Senin, 15 Juni 2015

Meet Rere & Bayu: Cinta Itu Logika yang Indah



“Kuperhatikan belakangan ini kau sering melamun. Apa yang kau pikirkan?”
“Sekarang apa yang kau pikirkan tentang aku yang sering melamun?”
“Emm,” aku menerawang langit hitam di atas kami. Menepuk-nepuk jari telunjuk di bibir seolah sedang benar-benar berpikir. “Mungkin kau sedang patah hati? Baru ditinggal kekasihmu?”
Bayu tertawa menanggapi tebakkanku. “Aku belum punya kekasih.”
“Benarkah? Kalau begitu berarti kau sedang jatuh cinta. Kau sedang memikirkan bagaimana cara menyatakan perasaanmu pada gadis yang kau suka.”
“Kurasa kau benar. Aku memang sedang memikirkan seorang gadis.”
Entah kenapa aku merasa Bayu adalah lelaki yang melankolis. Dia memikirkan orang yang disukainya di malam hari, di tempat yang jauh dari keramaian. Tapi sifatnya ini sangat manis. Astaga. Omong-omong, siapa gadis dalam pikiran Bayu?
“Temanku bilang kalau seorang lelaki membutuhkan keberanian yang tinggi untuk menyatakan perasaannya.”
“Temanmu yang mana?” Bayu melirik ke arahku. Aku terkesiap dengan pertanyaan darinya. “Sebenarnya kau menganggap Jordi itu teman atau,”
“Jangan mengalihkan pembicaraan, Bayu. Kita sedang membahas dirimu, bukan aku.”
Aku memang sedang tidak ingin membicarakan Jordi. Mungkin untuk sementara, sebaiknya dia tidak muncul dalam kehidupanku.
“Baiklah. Sampai di mana tadi?”
“Temanku bilang kalau seorang lelaki membutuhkan keberanian yang tinggi untuk menyatakan perasaannya.”
Bayu menatap langit yang bertabur sedikit bintang. Dan aku melempar pandangan pada satu bintang yang paling besar.
“Menyatakan perasaan bukanlah soal keberanian.”
“Lalu?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan.
“Ini soal keyakinan.”
Kami berdua masih sama-sama memandang ke atas. Aku sendiri sangat menikmati tiupan angin malam yang membelai lembut. Anak rambutku tersibak dari pipi. Dan angin malam seperti ini selalu menenangkan. Tanpa deru kendaraan dan kadang terdengar lolong anjing sesekali.
“Bilang cinta memang mudah. Bahkan bisa saja sekarang kukatakan aku mencintaimu, Karenina,” Bayu menoleh, begitupun aku. Mata kami saling bertemu. Saling mencari sesuatu yang tersembunyi di balik pupil mata. Dan aku bisa melihat bayanganku sendiri di matanya. Bayu mengalihkan pandangan kembali ke langit. “Tapi apa itu cinta? Aku sendiri tidak mengerti apa arti dari kalimat ‘aku mencintaimu’. Aku tidak yakin dengan apa yang kuucapkan. Dan aku tidak yakin pada orang yang sedang kupikirkan.”
Untuk beberapa menit aku masih menoleh pada Bayu. Memperhatikan lekuk mata, hidung, dan bibirnya ketika berbicara. Dan aku baru menyadari bahwa dirinya memiliki jambang yang tipis. Kulit wajahnya pun bersih. Tapi tidak seelok wajah Jordi yang tampak sangat terawat.
“Tidak atau belum?”
“Belum. Menurutku, seorang lelaki harus bisa mempertanggung jawabkan apa yang keluar dari mulutnya. Cinta bukan tentang kata dan nafsu. Cinta itu logika. Logika yang indah.”
Aku mendengarkan tiap kata yang terucap oleh Bayu dengan seksama. Kalimat yang ia ucapkan menggambarkan kedewasaan yang ia miliki. Jauh dari dugaan. Di awal pertemuanku dengannya, aku menganggap lelaki ini cuma lelaki penggoda dan senang hura-hura di dunia luar. Lelaki yang begitu pandai mendapatkan gadis incarannya dengan rayuan sebagai pemancing. Tapi malam ini dugaanku dinyatakan salah oleh diriku sendiri. Ada sisi lain dari dalam diri Bayu yang baru kuketahui.
“Lalu, apakah menurutmu Jordi itu salah? Yang dengan mudahnya menyatakan cinta padaku padahal kami baru beberapa kali bertemu?” aku ragu menanyakan hal ini. Tapi entah kenapa aku menginginkan Bayu menjawab ini adalah salah.
Bayu kembali menoleh. “Kau bilang tadi tidak mau membahas Jordi, bukan?”
“Tapi sekarang aku mau. Jawab pertanyaanku, Bayu. Apakah dia salah?”
Bayu tidak langsung menjawab. Dia mengubah posisi duduknya dari bersila menjadi melipat kakinya ke atas dan meletakkan tangannya di atas lutut. Lalu menoleh ke arahku lagi seraya berkata, “Aku tidak tahu.”
Aku mendesah.
“Tidak ada yang tahu hati dan pikiran manusia yang sesungguhnya. Mungkin dia memang telah benar-benar yakin dengan apa yang diucapkannya, dan yakin dengan dirimu.” Nada bicara Bayu tampak lebih serius.
“Kenapa dia bisa begitu cepat yakin? Sementara kau sepertinya membutuhkan waktu yang lama. Apa yang membedakannya?” tanyaku yang juga makin serius.
Bayu menanggapinya dengan tertawa. “Ada apa dengan dirimu, Re? Katakan, apakah kau sedang mencoba memahami kaum lelaki?”
“Tidak juga. Aku bertanya karena aku tidak mengerti.”
“Karenina, semua kembali lagi pada personalnya. Setiap orang kan punya pemikiran masing-masing.”
“Lantas apakah aku harus menanyakannya pada Jordi, kenapa dia begitu cepat dan mudahnya berkata cinta padaku?”
“Astaga, Karenina. Ini akan menjadi malam yang panjang jika kau terus bertanya.” Bayu beranjak dari tempatnya.
“Tunggu! Kau mau kemana?”
Namun, tanpa sadar aku memang menginginkan malam ini berlangsung panjang tanpa kata selesai. Tanpa ada pagi, tanpa matahari yang mengusik ketenangan ini. Entahlah. Aku selalu sulit memahami diriku sendiri.
 “Aku mau mengikuti apa yang hatiku katakan. Kau juga sebaiknya begitu,” Bayu membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke wajahku yang masih terduduk. “Ikuti apa kata hatimu, Karenina.” Lalu ia tersenyum sekali lagi dan berlalu.
***
Pukul sebelas malam aku baru memasuki kamarku. Biasanya di malam-malam bersama Jordi, atau ketika kami saling bicara dalam telefon, ia selalu menyuruhku tidur pukul sembilan malam. Ketika kami jalan berdua malam hari pun ia selalu menyudahi pertemuan kami dengan alasan sudah terlalu malam. Angin malam tidak baik untukku dan untuknya. Seorang gadis tidak baik berada di luar rumah pada malam hari.
Astaga.
Kupikir dia masih mengadopsi mitos-mitos nenek moyangnya. Aku terkadang ragu, apa mungkin Jordi bersikap seperti itu di Singapura yang kotanya lebih modern dari Bandung atau Jakarta? Rasanya sulit dibayangkan.
Aku merebahkan diri dan menutupi tubuhku dengan selimut. Berharap mataku bisa terpejam dengan sendirinya. Saat hendak mematikan lampu tidur yang berdiri di atas laci di sebelah tempat tidur, aku memperhatikan ponselku yang juga terletak di tempat yang sama. Bukan sekadar memperhatikan, tapi aku sedang berpikir tentang Bayu. Aku berniat mengirim pesan untuknya.

Aku menyukai angin malam kali ini.
Kau berceloteh tentang cinta. Dan aku sangat menikmatinya.

Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku ingin sekali mengirim pesan untuknya. Di malam-malam sebelumnya aku tidak pernah sengaja melakukan hal ini. Seringnya dia yang lebih dulu mengirim pesan untukku.
Tak lama masuk balasan:

Kuharap kau ingat dan mencerna semua yang kukatakan tadi, Karenina.

Apa mungkin karena efek angin malam yang terlalu banyak masuk ke dalam tubuhku, membuatku tidak mengerti apa yang dikatakan Bayu. Kata-kata yang mana yang harus kuingat dan kucerna? Lalu kuputuskan untuk menelefonnya.
“Kau ternyata benar-benar ingin malam ini menjadi malam yang panjang, Karenina?” suara Bayu terdengar dari seberang sana. Dan kudengar ia pun tertawa setelahnya.
“Sang Pencipta akan memperpanjang masa persembunyian matahari, jika kau masih saja membuatku bingung, Bayu.”
“Apa yang kau bingungkan? Jordi?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Kata-katamu yang mana yang harus kuingat dan aku cerna? Yang aku ingat saat ini adalah soal kau yang sedang mempersiapkan keyakinan untuk menyatakan perasaanmu pada gadis yang kau sukai.” Diam-diam aku meringis setelah berkata seperti itu. Semacam telah menancapkan duri dalam daging sendiri.
“Kau tahu, Karenina? Sekarang aku makin tidak yakin.”
“Kenapa lagi? Apa dia menghubungimu barusan dan bilang kalau dia akan menikah dengan orang lain?”
“Ha ha ha. Kau ini lucu, Karenina.” Untunglah Bayu tidak sedang melihat wajahku yang mendadak merona setelah dibilang lucu. “Emm, sudahlah. Itu tidak penting. Kau belum mengantuk?”
“Belum. Kau sendiri?”
“Aku ingin memaksakan mataku terpejam. Aku tidak mau berlama-lama bicara denganmu.”
“Apa maksudmu, Bayu?”
“Aku takut kau datang di mimpiku. Selamat malam, Karenina.” Telefon terputus.
Tiba-tiba aku senyum-senyum sendiri setelah Bayu mematikan ponselnya. Ada sesuatu yang lain datang malam ini. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan. Herannya, ini tidak sama dengan yang kurasakan ketika berinteraksi dengan Jordi. Dan herannya lagi, aku baru menyadari belakangan ini aku sering membeda-bedakan antara Jordi dengan Bayu. Kuakui, mereka berdua lelaki yang betul-betul berbeda. Dan malam ini keraguan menghinggap dalam diriku.
Tidak hanya itu. Rasa penasaran yang tinggi menyusup diam-diam. Aku lupa menanyakan siapa gadis yang dimaksud Bayu. Dia belum menceritakannya saat masih di lahan kosong tadi atau ketika aku meneleponnya.
Jendela kamar berdebum keras membuyarkan lamunanku. Aku beranjak mendekati jendela yang ternyata lupa kututup. Kukeluarkan kepala melewati batas kusen jendela. Di seberang sana, jendela kamar Bayu masih memancarkan cahaya lampu. Tidak ada tanda-tanda Bayu di sana. Aku tidak melihat bayangan tubuhnya.
Angin berhembus makin kencang. Dan kegelisahanku makin menjadi tanpa tahu cara mengendalikannya.
***

0 komentar:

Posting Komentar