Hai, gadis di ujung persimpangan sana! Mendekatlah padaku melalui atap gedung itu. Akan kudongengkan satu hal di telingamu.
Aku mengerti, kau gadis penyayang. Yang merindukan bunga-bunga tak berkuncup bersemai di setiap langkah yang kau jejakkan.
Aku mengerti, kau gadis pengasih. Yang merindukan kupu-kupu bersayap merah muda beterbangan mengitari kepalamu setiap saat.
Tapi aku juga mengerti hal lain...
Kau telah lupa bagaimana rasanya geli di perutmu ketika tertawa bersamanya.
Kau telah lupa bagaimana lembut genggamannya ketika demam mendera kondisimu.
Kau juga telah lupa bagaimana kehangatan tubuhnya ketika kau mendekapnya pada pukul dua belas malam.
Atas semua itulah kau merindu. Ya, rindu. Sebuah kata yang tak mau kau lontarkan lantaran kelu lidahmu, ragu hatimu, dan mati jiwamu. Namun jasadmu masih belum hilang. Andai Sang Pencipta berkehendak menghidupkannya, kau masih berkesempatan.
Untukmu, gadis yang tengah sulit mengecap manis dan asinnya hidup, Sang Pencipta menyerahkan sebuah tugas padaku.
Mulai malam ini, aku akan mengundang angin. Supaya ketika aku menghitam dan pekik, angin yang akan buatmu tenteram meski tanpa temaram. Agar ketika kau menyambut putihnya aku di suatu pagi, bisa kulihat senyum terulas di bibirmu. Dan permohonanku pada Sang Pencipta atas keinginanku pada putih tidaklah percuma.
Ia adalah angin; yang kupastikan lebih baik dari dirinya yang pernah mengisi buku harian di hatimu. Ia adalah angin; yang kupastikan lebih pantas untuk kau sanjung daripada dia yang berlalu tanpa malu. Ia adalah angin; yang kupastikan lebih setia menghampirimu tanpa melewatkan satu malampun. Ia adalah angin; yang kupastikan akan selalu memberimu ketenangan hanya dengan belaian diantara pipi dan telingamu. Ia adalah angin; yang kupastikan tak punya benda tajam untuk menoreh luka. Ia adalah angin; yang dingin tapi mesra. Ia adalah angin.
0 komentar:
Posting Komentar