Rabu, 23 Juli 2014

Dari Bidadari untuk Pangeran



Entah pikiran dari mana, aku berani memanggilmu “Pangeran”. Dan kau, selalu memujiku dengan sebutan “Bidadari”. Padahal kita sama-sama hidup di dunia nyata, bukan di negeri dongeng.
Awal mendengar pujianmu yang terkesan begitu memabukkan, kupikir aku telah jatuh cinta. Ah, istilah yang begitu fenomenal dikalangan anak muda. Kita tidak pernah saling mengungkapkan cinta, bukan? Oh ya! Aku baru ingat. Di suatu malam, aku pernah berkirim pesan “aku sayang kamu.” Sebuah kalimat yang secara sadar aku ungkapkan sebagai penutup hari yang melelahkan. Aku jadi sangat gembira saat kau juga membalas kalimat yang sama. Lalu kita mulai bercerita lewat telfon. Pertama kali kudengar suaramu melalui ponsel, hatiku berteriak kegirangan. Ah, suaramu sangat merdu saat kau juga menyanyikan sebuah lagu “sempurna” milik Andra and The Backbone.
Apa kau masih ingat lagu kesukaanku?
I have died everyday waiting for you
Darling don’t be affraid i have loved you
For a thousand years
I love you for a thousand more
Setiap radio yang memutar lagu tersebut, aku selalu memperdengarkan melalui ponsel. Walau hanya itu, aku sudah sangat merasa dibahagiakan lahir bathin olehmu. Setidaknya sebagai tanda bahwa kau tahu yang aku suka, lalu berusaha membuatku senang dengan apa yang aku suka. Aku suka dirimu. Apapun tentang dirimu. Tidak ada kekurangan yang kutangkap pada sosok Pangeran sepertimu.
Aku Bidadari yang selalu kau umbar pujian di manapun, termasuk sosial media. Semua tahu tentang kisah kita. Semua tahu tentang perasaanku. Rasa yang begitu besar hingga sembilan belas bulan ini, masih mengendap tanpa lebur sedikitpun. Ah, andai kau pahami ini.
Pangeranku...
Bagaimana kabar hatimu? Masih adakah aku sang “Bidadari” pujaanmu? Atau sudah ada “Bidadari” lain sebagai penggantiku?
Apapun itu, kisah kita telah kujadikan sejarah. Sejarah yang sangaaat indah. Dan kenangan-kenangan tentang kita, tidak pernah terlupa sedikitpun dari ingatanku.
Pangeranku...
Meski waktu telahberbagi jarak, semoga kau tak pernah lupakan kisah kita – dulu. Selamat dengan kehidupan barumu. Aku harap, akan mati daripada bersanding dengan orang lain yang bukan dirimu.
Salam Kasih,

Senin, 21 Juli 2014

Ai O Shitte Iru - Edisi Dua (ketika semua berjalan tiba-tiba)



Ternyata tidak mudah hidup dibayang-bayangi oleh orang lain. Hati dan pikiranku masih menyebut namanya. Satu tahun bukan waktu yang sebentar untuk memendam perasaan itu. Menyukai seseorang dalam satu lingkungan yang sama punya dampak besar. Saat saling bertemu, perasaan tidak enak, gusar, gelisah, kerap mengerubungi dan mengusik. Ayolah, dia tidak tampan. Kau akan malu jalan dengannya. Hatiku mencoba mengejeknya agar aku bisa segera move on dari lelaki itu. Setidaknya akan ada rasa ilfeel saat mengingatnya, lalu rasa itu bisa hilang.
                Kembali aku menjalani waktu dengan macam-macam kegiatan yang mulai menyibukkan, bersama huru-hara dunia dan lika-liku kehidupan seorang remaja. Banyak kegiatan, banyak pula orang-orang baru yang dikenal kemudian menjadi teman.
                Aku mengenal dia.
                Sebenarnya, aku sudah pernah melihatnya pertama kali saat duduk dibangku kelas satu SMA. Hanya saja mengenalnya lebih dari sekedar ‘tahu’ adalah saat setelah kami dipertemukan dalam suatu acara. Pertama kali ia menyapaku melalui akun twitter. Lalu kami saling bercengkrama lewat sosial media; twitter maupun facebook. Berkat sosial media itulah kami menjadi lebih dari sekedar dekat. Dia menyukaiku. Aku juga menyukainya. Terlalu cepat memang, tapi aku yakin dengan perasaanku kali ini tidak akan sama seperti perasaanku di kisah-kisah sebelumnya. Dekat, dekat dan semakin dekat. Akhirnya kami memberanikan diri untuk saling mengucap cinta. Saling merindu, saling menyemangati, saling memuji dan menghibur. Beberapa perlakuannya yang manis berhasil membuatku makin luluh. Sebab aku memang belum pernah diperlakukan sebaik itu. Dia sukses menerbangkan aku hingga ke langit keenam. Lantas aku semakin yakin dengan perasaan itu bahwa ia adalah yang terakhir.
                Sebuah kisah atau cerita tidak akan bernilai sempurna tanpa ada klimaks, bukan? Bukankah sebuah cerita yang datar-datar saja begitu cepat membosankan bagi para penikmatnya? Itu sama halnya dengan ceritaku yang punya banyak kejutan.
                Masih tentang dia.
                Bahasa alay pada zaman remaja labil adalah: sudah dibawa nge-fly lalu dilempar dan dibanting begitu saja. Ketika hendak menaiki tangga menuju langit ketujuh, tiba-tiba tergelincir pada anak tangga yang ‘diracuninya’ dan membuatku terjatuh tanpa alas. Aku terjatuh sejatuh-jatuhnya, dan hancur sehancur-hancurnya selayaknya piring dibanting sang empun. Aku lebur...bersama dengan butiran debu.
                Dia pergi tanpa kata, tanpa kalimat, tanpa sebuah alasan. Meninggalkanku ditempat aku menaruh harap setinggi-tingginya. Ketika kuserahkan segenap cinta dan sayang seorang wanita pada seorang lelaki, dan berani bertaruh apapun demi bisa bersamanya. Cinta yang berlebih untuknya yang kuanggap sebagai lelaki terakhir dalam kisah percintaanku. Aku tidak tahu apa salahku yang menyebabkan dia berlaku jahat. Pisau dan pedang mengancam untuk menghujam ketika aku putuskan untuk bertahan. Berkali-kali menyinggung hingga menyayat hati ini, hati yang pernah ia singgahi dan ditabur bunga syurga di dalamnya. Berkali-kali juga dengan tangannya sendiri ia torehkan luka yang begitu mendalam sampai aku limbung di atas pertahananku. Itu ia lakukan semata-mata agar aku membenci dan menjauhi dirinya. Sebab ia tahu aku masih mencintainya.
                Entah apa, aku merasakan kalau dia masih berperasaan seperti dulu. Ia masih menyimpan rasa untukku, mencintai aku. Tapi ia mencoba menutupi dan melarang hal-hal berbau ‘cinta’ menyelimutinya. Hanya saja aku tidak penah tahu alasan apa yang membuatnya pergi menjauh dan menorehkan banyak luka.
                Aku tidak pernah mencintai seseorang – lelaki – sebesar yang kulakukan sampai detik ini. Sembilan belas bulan bersusah payah memendam perasaan yang bukan lagi disebut perasaan biasa. Sudah kuusahakan untuk move dan mengingat semua keburukkannya supaya aku bisa membenci dan meninggalkannya. Tapi itu tidak berhasil mengubah niatku untuk bertahan. Bahkan untuk membencinya pun tak mampu kulakukan. Rasa cinta ini terlalu kuat untuk digusur oleh kebencian yang terpaksa, bukan dari hati. Karena sesungguhnya hati ini masih menaruh harap walau tak jarang kusangkal. Keseharianku berubah sendu yang tertutup keceriaan palsu. Diam-diam diwaktu malam, masih saja kuterawang kisah-kisah kami yang indah dan manis. Meski tidak berlangsung lama, tapi begitu memabukkan.
                Sembilan belas bulan. Readers...Tulisan ini kubuat saat esoknya bertepatan dengan sembilan belasnya pertahananku – tanggal dua puluh.
                Diwaktu ini dia sedang timbul-tenggelam di hadapanku. Selalu ada kejutan, entah itu kejutan indah ataupun kejutan yang menyakitkan. Pernah ia datang dengan kemanisannya yang khas, tapi hanya untuk memaksaku melupakannya. Dan disitulah pertama kalinya aku menangis di hadapannya. Air mata yang tak pernah ia lihat, air mata yang disebabkan olehnya sendiri. Biar ia melihat aku menangis. Kadang aku ingin ia melihat sendiri tangisanku, yang jatuh dengan segenap rasa untuknya.
                Apakah kau mengerti? Apa kau jadi luluh ketika aku menangis dihadapanmu?
                Lalu dia datang lagi dengan sebuah alasan. Kebodohan yang kusadari adalah aku yang selalu bersedia menyambut ketika ia datang, lalu tersedu saat melihat punggungnya menjauh. Tapi itulah cinta. Aku tidak pernah melihat fisiknya, aku tak peduli kekurangannya, aku tak peduli dengan semua perlakuan jahatnya diwaktu lalu terhadapku. Buktinya, aku masih sudi menulis ini. Aku...ah, tangan dan hatiku bergetar hebat saat kutuliskan...aku masih mencintaimu.
                Keyakinan bahwa dia masih mencintaiku semakin kuat ketika suatu malam mendadak menjadi indah. Dua puluh tangkai mawar merah muda darinya. Saksi atas kebahagiaan kecil yang diam-diam menyelinap dalam hati. Aku bersorak ria dengan senyum mengembang sepanjang malam itu. Begitu senangnya bisa kemabli melihat matanya yang teduh; almond eyes. Ya, itu sebutan dariku untuknya (selama ini tak ada yang tahu nama itu).
                Detik ini, bersama tulisan ini, aku menguarkan suatu hal yang belum berani untuk kuungkapkan langsung. Aku, masih tetap pada pendirianku. Kakiku belum beranjak dari tempatku bertahan, menunggu sebuah keajaiban datang tiba-tiba. There can be miracle, when you believe. Aku percaya ia akan kembali dengan segenap rasa yang ia punya.
                Waktu membuatku paham tentang arti kesetiaan; aku yang tak pernah bisa mencintai lelaki lain seperti aku mencintainya. Berkali-kali mencoba untuk membuat kisah baru dengan orang lain, tapi hasilnya cuma kegagalan. Perasaanku pada orang lain tidak sekuat perasaanku untuknya. Aku paham tentang arti ketulusan; aku tak pernah melihat kekuranganmu, bahkan walaupun kau sering menciptakan luka, aku masih sudi untuk mencintaimu. Dan waktu juga mengenalkanku pada cinta. Inilah cinta yang besar. Meski aku belum tahu akhirnya berlabuh pada siapa cinta ini nantinya, sebab takdir Tuhan sulit untuk dibaca, aku mengharapkan dia. Sesuai mimpi dan keyakinanku bahwa dia...lelaki terakhir dalam hidupku.
Inilah ceritaku. Apa ceritamu?

Ai O Shitte Iru - Edisi Satu (ketika semua berjalan tiba-tiba)



                Pernahkah engkau tahu hati seorang wanita itu seperti apa? Sedikitnya, tahukah engkau tentang hatiku?
                Semenjak aku tahu dan mengenal yang namanya cinta, mulai penasaran seperti apa rasanya bercinta dengan seorang lelaki. Pertama kali icip-icip pacaran dengan seorang lelaki lebih tua lima tahun di atasku. Cinta monyet seorang siswa SMP saat zamannya kegilaan para anak ABG. Saling merindu, saling mengucap cinta, bahkan meminta bertemu untuk menyalurkan gairah percintaan anak remaja. Dengan wajah merona malu-malu ketika pertama kali bertemu dalam suatu acara. Saling curi pandang dan tak jarang melempar senyuman maut untuk menarik perhatian satu sama lain. Tiga bulan berlangsung, rasa bosan menghapus bara api cinta yang sempat membakar nafsu. Aku tak lagi memujanya, mengejarnya, merindunya, apalagi mencintainya. Rasa bosan itu menyelimuti begitu saja. Lalu aku memutuskan hubungan dengan lelaki itu begitu saja tanpa sebuah alasan.
                Labilitas hati seorang anak baru gede yang mudah tergoyahkan hatinya, dan belum mampu mengontrol perasaan ketika melihat lawan jenis yang mencuri perhatiannya. Aku kembali merasakan getaran cinta pada seorang lelaki yang berusia satu tahun di atasku. Jalannya sama seperti kisah percintaanku pertama kali. Kami putus tanpa sebuah alasan. Saling diam dan berpura-pura mengucap rindu karena aku dan dia tidak benar-benar cinta. Kami hanya saling kagum pada pandangan pertama. Lama-lama menjadi dekat dan kami mengira telah jatuh cinta.
                Beranjak ke SMA, lagi-lagi aku dimabuk cinta oleh salah satu siswa yang juga temanku. Mengagumi dari belakang dan malu-malu ketika saling bertatapan. Seiring berjalannya waktu, kami saling bertukar cerita dan alih-alih bercerita, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Tentu aku berani melakukan itu karena kulihat tanda-tanda yang sedikit merespon dari diri lelaki itu. Tepat dugaanku, dia juga punya perasaan yang sama. Lalu, apakah kami berpacaran? Tidak. Aku dan dia sampai saat ini masih menjadi teman. Sebuah alasan yang menguatkan kami untuk tidak menjalin sebuah hubungan adalah keterikatan kami dalam sebuah peraturan yang tidak boleh dilanggar.
                Akan tetapi, aku tidak mudah melupakannya begitu saja seperti kisah-kisah percintaan masa laluku. Selama hampir satu tahun aku perasaanku padanya mengendap dalam hati. Aku sendiri tidak tahu ada apa denganku? Tidak biasanya aku menyimpan suatu perasaan lama-lama. Bahkan untuk mencintai orang lain pun aku tidak mau. Aku dan dia pernah berhubungan cukup dekat dan intim. Tapi itu hanya berlangsung sekejap, ketika ia baru putus dari kekasihnya. Dan disitu aku berpikir, aku cuma jadi tempat pelariannya sejenak. Karena setelah ia bangkit dan kembali merasa jatuh cinta dengan wanita lain, aku dilupakan.
                Yah, karena ini aku patah hati bahkan sampai menangisinya dibeberapa malam. Dari kisah ini, sedikitnya aku mulai paham tentang arti cinta; mencintai dan dicintai. Dulu dengan mudahnya aku bermain cinta. Memulai dan menyudahinya tanpa alasan. Tapi aku mencoba menampiknya kalau itu adalah sebuah kelabilan anak remaja yang baru mengenal cinta. Pada saat itu aku masih lugu dan buta, berpacaran cuma jadi alat pembayaran untuk rasa penasaranku. Ketika semua itu lunas, maka aku yakin akan ada makna yang aku temui di dalam cinta.
               

Ainoshi (ketika di ambang batas)

Gadis dan Mawar

dua puluh tangkai mawar di  meja itu lebih pasrah dari kelihatannya
tunggu ada yang berbisik waktunya mereka tanggal
mereka menatap gadis berkerudung jingga lengkap dengan segaris senyum
dalam mata dan hati yang mengusut bayang-bayang kenangan
andai bisa bicara jangan pada malaikat;
ketika kelopak-kelopaknya mesti membusuk lalu tanggal
pastilah gembira gadisnya tak jadi merunduk
ingat selalu pemberi mawar itu  yang bergantung
antara abadi atau pupus; “lantas bagaimana nasib gadisku?”
tanya salah satu tangkai mawar berkelopak kuning kecoklatan
sementara malaikat makin berdesis untuk mengumumkan
gadisnya akan kehilangan kelopak-kelopaknya
bersama kenangan yang harus pupus; bukan abadi


Permadani

Sebut aku permadani
Yang akan bawa dirimu melayang tinggi
Bersama rasaku yang tiada tepi
Jika kau ingin terbang lagi
Panggil saja aku kembali


Pagar

Andai tidak tahu sekuat apa pagar berdiri,
Jangan coba bersandar padanya
Rupanya kau tak mendengar
dan tetap mengendap masuk
Lalu benih kau tabur di dalamnya
Jika sudah berkembang dan berbuah,
Kau harus tetap di situ
Sebab sang pagar akan menguncimu
Kau telah menabur kebahagiaan, bukan?
Tapi jika kau bersikeras untuk keluar
Mendobrak sang pagar hingga roboh
Lalu ia rusak dan tak lagi berdiri
Bukan dari besi, hanya sebilah bambu kuning
Jadilah ia terkapar di tanah merah
Apa yang dikata tadi?
Jangan sentuh pagar itu!



Kisahku Dalam Hujan

Ketika usia baru disambut derai hujan
Yang memaparkan cerita tempo lalu
Tentang cintaku yang tak kunjung punah
Tentang cintamu yang belum dapat ku pahami
Dingin yang lalu begitu hangat berkat dirimu
Namun kali ini aku dibuat membeku

Hujan ini tak lagi sama rupanya
Tiap bulirnya membawa kisah-kisahku
Saat dirimu ada dan tiada
Diantara masa depan dan kenangan
Tak ingin melaju tapi mundur pun enggan
Maka harus kemanakah aku harus berpihak?

Sapaan hujan kusertakan salam rindu
Untuk engkau yang tak jelas
Untuk dirimu yang masih semu



Untuk Mas Jambang, Pak Gendut dan Pak Jenggot



Untuk Mas Jambang, Pak Gendut dan Pak Jenggot...

Bagaimana kabar kalian bertiga? Andai ada satu waktu di mana kita bisa bertemu kembali. Ah, ada banyak yang ingin aku ucap. Terimakasih. Sampai mulut ini berbusa – mungkin. Sudah sepekan lebih setelah kejadian malam itu, kaki kananku masih “menumpang” pada si kaki kiri. Aku masih hobi bertapa di atas kasur dan mengeram seharian. Yah...Malam itu memang sangat tidak terduga.

Tapi syukurlah. Aku tidak tahu bagaimana aku tanpa Mas Jambang yang diam-diam membuntuti sampai tragedi itu terjadi. Hey! Aku ingat kau yang membopongku hingga kedai kopi di pinggir sana, bukan? Dan bersama kepanikan di raut wajahku, kau mencoba menenangkan dengan berkata: kakimu hanya kesleo biasa.

Lalu, melihat aku yang kesulitan beranjak, Pak Gendut dan Pak Jenggot mau berbaik hati mengantarku sampai ke rumah. Ya...Meskipun awalnya aku merasa takut dan khawatir akan terjadi hal-hal yang lebih mengerikan – sebagai seorang perempuan muda di saat larut malam.
Beruntungnya aku bertemu kalian.

Meski waktu tidak mempertemukan kita, aku serahkan semua pada Tuhan untuk membayar kebaikkan kalian. Andai posisiku pada waktu itu adalah seorang kaya raya, pasti langsung kusodorkan beberapa lembar rupiah.
Semoga panjang umur dan sejahtera...