Rabu, 10 Juni 2015

Meet Rere & Bayu: Gerimis dan Hujan Tidaklah Sama

     Biar mereka tahu kalau aku membenci hujan. Yang hanya datang membawa kepiluan dan mengubah diriku menjadi sendu. Aku tidak ingin menampakkan wajah dengan linangan air mata. Itu hanya akan membuatku terlihat buruk.
     Tapi ketahui juga, bahwa aku menyukai angin. Ia terasa lebih menenangkan. Tiupannya selalu membuat otakku lebih tenang dari segala bingar yang terjadi. Aku tahu angin sering membawa hujan setelahnya. Meskipun demikian, hanya angin yang kusuka. Bukan hujan dan badai yang dibawanya. Yang kemudian tak jarang suara petir menggelegar. Saling bersahutan dan berduel dengan kilatan di langit.
     Hai, langit. Bisakah kau tiupkan angin di setiap malamku? Tapi jangan kau mengajak hujan atau petir. Karena itu akan membuatku semakin buruk. Dan dunia tidak boleh melihatnya. Cukup warna hitammu yang tahu aku seperti apa. Meskipun angin adalah temanmu – dan mungkin akan menjadi temanku juga – jangan beri tahu ia. Pastikan bahwa Sang Angin hanya mengenalku sebagai Rere yang tangguh.
     “Hei, melamun?”
     Aku terkesiap. Tiba-tiba saja orang yang selalu kulihat setiap pagi di taman komplek, muncul dengan menunjukkan deretan gigi yang rapi. Senyumnya begitu lebar. Dan matanya mengilat meski tidak ada cahaya matahari saat ini.
     Dia duduk di sampingku. Tidak terlalu dekat. Tapi harum parfum yang tak kukenal namanya menguar dengan tajam.
     “Banyak gadis yang meratapi nasibnya di bawah mendung. Saat hujan turun, air matanya juga ikut turun. Kau sedang patah hati?”
     Lelaki di sebelahku menoleh. Semula aku tidak merespon. Tapi saat ia berdehem, akupun menoleh.
     “Bagaimana kalau gadis itu menatap langit mendung karena ia membencinya? Bukan membenci kekasihnya yang pergi memutuskan hubungan sepihak, seperti katamu tadi.”
     “Kau tidak suka langit mendung? Kau membenci hujan?” mata lelaki itu menyipit dan berkerut dahi. Seolah tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Lantas aku membenarkannya.
     Dia hanya tersenyum dan tidak lagi menoleh ke arahku. Matanya menerawang langit kelabu di atas kami, yang siap menjatuhkan ribuan bulir air ke bawahnya. Aku tidak mengenal lelaki itu sama sekali. Tapi aku sering melihatnya setiap pagi berdiam diri di tepi ari mancur di taman komplek. Dan anehnya, kenapa ia bisa kemari?
     “Bayu.” Lelaki yang sedang kupikirkan diam-diam, menyebutkan namanya sambil mengulurkan tangan.
     “Rere,” aku membalas jabatan tangannya dengan senyuman yang dipaksakan.
     “Nama yang cocok dengan orangnya.”
     Lalu aku tidak lagi menghiraukannya. Mungkin dia hanya salah satu diantara lelaki yang senang menjahili gadis-gadis di komplek ini. Dari caranya tersenyum, sepertinya dia sangat mahir untuk menarik para gadis incarannya. Tapi aku bukan mereka.
     Tak lama kemudian hujan benar-benar turun. Langit tidak pernah bercanda dengan kelabunya. Mungkin langit berpikir bahwa menurunkan hujan adalah sebuah tugas wajib dari Sang Pencipta. Sekalipun terkadang membuat makhluk di alam semesta meringis, tidak menyukai hujan – seperti diriku.
     Aku akan bergegas masuk ke dalam rumah. Tapi tanpa disangka, lelaki itu, maksudku Bayu, menahan pergelangan tanganku. “Mau kemana?”
     “Apa kau buta? Hujan sudah turun,” jawabku setengah kesal sambil menarik paksa tanganku.
     “Ini baru gerimis. Bukan hujan besar.”
     “Gerimis dan hujan apa bedanya? Dan untuk apa kau menahanku?” akupun berlalu meninggalkan Bayu yang masih terduduk di atas tumpukkan pipa beton tempat kami duduk berdua tadi.

***

     Rasanya ingin sekali membiarkan angin masuk ke kamarku. Tapi aku ragu apakah angin di suasana seperti ini akan bersahabat atau tidak. Karena umumnya, langit mendung dan gerimis akan berubah menjadi hujan besar dan muncul angin badai. Aku suka angin, tapi bukan badai.
     Akhirnya kuputuskan untuk membuka sedikit jendela kamar. Saat menyibak gorden, ternyata lelaki itu masih bertahan di tempatnya. Sambil memasang headset yangtersambung dengan iPod di saku kemejanya – aku sempat melirik iPod itu saat masih di sana – dan mengangguk-angguk pelan mengikuti irama dari iPodnya. Lalu aku beralih pada langit. Hujannya memang tidak besar. Dia benar, ini cuma gerimis kecil.
     Tapk, apa bedanya hujan dan gerimis? Apa karena volume airnya? Ya Tuhan, bagiku keduanya sama saja. Sama-sama memilukan.

0 komentar:

Posting Komentar