Selasa, 30 Juni 2015

Nina, Nagi, dan Nafa Part 2



Aku berharap kegaduhan pada pukul dua belas tepat malam tadi adalah sebuah mimpi buruk. Betapa tidak, telingaku menangkap suara piring porselin yang membentur ubin berkali-kali. Beberapa perabot juga menyusul setelahnya. Suara perempuan melengking di ruangan sebelah. “Biadab! Sudah menggoda banyak wanita, menghinaku seperti kotoran binatang, menginjak-injak harga diriku yang kau sebut hanya makan dan tidur di rumah.” Sesekali isaknya terdengar lirih. Walau mataku tidak melihat secara langsung, tapi aku tahu pipinya lembab.
Kemudian laki-laki yang menjadi lawannya angkat bicara, “Kau lebih keparat, Miranda! Kerjaanmu hanya memoroti suamimu. Kau habiskan uang untuk dirimu sendiri. Dan kau jangan munafik, aku tahu akhir-akhir kau sering berkomunikasi dengan lelaki lain!” Suara laki-laki itu lebih rendah dari lawan perempuannya. Tapi dengan jelas bisa kudengar bahwa amarahnya sama besar.
“Kau jangan anggap dirimu suci! Memang aku sering menerima telefon dari lelaki lain belakangan ini. Tapi pikirkan apa yang melatarbelakangi semuanya! Yang tidak lain adalah karena kesalahan dirimu sendiri, Karman!”
“Kau jangan banyak omong!”  Diikuti dengan lemparan piring porselin sekali lagi.
“Kuakui aku tidak pernah mendapatkan apapun dari pernikahan kita!”
Kemudian, kudengar jeritan dari si kecil Nafa. Ia menangis. Berteriak ketakutan mendengar gaduh yang disebabkan orang tuanya. Ia memanggil  Mama...Mama... tapi tidak ada satupun yang menghiraukan. Lalu aku menggoyangkan tubuh Nagi yang terbaring di sebelahku. Rupanya dia juga terbangun. “Cepat! Ambil Nafa ke sini!” Lalu Nagi menuruti perintahku untuk keluar dan masuk lagi sambil menggendong Nafa. Sampai di kamarku, Nafa masih menjerit histeris. Dia langsung memelukku dengan erat. Erat sekali. Hingga membuatku merasakan kegetirannya malam ini. Dan tanpa sadar air mataku turun ke samping hingga membasahi bantalku.
Tanganku mengusap punggung Nafa. Membelai kepalanya dan berbisik, “Tenanglah, kau aman di sini.” Seketika tangisnya perlahan mereda.
Kulirik jam digital di ponselku. Sudah hampir pukul satu malam. Kegaduhan tadi berangsur redam. Berubah menjadi obrolan lirih yang sesekali diselingi teriakkan lagi. Jantungku masih berdebar. Sementara Nafa jadi tidak bisa tidur sejak menangsi tadi. Aku memaksanya kembali tidur di kamarku bersama aku dan Nagi. Tapi ia memaksa untuk kembali ke kamar Mama dan Papa. “Ssstt, kau lebih baik di sini.”
Akhirnya Nafa benar-benar tertidur. Kupikir aku juga tertidur. Karena saat aku membuka mata dan menemukan cahaya pada bohlam di atasku, waktu menunjukkan pukul lima pagi.
Sunyi. Seakan malam tadi tidak pernah terjadi kerusuhan atau semacamnya. Aku sempat berpikir tadi malam adalah mimpi buruk. Tapi saat melihat tubuh Nafa yang masih memelukku, menyadarkan bahwa yang terjadi semalam adalah nyata.

0 komentar:

Posting Komentar