Selasa, 02 Juni 2015

Belajar dari Seorang Ananta Prahadi

     Kali ini, aku menulis bukan sebagai seorang penulis. Tapi aku sedang menulis sebagai seorang pembaca. Ya, tentang novel yang baru saja selesai aku “lahap” di hari libur ini, yang complecated dan menguras air mata di bagian akhir. Kalau sampai aku menangis karena membaca sebuah novel, kuanggap penulis buku itu cerdas dan sukses.

     Tulisan ini bukan sebuah review buku yang biasa diposting dalam Goodreads. Aku menulis ini karena kecintaanku pada Anta – seorang udik dari Subang – dan Tania, si monster dari planet.

     Ananta Prahadi. Seorang lelaki polos dengan ciri khas kedaerahannya yang sundanis, diciptakan oleh Risa Saraswati sebagai pembawa perubahan dalam hidup Tania – tuan puteri yang galaknya tak tertandingi – dan mempertemukannya pada jodoh sejatinya, Pierre.

     Tunggu, awalnya aku sama sekali tidak berminat untuk membaca novel keempat Teh Risa ini. Beberapa bulan yang lalu – pokoknya lama sekali – novel itu dipinjamkan oleh salah satu teman kampusku – Bang Igo. Aku tidak tertarik dengan sampulnya, awalnya. Dan kupikir novel itu akan berbau hantu-hantu seperti novel pertama Teh Risa yang pernah kubaca. Maka aku menunda-nunda waktu untuk membuka novel tersebut. Hari ini tanggal merah, meskipun besok masih ada UAS terakhir, tapi aku tidak mau mengotori hari libur yang jarang ini untuk menghafal materi-materi politik yang tidak begitu penting. Aku mengintip rak bukuku yang sudah semakin sempit oleh buku-buku koleksiku (bukan karena bukunya yang terlalu banyak, tetapi rak bukunya yang terlalu sempit). Novel Ananta Prahadi terselip di paling ujung deretan novel-novel koleksiku. Akhirnya, aku memaksakan diri untuk membuka halaman demi halaman yang menayangkan susunan huruf merangkaikan sebuah cerita.

     Ananta Prahadi. Tidak pernah ada kesedihan yang Teh Risa paparkan di setiap lakonnya. Dia laki-laki periang, yang tak pernah menyerah menghadapi monster seperti Tania. Duduk satu bangku bersama Tania di waktu SMA bukanlah sebuah kesialan laki-laki yang akrab dipanggil Anta itu. Malahan ia rela mengabdikan dirinya untuk selalu menemani Tania sepanjang hidupnya, hingga merubah Tania menjadi seorang wanita normal. Anta bukan dari keluarga berada. Tapi kemahirannya menaklukan Tania membuat Tania terkesan dan berhasil memiliki seorang teman bahkan sahabat. Ia juga tidak mempermasalahkan saat Tania melemparkan kata-kata kasar secara berubi-tubi, atau bahkan sampai melemparinya dengan cangkir.
     Anta tidak pernah lelah menjaga dan mengurus monster seperti Tania. Ia yakin bahwa Tania bukanlah wanita bodoh dan aneh seperti pandangan orang-orang. Ketulusannya membuat Tania luluh dan selalu menuruti kemauannya. Ia juga telah menumbuhkan cinta dan kasih seorang monster yang tak pernah diberikan pada siapapun. Cinta mereka abadi meski keduanya telah menemukan kehidupan yang baru.

     Tania. Semua orang menganggapnya aneh, mengerikan, bukan manusia. Bahkan orang tua dan saudaranya sendiri menganggapnya demikian. Dia bukan hanya aneh, tapi dia seorang monster (monster apa? Coba baca saja novelnya sendiri). Satu keinginannya, ingin bahagia dengan caranya sendiri. Tapi yang menjadi masalah, segala cara yang dianggapnya ampuh untuk membuatnya bahagia malah mengundang petaka dalam hidupnya. Semua orang yang mencintainya menjadi korban atas sikap dan perilakunya yang tidak wajar.
     Sesungguhnya Tania hanyalah gadis biasa seperti gadis-gadis pada umumnya. Tetapi, cara pikirnya menguasai dirinya seakan-akan semua hukum dan peraturan di dunia ini tidak masuk akal. Tidak ada yang penting dalam hidup kecuali melukis. Segala hal yang menjadi khayalannya ia tuangkan di atas kanvas. Tidak ada yang mampu memahami Tania selain Ananta Prahadi. Dan pertemuannya dengan Anta adalah awal dari revolusi dirinya menjadi seorang Tania yang normal, yang bisa menangis, yang bisa tersenyum seharian, dan yang bisa mencintai seorang pria.

     Dari novel Teh Risa yang satu ini, aku ingin menuliskan pandanganku:
     Semua orang ingin bahagia. Semua orang berlomba-lomba mengeluarkan cara untuk membuat hidupnya selalu bahagia, meski terkadang caranya salah. Namun, jika dengan cara kita sendiri kebahagiaan itu tak kunjung datang atau malah memperburuk keadaan, kenapa tidak coba menggunakan cara orang lain?
     Keluarga, sahabat, bahkan kekasih sangatlah kasihan jika tidak bahagia karena ketidaknormalan seorang aku sebagai makhluk aneh di alam semesta ini. Mereka juga ingin diri ini bahagia. Dan terkadang mereka punya cara yang lebih baik dari cara-cara kita sendiri. Dunia ada digenggamanku, ketika semuanya menuntut perubahann atas diri ini yang terlampau jauh dari kata normal. Tergantung pada diri sendiri: mau atau tidak?

Lalu, seperti apa normal itu?
     Orang yang hidup sesuai kodratnya. Tidak berusaha menentang takdir, melainkan mengubah nasibnya agar tidak tampak mengerikan.
     Boleh saja mencoba bahagia dengan cara masing-masing. Tapi yang harus diingat, tidak semua hal yang ada di dunia ini berjalan selaras dengan kehendak diri sendiri. Dunia kadang tampak kejam, ia bisa sangat jahat dengan tidak mengabulkan sebuah kemauan. Tapi itu bukan sepenuhnya salah dunia. Tergantung bagaimana cara pikir diri sendiri tentang dunia dan kehidupan di dalamnya.
     Di bagian akhir novel Ananta Prahadi itu, Teh Risa berhasil mengundang air mataku untuk menangisi kepergian Anta. Emosiku sebelumnya sempat dikoyak Teh Risa pada kisah Tania dan Pierre. Aku setuju dengan pendapat Anta, bahwa hidup terlalu indah untuk disia-siakan. Dan aku setuju dengan Tania – setelah ia berubah – bahwa hidup terlalu sia-sia jika hanya diisi dengan marah-marah.

     Aku mencintai Anta. Kehadirannya seperti nyata. Dia lelaki pembawa kebahagiaan dan perubahan yang begitu besar. Tidak ada pamrih, hidupnya hanya penuh kekonyolan yang ia hadirkan sendiri. Semua orang menyukainya, bukan hanya aku ataupun Tania.
     Ini tentang mempelajari hidup. Ini tentang memahami Tania. Ini tentang Ananta Prahadi.
(Ree)

0 komentar:

Posting Komentar