Senin, 21 Juli 2014

Ai O Shitte Iru - Edisi Dua (ketika semua berjalan tiba-tiba)



Ternyata tidak mudah hidup dibayang-bayangi oleh orang lain. Hati dan pikiranku masih menyebut namanya. Satu tahun bukan waktu yang sebentar untuk memendam perasaan itu. Menyukai seseorang dalam satu lingkungan yang sama punya dampak besar. Saat saling bertemu, perasaan tidak enak, gusar, gelisah, kerap mengerubungi dan mengusik. Ayolah, dia tidak tampan. Kau akan malu jalan dengannya. Hatiku mencoba mengejeknya agar aku bisa segera move on dari lelaki itu. Setidaknya akan ada rasa ilfeel saat mengingatnya, lalu rasa itu bisa hilang.
                Kembali aku menjalani waktu dengan macam-macam kegiatan yang mulai menyibukkan, bersama huru-hara dunia dan lika-liku kehidupan seorang remaja. Banyak kegiatan, banyak pula orang-orang baru yang dikenal kemudian menjadi teman.
                Aku mengenal dia.
                Sebenarnya, aku sudah pernah melihatnya pertama kali saat duduk dibangku kelas satu SMA. Hanya saja mengenalnya lebih dari sekedar ‘tahu’ adalah saat setelah kami dipertemukan dalam suatu acara. Pertama kali ia menyapaku melalui akun twitter. Lalu kami saling bercengkrama lewat sosial media; twitter maupun facebook. Berkat sosial media itulah kami menjadi lebih dari sekedar dekat. Dia menyukaiku. Aku juga menyukainya. Terlalu cepat memang, tapi aku yakin dengan perasaanku kali ini tidak akan sama seperti perasaanku di kisah-kisah sebelumnya. Dekat, dekat dan semakin dekat. Akhirnya kami memberanikan diri untuk saling mengucap cinta. Saling merindu, saling menyemangati, saling memuji dan menghibur. Beberapa perlakuannya yang manis berhasil membuatku makin luluh. Sebab aku memang belum pernah diperlakukan sebaik itu. Dia sukses menerbangkan aku hingga ke langit keenam. Lantas aku semakin yakin dengan perasaan itu bahwa ia adalah yang terakhir.
                Sebuah kisah atau cerita tidak akan bernilai sempurna tanpa ada klimaks, bukan? Bukankah sebuah cerita yang datar-datar saja begitu cepat membosankan bagi para penikmatnya? Itu sama halnya dengan ceritaku yang punya banyak kejutan.
                Masih tentang dia.
                Bahasa alay pada zaman remaja labil adalah: sudah dibawa nge-fly lalu dilempar dan dibanting begitu saja. Ketika hendak menaiki tangga menuju langit ketujuh, tiba-tiba tergelincir pada anak tangga yang ‘diracuninya’ dan membuatku terjatuh tanpa alas. Aku terjatuh sejatuh-jatuhnya, dan hancur sehancur-hancurnya selayaknya piring dibanting sang empun. Aku lebur...bersama dengan butiran debu.
                Dia pergi tanpa kata, tanpa kalimat, tanpa sebuah alasan. Meninggalkanku ditempat aku menaruh harap setinggi-tingginya. Ketika kuserahkan segenap cinta dan sayang seorang wanita pada seorang lelaki, dan berani bertaruh apapun demi bisa bersamanya. Cinta yang berlebih untuknya yang kuanggap sebagai lelaki terakhir dalam kisah percintaanku. Aku tidak tahu apa salahku yang menyebabkan dia berlaku jahat. Pisau dan pedang mengancam untuk menghujam ketika aku putuskan untuk bertahan. Berkali-kali menyinggung hingga menyayat hati ini, hati yang pernah ia singgahi dan ditabur bunga syurga di dalamnya. Berkali-kali juga dengan tangannya sendiri ia torehkan luka yang begitu mendalam sampai aku limbung di atas pertahananku. Itu ia lakukan semata-mata agar aku membenci dan menjauhi dirinya. Sebab ia tahu aku masih mencintainya.
                Entah apa, aku merasakan kalau dia masih berperasaan seperti dulu. Ia masih menyimpan rasa untukku, mencintai aku. Tapi ia mencoba menutupi dan melarang hal-hal berbau ‘cinta’ menyelimutinya. Hanya saja aku tidak penah tahu alasan apa yang membuatnya pergi menjauh dan menorehkan banyak luka.
                Aku tidak pernah mencintai seseorang – lelaki – sebesar yang kulakukan sampai detik ini. Sembilan belas bulan bersusah payah memendam perasaan yang bukan lagi disebut perasaan biasa. Sudah kuusahakan untuk move dan mengingat semua keburukkannya supaya aku bisa membenci dan meninggalkannya. Tapi itu tidak berhasil mengubah niatku untuk bertahan. Bahkan untuk membencinya pun tak mampu kulakukan. Rasa cinta ini terlalu kuat untuk digusur oleh kebencian yang terpaksa, bukan dari hati. Karena sesungguhnya hati ini masih menaruh harap walau tak jarang kusangkal. Keseharianku berubah sendu yang tertutup keceriaan palsu. Diam-diam diwaktu malam, masih saja kuterawang kisah-kisah kami yang indah dan manis. Meski tidak berlangsung lama, tapi begitu memabukkan.
                Sembilan belas bulan. Readers...Tulisan ini kubuat saat esoknya bertepatan dengan sembilan belasnya pertahananku – tanggal dua puluh.
                Diwaktu ini dia sedang timbul-tenggelam di hadapanku. Selalu ada kejutan, entah itu kejutan indah ataupun kejutan yang menyakitkan. Pernah ia datang dengan kemanisannya yang khas, tapi hanya untuk memaksaku melupakannya. Dan disitulah pertama kalinya aku menangis di hadapannya. Air mata yang tak pernah ia lihat, air mata yang disebabkan olehnya sendiri. Biar ia melihat aku menangis. Kadang aku ingin ia melihat sendiri tangisanku, yang jatuh dengan segenap rasa untuknya.
                Apakah kau mengerti? Apa kau jadi luluh ketika aku menangis dihadapanmu?
                Lalu dia datang lagi dengan sebuah alasan. Kebodohan yang kusadari adalah aku yang selalu bersedia menyambut ketika ia datang, lalu tersedu saat melihat punggungnya menjauh. Tapi itulah cinta. Aku tidak pernah melihat fisiknya, aku tak peduli kekurangannya, aku tak peduli dengan semua perlakuan jahatnya diwaktu lalu terhadapku. Buktinya, aku masih sudi menulis ini. Aku...ah, tangan dan hatiku bergetar hebat saat kutuliskan...aku masih mencintaimu.
                Keyakinan bahwa dia masih mencintaiku semakin kuat ketika suatu malam mendadak menjadi indah. Dua puluh tangkai mawar merah muda darinya. Saksi atas kebahagiaan kecil yang diam-diam menyelinap dalam hati. Aku bersorak ria dengan senyum mengembang sepanjang malam itu. Begitu senangnya bisa kemabli melihat matanya yang teduh; almond eyes. Ya, itu sebutan dariku untuknya (selama ini tak ada yang tahu nama itu).
                Detik ini, bersama tulisan ini, aku menguarkan suatu hal yang belum berani untuk kuungkapkan langsung. Aku, masih tetap pada pendirianku. Kakiku belum beranjak dari tempatku bertahan, menunggu sebuah keajaiban datang tiba-tiba. There can be miracle, when you believe. Aku percaya ia akan kembali dengan segenap rasa yang ia punya.
                Waktu membuatku paham tentang arti kesetiaan; aku yang tak pernah bisa mencintai lelaki lain seperti aku mencintainya. Berkali-kali mencoba untuk membuat kisah baru dengan orang lain, tapi hasilnya cuma kegagalan. Perasaanku pada orang lain tidak sekuat perasaanku untuknya. Aku paham tentang arti ketulusan; aku tak pernah melihat kekuranganmu, bahkan walaupun kau sering menciptakan luka, aku masih sudi untuk mencintaimu. Dan waktu juga mengenalkanku pada cinta. Inilah cinta yang besar. Meski aku belum tahu akhirnya berlabuh pada siapa cinta ini nantinya, sebab takdir Tuhan sulit untuk dibaca, aku mengharapkan dia. Sesuai mimpi dan keyakinanku bahwa dia...lelaki terakhir dalam hidupku.
Inilah ceritaku. Apa ceritamu?

0 komentar:

Posting Komentar