Aku berharap kegaduhan pada pukul dua belas tepat malam tadi adalah
sebuah mimpi buruk. Betapa tidak, telingaku menangkap suara piring porselin
yang membentur ubin berkali-kali. Beberapa perabot juga menyusul setelahnya. Suara
perempuan melengking di ruangan sebelah. “Biadab! Sudah menggoda banyak wanita,
menghinaku seperti kotoran binatang, menginjak-injak harga diriku yang kau
sebut hanya makan dan tidur di rumah.” Sesekali isaknya terdengar lirih. Walau mataku
tidak melihat secara langsung, tapi aku tahu pipinya lembab.
Kemudian laki-laki yang menjadi lawannya angkat bicara, “Kau lebih
keparat, Miranda! Kerjaanmu hanya memoroti suamimu. Kau habiskan uang untuk
dirimu sendiri. Dan kau jangan munafik, aku tahu akhir-akhir kau sering
berkomunikasi dengan lelaki lain!” Suara laki-laki itu lebih rendah dari lawan
perempuannya. Tapi dengan jelas bisa kudengar bahwa amarahnya sama besar.
“Kau jangan anggap dirimu suci! Memang aku sering menerima telefon dari
lelaki lain belakangan ini. Tapi pikirkan apa yang melatarbelakangi semuanya!
Yang tidak lain adalah karena kesalahan dirimu sendiri, Karman!”
“Kau jangan banyak omong!” Diikuti
dengan lemparan piring porselin sekali lagi.
“Kuakui aku tidak pernah mendapatkan apapun dari pernikahan kita!”
Kemudian, kudengar jeritan dari si kecil Nafa. Ia menangis. Berteriak ketakutan
mendengar gaduh yang disebabkan orang tuanya. Ia memanggil Mama...Mama...
tapi tidak ada satupun yang menghiraukan. Lalu aku menggoyangkan tubuh Nagi yang
terbaring di sebelahku. Rupanya dia juga terbangun. “Cepat! Ambil Nafa ke sini!”
Lalu Nagi menuruti perintahku untuk keluar dan masuk lagi sambil menggendong
Nafa. Sampai di kamarku, Nafa masih menjerit histeris. Dia langsung memelukku
dengan erat. Erat sekali. Hingga membuatku merasakan kegetirannya malam ini. Dan
tanpa sadar air mataku turun ke samping hingga membasahi bantalku.
Tanganku mengusap punggung Nafa. Membelai kepalanya dan berbisik, “Tenanglah,
kau aman di sini.” Seketika tangisnya perlahan mereda.
Kulirik jam digital di ponselku. Sudah hampir pukul satu malam. Kegaduhan
tadi berangsur redam. Berubah menjadi obrolan lirih yang sesekali diselingi
teriakkan lagi. Jantungku masih berdebar. Sementara Nafa jadi tidak bisa tidur
sejak menangsi tadi. Aku memaksanya kembali tidur di kamarku bersama aku dan
Nagi. Tapi ia memaksa untuk kembali ke kamar Mama dan Papa. “Ssstt, kau lebih
baik di sini.”
Akhirnya Nafa benar-benar tertidur. Kupikir aku juga tertidur. Karena saat
aku membuka mata dan menemukan cahaya pada bohlam di atasku, waktu menunjukkan
pukul lima pagi.
Sunyi. Seakan malam tadi tidak pernah terjadi kerusuhan atau semacamnya. Aku
sempat berpikir tadi malam adalah mimpi buruk. Tapi saat melihat tubuh Nafa
yang masih memelukku, menyadarkan bahwa yang terjadi semalam adalah nyata.
0 komentar:
Posting Komentar