu cuma akan merusak persahabatan kami. Dan itu terbukti sekarang.

Untuk semua ...
Nuyee-San:
Aku pikir dulu kita terlalu bodoh ketika kita terlibat dalam cinta segitiga itu. Kau tahu? Aku jadi depresi saat diantara kita timbul masalah demikian, dalam waktu bersamaan aku mendengar kabar mamaku yang kena Thalaq. Dan dipusingkan dengan tingkah salah satu junior kita. Juga tentang pekerjaanku yang membuat otakku sumpek. Ya Tuhan, ini terlalu berat.
Tapi, aku disadarkan dengan sesuatu. Ketika kau memilih menerima dengan ikhlas, dan akupuun lebih memilihmu dibanding anak laki-laki itu, kita jadi semakin dekat. Ini membuktikan bahwa kita sama-sama menganggap penting sebuah persahabatan.

Maee:
Aku sangat senang punya teman, sahabat, sekaligus saudara sepertimu. Padahal dulu kita pernah satu kelas saat dibangku SMP kelas IX, dengan Anis juga. Tapi kita tidak pernah dekat. Dan aku sangat tidak menyangka kita sudah melewati banyak peristiwa bertahun-tahun.
Maee...belakangan ini aku merasakan ada yang aneh. Kau seperti menghindar atau menjauh. Aku mencoba menebak-nebak alasannya. Terakhir kali ketika kita saling balas mention di twitter. Dan aku mengambil keputusan, bahwa kau merasa tidak suka ketika aku mengirim mention dengan kalimat yang terkesan “menggurui”. Benarkah? Aku menyadari hal itu. Dan aku sangat sangat menyesali sikapku yang aku sendiri tidak bermaksud demikian. Maksudku hanya ingin mengingatkan. Tapi maaf jika kau mengira kalau aku sedang mengguruimu. Maaf...

Anis:
Anis...terimakasih banyak atas sempatnya kamu untuk mendengarkan cerita-ceritaku. Aku tahu kau pernah merasa tidak suka denganku, dengan sikapku yang membuatmu jadi berpikir aneh tentang diriku.
Tapi kedewasaanmulah yang membuatmu tidak begitu aneh. Kau menyikapinya dengan tenang.
Dan terimakasih juga atas pembelaannya di depan adik-adik Paras saat malam gladi untuk lomba di Lembang kemarin.

Bangke:
Hoy, Bang! Aku sudah katakan dari awal, jangan sampai suka denganku! Sekarang lihat, aku jadi menjauh darimu. Tapi langkahku kelewat jauh dan membuat keadaan semakin kacau. Akhirnya kau pun jadi berubah.
Aku memang sengaja menjauh darimu dan Henda. Karena aku tidak mau kalian berdua mempunyai perasaan lebih untukku. Aku lebih suka kalian menjadi sahabat atau bahkan kakakku. Tidak lebih. Kau puun tahu sendiri, aku masih belum bisa lepas dari bayangan “seseorang” di sana.

Kalian para sahabat-sahabatku, sekaligus keluargaku...

Saat ini aku merasa kalian jadi aneh. Mungkin tidak semua, hanya beberapa. Semua seakan menjauh. Dan aku merasa sendirian.
Mungkin ada beberapa sikapku yang menjengkelkan, dan membuat kalian dongkol dalam hati. Tapi maafkanlah, aku khilaf. Maafkan atas sikapku yang seperti sok tahu, terkesan menggurui, terkesan ingin dipuji, egois, terkesan curi-curi perhatian. Ya! Aku menyadari itu semua setelah aku merenung dalam satu waktu kesendirianku.

Kalian tahu? Saat ini aku sedang merasakan hari-hari terberat. Tentang keluargaku, pekerjaanku, masa depan dan cita-citaku yang mengambang tanpa kejelasan. Ditambah kalian semua tidak ada di sini.

Tapi tidak apa. Mungkin kalian bosan dengan kepenatan kemarin saat kita sedang kesusahan. Maaf, lebih tepatnya aku.

Nuy, Maee, Anis dan Bangke...Terimakasih banyak. Terimakasihh atas waktu, tenaga, uang, dan banyak hal lainnya yang kalian keluarkan. Aku tidak mampu membayar semuanya satu persatu. Tapi akan kuusahakan untuk membalas kalian. Selebihnya biar Tuhan yang membalas dengan  Rahmat dan Kasih-Nya.

Sekali lagi terimakasih, dan maafkan...
Salam Hangat,
Kuree

2 komentar:

  1. keren teh :) tapi ga ada aku nya -_- wkwk

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah..Makasih :) Isshh...Kalau ada weni jadi nggak bagus :p hahaha kidding cantik :D

    BalasHapus