Ternyata tidak mudah hidup
dibayang-bayangi oleh orang lain. Hati dan pikiranku masih menyebut namanya.
Satu tahun bukan waktu yang sebentar untuk memendam perasaan itu. Menyukai
seseorang dalam satu lingkungan yang sama punya dampak besar. Saat saling bertemu,
perasaan tidak enak, gusar, gelisah, kerap mengerubungi dan mengusik. Ayolah, dia tidak tampan. Kau akan malu
jalan dengannya. Hatiku mencoba mengejeknya agar aku bisa segera move on dari lelaki itu. Setidaknya akan
ada rasa ilfeel saat mengingatnya,
lalu rasa itu bisa hilang.
Kembali
aku menjalani waktu dengan macam-macam kegiatan yang mulai menyibukkan, bersama
huru-hara dunia dan lika-liku kehidupan seorang remaja. Banyak kegiatan, banyak
pula orang-orang baru yang dikenal kemudian menjadi teman.
Aku
mengenal dia.
Sebenarnya,
aku sudah pernah melihatnya pertama kali saat duduk dibangku kelas satu SMA.
Hanya saja mengenalnya lebih dari sekedar ‘tahu’ adalah saat setelah kami
dipertemukan dalam suatu acara. Pertama kali ia menyapaku melalui akun twitter.
Lalu kami saling bercengkrama lewat sosial media; twitter maupun facebook.
Berkat sosial media itulah kami menjadi lebih dari sekedar dekat. Dia
menyukaiku. Aku juga menyukainya. Terlalu cepat memang, tapi aku yakin dengan
perasaanku kali ini tidak akan sama seperti perasaanku di kisah-kisah
sebelumnya. Dekat, dekat dan semakin dekat. Akhirnya kami memberanikan diri
untuk saling mengucap cinta. Saling merindu, saling menyemangati, saling memuji
dan menghibur. Beberapa perlakuannya yang manis berhasil membuatku makin luluh.
Sebab aku memang belum pernah diperlakukan sebaik itu. Dia sukses menerbangkan
aku hingga ke langit keenam. Lantas aku semakin yakin dengan perasaan itu bahwa
ia adalah yang terakhir.
Sebuah
kisah atau cerita tidak akan bernilai sempurna tanpa ada klimaks, bukan?
Bukankah sebuah cerita yang datar-datar saja begitu cepat membosankan bagi para
penikmatnya? Itu sama halnya dengan ceritaku yang punya banyak kejutan.
Masih
tentang dia.
Bahasa
alay pada zaman remaja labil adalah: sudah
dibawa nge-fly lalu dilempar dan
dibanting begitu saja. Ketika hendak menaiki tangga menuju langit ketujuh,
tiba-tiba tergelincir pada anak tangga yang ‘diracuninya’ dan membuatku
terjatuh tanpa alas. Aku terjatuh sejatuh-jatuhnya, dan hancur
sehancur-hancurnya selayaknya piring dibanting sang empun. Aku lebur...bersama
dengan butiran debu.
Dia
pergi tanpa kata, tanpa kalimat, tanpa sebuah alasan. Meninggalkanku ditempat
aku menaruh harap setinggi-tingginya. Ketika kuserahkan segenap cinta dan
sayang seorang wanita pada seorang lelaki, dan berani bertaruh apapun demi bisa
bersamanya. Cinta yang berlebih untuknya yang kuanggap sebagai lelaki terakhir
dalam kisah percintaanku. Aku tidak tahu apa salahku yang menyebabkan dia
berlaku jahat. Pisau dan pedang mengancam untuk menghujam ketika aku putuskan
untuk bertahan. Berkali-kali menyinggung hingga menyayat hati ini, hati yang
pernah ia singgahi dan ditabur bunga syurga di dalamnya. Berkali-kali juga
dengan tangannya sendiri ia torehkan luka yang begitu mendalam sampai aku
limbung di atas pertahananku. Itu ia lakukan semata-mata agar aku membenci dan
menjauhi dirinya. Sebab ia tahu aku masih mencintainya.
Entah
apa, aku merasakan kalau dia masih berperasaan seperti dulu. Ia masih menyimpan
rasa untukku, mencintai aku. Tapi ia mencoba menutupi dan melarang hal-hal
berbau ‘cinta’ menyelimutinya. Hanya saja aku tidak penah tahu alasan apa yang
membuatnya pergi menjauh dan menorehkan banyak luka.
Aku
tidak pernah mencintai seseorang – lelaki – sebesar yang kulakukan sampai detik
ini. Sembilan belas bulan bersusah payah memendam perasaan yang bukan lagi
disebut perasaan biasa. Sudah kuusahakan untuk move dan mengingat semua keburukkannya supaya aku bisa membenci dan
meninggalkannya. Tapi itu tidak berhasil mengubah niatku untuk bertahan. Bahkan
untuk membencinya pun tak mampu kulakukan. Rasa cinta ini terlalu kuat untuk
digusur oleh kebencian yang terpaksa, bukan dari hati. Karena sesungguhnya hati
ini masih menaruh harap walau tak jarang kusangkal. Keseharianku berubah sendu
yang tertutup keceriaan palsu. Diam-diam diwaktu malam, masih saja kuterawang
kisah-kisah kami yang indah dan manis. Meski tidak berlangsung lama, tapi
begitu memabukkan.
Sembilan
belas bulan. Readers...Tulisan ini
kubuat saat esoknya bertepatan dengan sembilan belasnya pertahananku – tanggal
dua puluh.
Diwaktu
ini dia sedang timbul-tenggelam di hadapanku. Selalu ada kejutan, entah itu
kejutan indah ataupun kejutan yang menyakitkan. Pernah ia datang dengan
kemanisannya yang khas, tapi hanya untuk memaksaku melupakannya. Dan disitulah
pertama kalinya aku menangis di hadapannya. Air mata yang tak pernah ia lihat,
air mata yang disebabkan olehnya sendiri. Biar ia melihat aku menangis. Kadang
aku ingin ia melihat sendiri tangisanku, yang jatuh dengan segenap rasa
untuknya.
Apakah kau mengerti? Apa kau jadi luluh
ketika aku menangis dihadapanmu?
Lalu
dia datang lagi dengan sebuah alasan. Kebodohan yang kusadari adalah aku yang
selalu bersedia menyambut ketika ia datang, lalu tersedu saat melihat
punggungnya menjauh. Tapi itulah cinta. Aku tidak pernah melihat fisiknya, aku
tak peduli kekurangannya, aku tak peduli dengan semua perlakuan jahatnya
diwaktu lalu terhadapku. Buktinya, aku masih sudi menulis ini. Aku...ah, tangan
dan hatiku bergetar hebat saat kutuliskan...aku
masih mencintaimu.
Keyakinan
bahwa dia masih mencintaiku semakin kuat ketika suatu malam mendadak menjadi
indah. Dua puluh tangkai mawar merah muda darinya. Saksi atas kebahagiaan kecil
yang diam-diam menyelinap dalam hati. Aku bersorak ria dengan senyum mengembang
sepanjang malam itu. Begitu senangnya bisa kemabli melihat matanya yang teduh; almond eyes. Ya, itu sebutan dariku
untuknya (selama ini tak ada yang tahu nama itu).
Detik
ini, bersama tulisan ini, aku menguarkan suatu hal yang belum berani untuk
kuungkapkan langsung. Aku, masih tetap pada pendirianku. Kakiku belum beranjak
dari tempatku bertahan, menunggu sebuah keajaiban datang tiba-tiba. There can be miracle, when you believe.
Aku percaya ia akan kembali dengan segenap rasa yang ia punya.
Waktu
membuatku paham tentang arti kesetiaan; aku yang tak pernah bisa mencintai
lelaki lain seperti aku mencintainya. Berkali-kali mencoba untuk membuat kisah
baru dengan orang lain, tapi hasilnya cuma kegagalan. Perasaanku pada orang
lain tidak sekuat perasaanku untuknya. Aku paham tentang arti ketulusan; aku
tak pernah melihat kekuranganmu, bahkan walaupun kau sering menciptakan luka,
aku masih sudi untuk mencintaimu. Dan waktu juga mengenalkanku pada cinta.
Inilah cinta yang besar. Meski aku belum tahu akhirnya berlabuh pada siapa
cinta ini nantinya, sebab takdir Tuhan sulit untuk dibaca, aku mengharapkan
dia. Sesuai mimpi dan keyakinanku bahwa dia...lelaki terakhir dalam hidupku.
Inilah ceritaku. Apa ceritamu?
0 komentar:
Posting Komentar