Selasa, 30 Juni 2015

Nina, Nagi, dan Nafa Part 2



Aku berharap kegaduhan pada pukul dua belas tepat malam tadi adalah sebuah mimpi buruk. Betapa tidak, telingaku menangkap suara piring porselin yang membentur ubin berkali-kali. Beberapa perabot juga menyusul setelahnya. Suara perempuan melengking di ruangan sebelah. “Biadab! Sudah menggoda banyak wanita, menghinaku seperti kotoran binatang, menginjak-injak harga diriku yang kau sebut hanya makan dan tidur di rumah.” Sesekali isaknya terdengar lirih. Walau mataku tidak melihat secara langsung, tapi aku tahu pipinya lembab.
Kemudian laki-laki yang menjadi lawannya angkat bicara, “Kau lebih keparat, Miranda! Kerjaanmu hanya memoroti suamimu. Kau habiskan uang untuk dirimu sendiri. Dan kau jangan munafik, aku tahu akhir-akhir kau sering berkomunikasi dengan lelaki lain!” Suara laki-laki itu lebih rendah dari lawan perempuannya. Tapi dengan jelas bisa kudengar bahwa amarahnya sama besar.
“Kau jangan anggap dirimu suci! Memang aku sering menerima telefon dari lelaki lain belakangan ini. Tapi pikirkan apa yang melatarbelakangi semuanya! Yang tidak lain adalah karena kesalahan dirimu sendiri, Karman!”
“Kau jangan banyak omong!”  Diikuti dengan lemparan piring porselin sekali lagi.
“Kuakui aku tidak pernah mendapatkan apapun dari pernikahan kita!”
Kemudian, kudengar jeritan dari si kecil Nafa. Ia menangis. Berteriak ketakutan mendengar gaduh yang disebabkan orang tuanya. Ia memanggil  Mama...Mama... tapi tidak ada satupun yang menghiraukan. Lalu aku menggoyangkan tubuh Nagi yang terbaring di sebelahku. Rupanya dia juga terbangun. “Cepat! Ambil Nafa ke sini!” Lalu Nagi menuruti perintahku untuk keluar dan masuk lagi sambil menggendong Nafa. Sampai di kamarku, Nafa masih menjerit histeris. Dia langsung memelukku dengan erat. Erat sekali. Hingga membuatku merasakan kegetirannya malam ini. Dan tanpa sadar air mataku turun ke samping hingga membasahi bantalku.
Tanganku mengusap punggung Nafa. Membelai kepalanya dan berbisik, “Tenanglah, kau aman di sini.” Seketika tangisnya perlahan mereda.
Kulirik jam digital di ponselku. Sudah hampir pukul satu malam. Kegaduhan tadi berangsur redam. Berubah menjadi obrolan lirih yang sesekali diselingi teriakkan lagi. Jantungku masih berdebar. Sementara Nafa jadi tidak bisa tidur sejak menangsi tadi. Aku memaksanya kembali tidur di kamarku bersama aku dan Nagi. Tapi ia memaksa untuk kembali ke kamar Mama dan Papa. “Ssstt, kau lebih baik di sini.”
Akhirnya Nafa benar-benar tertidur. Kupikir aku juga tertidur. Karena saat aku membuka mata dan menemukan cahaya pada bohlam di atasku, waktu menunjukkan pukul lima pagi.
Sunyi. Seakan malam tadi tidak pernah terjadi kerusuhan atau semacamnya. Aku sempat berpikir tadi malam adalah mimpi buruk. Tapi saat melihat tubuh Nafa yang masih memelukku, menyadarkan bahwa yang terjadi semalam adalah nyata.

Senin, 22 Juni 2015

Lomba Menulis Novel TWIGORA (Sweet and Spicy Romance) 2015

Ketentuan Lomba:

Genre utama lomba ini adalah romance, dengan target pembaca adalah wanita dewasa 25-35 tahun.

Naskah tidak boleh mengandung SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

Naskah harus asli karya peserta. Bukan fanfiction (fiksi penggemar), juga bukan saduran dari buku maupun karya penulis lain.

Kamu bisa memilih dua kategori naskah romance, SWEET atau SPICY.

SWEET: Tema cerita bisa bervariasi, dari ringan ke sangat emosional. Benang merah naskah SWEET adalah kompleksitas plot dibalut dengan emosi, kedalaman karakter, dan kemampuan penulis untuk membuat pembaca simpatik dengan konflik yang dihadapi tokoh utama.

Contoh penulis SWEET ROMANCE: Kristan Higgins, Susan Mallery, Beth Ciotta, Lisa Kleypas, Debbie Macomber, dan Susan Andersen.

SPICY: Tema cerita bisa bervariasi dengan para karakter utama berlatar belakang perkotaan. Benang merah naskah SPICY adalah kompleksitas plot dibalut dengan ambience seksi dan humor, karakter-karakter yang witty dan berpikiran modern, dan kemampuan penulis untuk menggiring pembaca terus bersemangat hingga ke akhir bahagia.

Contoh penulis SPICY ROMANCE: Susan Elizabeth Phillips, Lori Foster, Carly Phillips, Suzanne Macpherson, dan Julie James.

Tidak ada batasan umur peserta.

Naskah juga bisa dikerjakan dua orang atau lebih peserta.

Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu karya asal tidak dalam satu e-mail.

Karya yang diikutkan dalam lomba SWEET AND SPICY belum pernah dikirim ke penerbit manapun, juga tidak sedang diikutkan dalam kompetisi manapun. Dan selama SWEET AND SPICY berlangsung, peserta dilarang mengirim karya yang diikutkan lomba ke penerbit manapun, juga dilarang mengirim naskah serupa ke kompetisi manapun.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, panjang naskah 100-150 halaman, diketik dengan format kertas A4 (margin by default), Calibri 11, spasi 1,5. Sertakan sinopsis (maksimal 2 halaman), dan biodata singkat penulis:

Nama Lengkap:
Nama Pena (optional):
Tempat & Tanggal Lahir:
Alamat:
E-mail:
Nomor Telepon:
Akun Twitter:

Naskah, sinopsis, dan biodata merupakan tiga file Word terpisah, dikirim dalam bentuk attachment (bukan compressed file .zip/.rar) ke twigora@gmail.com, dengan subjek e-mail SWEET/SPICY_NAMA_JUDUL NASKAH. Contoh: SPICY_CHRISTIAN SIMAMORA_MARRY NOW, SORRY LATER.

Setelah mengirimkan naskahnya, jangan lupa tweet “Aku ikutan kompetisi menulis #SWEETANDSPICYROMANCE @TWIGORA lho! www.twigora.com/sweetspicy/” Jangan lupa follow @TWIGORA ya!

Naskah ditunggu paling lambat 11 September 2015.

Dua puluh besar yang terpilih wajib mengirimkan naskahnya dalam bentuk hard copy sebanyak 3 (tiga) eksemplar ke alamat redaksi Twigora. Naskah ini akan dibaca oleh para juri dan hasil keputusannya diumumkan pada tanggal 11 November 2015.
Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.

Para peserta SWEET AND SPICY berkesempatan untuk memenangi hadiah sebagai berikut:
Juara I : Rp 6.000.000 + kontrak penerbitan + merchandise Twigora
Juara II : Rp 4.000.000 + kontrak penerbitan + merchandise Twigora
Juara III : Rp 2.000.000 + kontrak penerbitan + merchandise Twigora

*) hadiah belum termasuk royalti ketika naskah diterbitkan.

Lomba Menulis Cerpen/Cerber Femina 2015-2016


Sayembara Fiksi 2015/2016
Event Sayembara Fiksi 2015/2016 Femina
Sayembara Fiksi dibuka kembali!

Tantang daya cipta Anda untuk menjadi penulis terkenal sekaligus membawa pulang
total hadiah Rp44 juta!

Syarat Umum Sayembara Cerpen & Cerber femina 2015/ 2016:
>>Peserta adalah Warga Negara Indonesia.
>>Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, menggunakan ejaan yang disempurnakan.
>>Naskah harus karya asli, bukan terjemahan.
>>Tema bebas, namun sesuai untuk majalah femina.
>>Naskah belum pernah dipublikasikan di media cetak, elektronik dan online, dan tidak sedang diikutsertakan dalam sayembara lain.
>>Peserta hanya boleh mengirim 2 naskah terbaiknya.
>>Hak untuk menyiarkannya di media online ada pada PT Gaya Favorit Press.
>>Redaksi berhak mengganti judul dan menyunting karya.
>>Naskah yang tidak menang, namun memenuhi syarat, akan dimuat di femina.
>>Penulis akan mendapat honor sesuai standar femina.
>>Keputusan juri mengikat, tidak dapat diganggu gugat, dan tidak ada surat-menyurat.
>>Lomba ini tertutup untuk karyawan Femina Group.
>>Naskah dikirim ke redaksi femina, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. B32-33, Kuningan, Jakarta Selatan, 12910

Syarat Khusus Cerpen:
>>Diketik dengan komputer di atas kertas HVS kuarto dengan jarak dua spasi. Font Arial ukuran 12.
>>Panjang naskah 6-8 halaman, dan dikirim sebanyak dua rangkap disertai 1 (satu) CD berisi naskah.
>>Naskah dilampiri formulir asli dan fotokopi KTP.
>>Pada amplop kiri atas ditulis: Sayembara Mengarang Cerpen Femina 2015.
>>Naskah ditunggu selambat-lambatnya 15 September 2015.
>>Pemenang akan diumumkan di majalah femina yang terbit pada bulan November 2015.
Syarat Khusus Cerber:
>>Diketik dengan komputer di atas kertas HVS kuarto dengan jarak dua spasi. Font Arial ukuran 12.
>>Panjang naskah 40-50 halaman.
>>Dijilid dan dikirim sebanyak dua rangkap disertai 1 (satu) CD berisi naskah.
>>Naskah dilampiri formulir asli dan fotokopi KTP, serta sinopsis cerita.
>>Pada amplop kiri atas ditulis: Sayembara Mengarang Cerber Femina 2015/2016.
>>Naskah ditunggu selambat-lambatnya 30 November 2015.
>>Pemenang akan diumumkan di majalah femina yang terbit pada bulan April 2016.

Hadiah Sayembara Cerpen*
Pemenang 1 : Rp6.000.000
Pemenang 2: Rp 4.000.000
Pemenang 3: Rp3.000.000

Hadiah Sayembara Cerber*
Pemenang 1 : Rp15.000.000
Pemenang 2: Rp 9.000.000
Pemenang 3: Rp7.000.000

Kami nantikan karya terbaik Anda!

Senin, 15 Juni 2015

Meet Rere & Bayu: Cinta Itu Logika yang Indah



“Kuperhatikan belakangan ini kau sering melamun. Apa yang kau pikirkan?”
“Sekarang apa yang kau pikirkan tentang aku yang sering melamun?”
“Emm,” aku menerawang langit hitam di atas kami. Menepuk-nepuk jari telunjuk di bibir seolah sedang benar-benar berpikir. “Mungkin kau sedang patah hati? Baru ditinggal kekasihmu?”
Bayu tertawa menanggapi tebakkanku. “Aku belum punya kekasih.”
“Benarkah? Kalau begitu berarti kau sedang jatuh cinta. Kau sedang memikirkan bagaimana cara menyatakan perasaanmu pada gadis yang kau suka.”
“Kurasa kau benar. Aku memang sedang memikirkan seorang gadis.”
Entah kenapa aku merasa Bayu adalah lelaki yang melankolis. Dia memikirkan orang yang disukainya di malam hari, di tempat yang jauh dari keramaian. Tapi sifatnya ini sangat manis. Astaga. Omong-omong, siapa gadis dalam pikiran Bayu?
“Temanku bilang kalau seorang lelaki membutuhkan keberanian yang tinggi untuk menyatakan perasaannya.”
“Temanmu yang mana?” Bayu melirik ke arahku. Aku terkesiap dengan pertanyaan darinya. “Sebenarnya kau menganggap Jordi itu teman atau,”
“Jangan mengalihkan pembicaraan, Bayu. Kita sedang membahas dirimu, bukan aku.”
Aku memang sedang tidak ingin membicarakan Jordi. Mungkin untuk sementara, sebaiknya dia tidak muncul dalam kehidupanku.
“Baiklah. Sampai di mana tadi?”
“Temanku bilang kalau seorang lelaki membutuhkan keberanian yang tinggi untuk menyatakan perasaannya.”
Bayu menatap langit yang bertabur sedikit bintang. Dan aku melempar pandangan pada satu bintang yang paling besar.
“Menyatakan perasaan bukanlah soal keberanian.”
“Lalu?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan.
“Ini soal keyakinan.”
Kami berdua masih sama-sama memandang ke atas. Aku sendiri sangat menikmati tiupan angin malam yang membelai lembut. Anak rambutku tersibak dari pipi. Dan angin malam seperti ini selalu menenangkan. Tanpa deru kendaraan dan kadang terdengar lolong anjing sesekali.
“Bilang cinta memang mudah. Bahkan bisa saja sekarang kukatakan aku mencintaimu, Karenina,” Bayu menoleh, begitupun aku. Mata kami saling bertemu. Saling mencari sesuatu yang tersembunyi di balik pupil mata. Dan aku bisa melihat bayanganku sendiri di matanya. Bayu mengalihkan pandangan kembali ke langit. “Tapi apa itu cinta? Aku sendiri tidak mengerti apa arti dari kalimat ‘aku mencintaimu’. Aku tidak yakin dengan apa yang kuucapkan. Dan aku tidak yakin pada orang yang sedang kupikirkan.”
Untuk beberapa menit aku masih menoleh pada Bayu. Memperhatikan lekuk mata, hidung, dan bibirnya ketika berbicara. Dan aku baru menyadari bahwa dirinya memiliki jambang yang tipis. Kulit wajahnya pun bersih. Tapi tidak seelok wajah Jordi yang tampak sangat terawat.
“Tidak atau belum?”
“Belum. Menurutku, seorang lelaki harus bisa mempertanggung jawabkan apa yang keluar dari mulutnya. Cinta bukan tentang kata dan nafsu. Cinta itu logika. Logika yang indah.”
Aku mendengarkan tiap kata yang terucap oleh Bayu dengan seksama. Kalimat yang ia ucapkan menggambarkan kedewasaan yang ia miliki. Jauh dari dugaan. Di awal pertemuanku dengannya, aku menganggap lelaki ini cuma lelaki penggoda dan senang hura-hura di dunia luar. Lelaki yang begitu pandai mendapatkan gadis incarannya dengan rayuan sebagai pemancing. Tapi malam ini dugaanku dinyatakan salah oleh diriku sendiri. Ada sisi lain dari dalam diri Bayu yang baru kuketahui.
“Lalu, apakah menurutmu Jordi itu salah? Yang dengan mudahnya menyatakan cinta padaku padahal kami baru beberapa kali bertemu?” aku ragu menanyakan hal ini. Tapi entah kenapa aku menginginkan Bayu menjawab ini adalah salah.
Bayu kembali menoleh. “Kau bilang tadi tidak mau membahas Jordi, bukan?”
“Tapi sekarang aku mau. Jawab pertanyaanku, Bayu. Apakah dia salah?”
Bayu tidak langsung menjawab. Dia mengubah posisi duduknya dari bersila menjadi melipat kakinya ke atas dan meletakkan tangannya di atas lutut. Lalu menoleh ke arahku lagi seraya berkata, “Aku tidak tahu.”
Aku mendesah.
“Tidak ada yang tahu hati dan pikiran manusia yang sesungguhnya. Mungkin dia memang telah benar-benar yakin dengan apa yang diucapkannya, dan yakin dengan dirimu.” Nada bicara Bayu tampak lebih serius.
“Kenapa dia bisa begitu cepat yakin? Sementara kau sepertinya membutuhkan waktu yang lama. Apa yang membedakannya?” tanyaku yang juga makin serius.
Bayu menanggapinya dengan tertawa. “Ada apa dengan dirimu, Re? Katakan, apakah kau sedang mencoba memahami kaum lelaki?”
“Tidak juga. Aku bertanya karena aku tidak mengerti.”
“Karenina, semua kembali lagi pada personalnya. Setiap orang kan punya pemikiran masing-masing.”
“Lantas apakah aku harus menanyakannya pada Jordi, kenapa dia begitu cepat dan mudahnya berkata cinta padaku?”
“Astaga, Karenina. Ini akan menjadi malam yang panjang jika kau terus bertanya.” Bayu beranjak dari tempatnya.
“Tunggu! Kau mau kemana?”
Namun, tanpa sadar aku memang menginginkan malam ini berlangsung panjang tanpa kata selesai. Tanpa ada pagi, tanpa matahari yang mengusik ketenangan ini. Entahlah. Aku selalu sulit memahami diriku sendiri.
 “Aku mau mengikuti apa yang hatiku katakan. Kau juga sebaiknya begitu,” Bayu membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke wajahku yang masih terduduk. “Ikuti apa kata hatimu, Karenina.” Lalu ia tersenyum sekali lagi dan berlalu.
***
Pukul sebelas malam aku baru memasuki kamarku. Biasanya di malam-malam bersama Jordi, atau ketika kami saling bicara dalam telefon, ia selalu menyuruhku tidur pukul sembilan malam. Ketika kami jalan berdua malam hari pun ia selalu menyudahi pertemuan kami dengan alasan sudah terlalu malam. Angin malam tidak baik untukku dan untuknya. Seorang gadis tidak baik berada di luar rumah pada malam hari.
Astaga.
Kupikir dia masih mengadopsi mitos-mitos nenek moyangnya. Aku terkadang ragu, apa mungkin Jordi bersikap seperti itu di Singapura yang kotanya lebih modern dari Bandung atau Jakarta? Rasanya sulit dibayangkan.
Aku merebahkan diri dan menutupi tubuhku dengan selimut. Berharap mataku bisa terpejam dengan sendirinya. Saat hendak mematikan lampu tidur yang berdiri di atas laci di sebelah tempat tidur, aku memperhatikan ponselku yang juga terletak di tempat yang sama. Bukan sekadar memperhatikan, tapi aku sedang berpikir tentang Bayu. Aku berniat mengirim pesan untuknya.

Aku menyukai angin malam kali ini.
Kau berceloteh tentang cinta. Dan aku sangat menikmatinya.

Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku ingin sekali mengirim pesan untuknya. Di malam-malam sebelumnya aku tidak pernah sengaja melakukan hal ini. Seringnya dia yang lebih dulu mengirim pesan untukku.
Tak lama masuk balasan:

Kuharap kau ingat dan mencerna semua yang kukatakan tadi, Karenina.

Apa mungkin karena efek angin malam yang terlalu banyak masuk ke dalam tubuhku, membuatku tidak mengerti apa yang dikatakan Bayu. Kata-kata yang mana yang harus kuingat dan kucerna? Lalu kuputuskan untuk menelefonnya.
“Kau ternyata benar-benar ingin malam ini menjadi malam yang panjang, Karenina?” suara Bayu terdengar dari seberang sana. Dan kudengar ia pun tertawa setelahnya.
“Sang Pencipta akan memperpanjang masa persembunyian matahari, jika kau masih saja membuatku bingung, Bayu.”
“Apa yang kau bingungkan? Jordi?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Kata-katamu yang mana yang harus kuingat dan aku cerna? Yang aku ingat saat ini adalah soal kau yang sedang mempersiapkan keyakinan untuk menyatakan perasaanmu pada gadis yang kau sukai.” Diam-diam aku meringis setelah berkata seperti itu. Semacam telah menancapkan duri dalam daging sendiri.
“Kau tahu, Karenina? Sekarang aku makin tidak yakin.”
“Kenapa lagi? Apa dia menghubungimu barusan dan bilang kalau dia akan menikah dengan orang lain?”
“Ha ha ha. Kau ini lucu, Karenina.” Untunglah Bayu tidak sedang melihat wajahku yang mendadak merona setelah dibilang lucu. “Emm, sudahlah. Itu tidak penting. Kau belum mengantuk?”
“Belum. Kau sendiri?”
“Aku ingin memaksakan mataku terpejam. Aku tidak mau berlama-lama bicara denganmu.”
“Apa maksudmu, Bayu?”
“Aku takut kau datang di mimpiku. Selamat malam, Karenina.” Telefon terputus.
Tiba-tiba aku senyum-senyum sendiri setelah Bayu mematikan ponselnya. Ada sesuatu yang lain datang malam ini. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan. Herannya, ini tidak sama dengan yang kurasakan ketika berinteraksi dengan Jordi. Dan herannya lagi, aku baru menyadari belakangan ini aku sering membeda-bedakan antara Jordi dengan Bayu. Kuakui, mereka berdua lelaki yang betul-betul berbeda. Dan malam ini keraguan menghinggap dalam diriku.
Tidak hanya itu. Rasa penasaran yang tinggi menyusup diam-diam. Aku lupa menanyakan siapa gadis yang dimaksud Bayu. Dia belum menceritakannya saat masih di lahan kosong tadi atau ketika aku meneleponnya.
Jendela kamar berdebum keras membuyarkan lamunanku. Aku beranjak mendekati jendela yang ternyata lupa kututup. Kukeluarkan kepala melewati batas kusen jendela. Di seberang sana, jendela kamar Bayu masih memancarkan cahaya lampu. Tidak ada tanda-tanda Bayu di sana. Aku tidak melihat bayangan tubuhnya.
Angin berhembus makin kencang. Dan kegelisahanku makin menjadi tanpa tahu cara mengendalikannya.
***

Kamis, 11 Juni 2015

Meet Bayu



Bayu adalah seorang yatim piatu. Diasuh oleh seorang wanita keturunan Tionghoa bernama Liemey. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat yang terbang dari Jakarta menuju  Makassar, saat ia berusia tujuh tahun.

Lelaki penggila buku sejarah dan mengkoleksi beberapa buku klasik, gayanya yang easy going, dan senang dengan suasana ketika hujan. Kenapa? Baginya, hujan membawa ketenangan. Segala kerinduannya pada orang yang ia sayangi memuncak ketika hujan turun. Ia lebih merasakan kehadiran Mama dan Papa kandungnya. Ada magis yang dibawa hujan. Saat itulah kenangannya tentang masa kecil pun berputar perlahan. Dia memang agak sedikit sendu. Walaupun tampangnya sama sekali tidak menunjukkan sifat aslinya. Panggil dia Bayu, Si Angin pembawa perubahan. Lelaki yang hobinya tersenyum ini penyayang perempuan. Gayanya yang selalu santai tapi tetap berwibawa adalah senjata andalannya untuk memikat para gadis, termasuk Rere.

Em, aku menginginkan Bayu menjadi seorang penikmat buku dan musik.  Ssstt, tidak akan ada yang tahu kalau ia kutu buku. Karena di luar ia tampak seperti lelaki yang senang menggoda gadis-gadis belia, dan senang hura-hura di kelab atau bar. Padahal di rumahnya, ia memiliki perpustakaan pribadi yang furniture-nya penuh dengan warna hijau lumut. Kenapa harus hijau? Ah, kau akan tahu kenapa Bayu menggunakan warna itu sebagai hal utama dalam perpustakaannya.

Aku berbisik pada langit. Lalu, langit akan melaksanakan tugasnya untuk mengubah hidup Rere ke arah kehidupan yang baru. Nanti akan ada angin, yang selalu membelai lembut, menenangkan ketegangan, dan mengubah segalanya menjadi baru. Angin. Yang senantiasa berhembus di setiap senja, berputar sedikit kencang di atas jam sembilan malam, dan membuai ketika hawa dingin menyergap alam semesta.

Angin itu adalah Bayu. Kenapa Bayu?

Cari tahu bersama Rere. Ia pun punya rasa ingin tahu yang sama besar untuk mengenal lebih jauh tentang sosok Bayuputra.

Rabu, 10 Juni 2015

Meet Rere & Bayu: Gerimis dan Hujan Tidaklah Sama

     Biar mereka tahu kalau aku membenci hujan. Yang hanya datang membawa kepiluan dan mengubah diriku menjadi sendu. Aku tidak ingin menampakkan wajah dengan linangan air mata. Itu hanya akan membuatku terlihat buruk.
     Tapi ketahui juga, bahwa aku menyukai angin. Ia terasa lebih menenangkan. Tiupannya selalu membuat otakku lebih tenang dari segala bingar yang terjadi. Aku tahu angin sering membawa hujan setelahnya. Meskipun demikian, hanya angin yang kusuka. Bukan hujan dan badai yang dibawanya. Yang kemudian tak jarang suara petir menggelegar. Saling bersahutan dan berduel dengan kilatan di langit.
     Hai, langit. Bisakah kau tiupkan angin di setiap malamku? Tapi jangan kau mengajak hujan atau petir. Karena itu akan membuatku semakin buruk. Dan dunia tidak boleh melihatnya. Cukup warna hitammu yang tahu aku seperti apa. Meskipun angin adalah temanmu – dan mungkin akan menjadi temanku juga – jangan beri tahu ia. Pastikan bahwa Sang Angin hanya mengenalku sebagai Rere yang tangguh.
     “Hei, melamun?”
     Aku terkesiap. Tiba-tiba saja orang yang selalu kulihat setiap pagi di taman komplek, muncul dengan menunjukkan deretan gigi yang rapi. Senyumnya begitu lebar. Dan matanya mengilat meski tidak ada cahaya matahari saat ini.
     Dia duduk di sampingku. Tidak terlalu dekat. Tapi harum parfum yang tak kukenal namanya menguar dengan tajam.
     “Banyak gadis yang meratapi nasibnya di bawah mendung. Saat hujan turun, air matanya juga ikut turun. Kau sedang patah hati?”
     Lelaki di sebelahku menoleh. Semula aku tidak merespon. Tapi saat ia berdehem, akupun menoleh.
     “Bagaimana kalau gadis itu menatap langit mendung karena ia membencinya? Bukan membenci kekasihnya yang pergi memutuskan hubungan sepihak, seperti katamu tadi.”
     “Kau tidak suka langit mendung? Kau membenci hujan?” mata lelaki itu menyipit dan berkerut dahi. Seolah tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Lantas aku membenarkannya.
     Dia hanya tersenyum dan tidak lagi menoleh ke arahku. Matanya menerawang langit kelabu di atas kami, yang siap menjatuhkan ribuan bulir air ke bawahnya. Aku tidak mengenal lelaki itu sama sekali. Tapi aku sering melihatnya setiap pagi berdiam diri di tepi ari mancur di taman komplek. Dan anehnya, kenapa ia bisa kemari?
     “Bayu.” Lelaki yang sedang kupikirkan diam-diam, menyebutkan namanya sambil mengulurkan tangan.
     “Rere,” aku membalas jabatan tangannya dengan senyuman yang dipaksakan.
     “Nama yang cocok dengan orangnya.”
     Lalu aku tidak lagi menghiraukannya. Mungkin dia hanya salah satu diantara lelaki yang senang menjahili gadis-gadis di komplek ini. Dari caranya tersenyum, sepertinya dia sangat mahir untuk menarik para gadis incarannya. Tapi aku bukan mereka.
     Tak lama kemudian hujan benar-benar turun. Langit tidak pernah bercanda dengan kelabunya. Mungkin langit berpikir bahwa menurunkan hujan adalah sebuah tugas wajib dari Sang Pencipta. Sekalipun terkadang membuat makhluk di alam semesta meringis, tidak menyukai hujan – seperti diriku.
     Aku akan bergegas masuk ke dalam rumah. Tapi tanpa disangka, lelaki itu, maksudku Bayu, menahan pergelangan tanganku. “Mau kemana?”
     “Apa kau buta? Hujan sudah turun,” jawabku setengah kesal sambil menarik paksa tanganku.
     “Ini baru gerimis. Bukan hujan besar.”
     “Gerimis dan hujan apa bedanya? Dan untuk apa kau menahanku?” akupun berlalu meninggalkan Bayu yang masih terduduk di atas tumpukkan pipa beton tempat kami duduk berdua tadi.

***

     Rasanya ingin sekali membiarkan angin masuk ke kamarku. Tapi aku ragu apakah angin di suasana seperti ini akan bersahabat atau tidak. Karena umumnya, langit mendung dan gerimis akan berubah menjadi hujan besar dan muncul angin badai. Aku suka angin, tapi bukan badai.
     Akhirnya kuputuskan untuk membuka sedikit jendela kamar. Saat menyibak gorden, ternyata lelaki itu masih bertahan di tempatnya. Sambil memasang headset yangtersambung dengan iPod di saku kemejanya – aku sempat melirik iPod itu saat masih di sana – dan mengangguk-angguk pelan mengikuti irama dari iPodnya. Lalu aku beralih pada langit. Hujannya memang tidak besar. Dia benar, ini cuma gerimis kecil.
     Tapk, apa bedanya hujan dan gerimis? Apa karena volume airnya? Ya Tuhan, bagiku keduanya sama saja. Sama-sama memilukan.

Sabtu, 06 Juni 2015

Aku adalah langit, dia adalah angin.

     Meski kini aku mulai menghitam bahkan hampir pekat, demi alam semesta, esok aku masih menghendaki putih; untukmu.
     Hai, gadis di ujung persimpangan sana! Mendekatlah padaku melalui atap gedung itu. Akan kudongengkan satu hal di telingamu.
     Aku mengerti, kau gadis penyayang. Yang merindukan bunga-bunga tak berkuncup bersemai di setiap langkah yang kau jejakkan.
     Aku mengerti, kau gadis pengasih. Yang merindukan kupu-kupu bersayap merah muda beterbangan mengitari kepalamu setiap saat.
Tapi aku juga mengerti hal lain...
     Kau telah lupa bagaimana rasanya geli di perutmu ketika tertawa bersamanya.
     Kau telah lupa bagaimana lembut genggamannya ketika demam mendera kondisimu.
     Kau juga telah lupa bagaimana kehangatan tubuhnya ketika kau mendekapnya pada pukul dua belas malam.
     Atas semua itulah kau merindu. Ya, rindu. Sebuah kata yang tak mau kau lontarkan lantaran kelu lidahmu, ragu hatimu, dan mati jiwamu. Namun jasadmu masih belum hilang. Andai Sang Pencipta berkehendak menghidupkannya, kau masih berkesempatan.
     Untukmu, gadis yang tengah sulit mengecap manis dan asinnya hidup, Sang Pencipta menyerahkan sebuah tugas padaku.
     Mulai malam ini, aku akan mengundang angin. Supaya ketika aku menghitam dan pekik, angin yang akan buatmu tenteram meski tanpa temaram. Agar ketika kau menyambut putihnya aku di suatu pagi, bisa kulihat senyum terulas di bibirmu. Dan permohonanku pada Sang Pencipta atas keinginanku pada putih tidaklah percuma.
     Ia adalah angin; yang kupastikan lebih baik dari dirinya yang pernah mengisi buku harian di hatimu. Ia adalah angin; yang kupastikan lebih pantas untuk kau sanjung daripada dia yang berlalu tanpa malu. Ia adalah angin; yang kupastikan lebih setia menghampirimu tanpa melewatkan satu malampun. Ia adalah angin; yang kupastikan akan selalu memberimu ketenangan hanya dengan belaian diantara pipi dan telingamu. Ia adalah angin; yang kupastikan tak punya benda tajam untuk menoreh luka. Ia adalah angin; yang dingin tapi mesra. Ia adalah angin.

Kamis, 04 Juni 2015

Meet Karenina


Lahir di Semarang, kemudian dibawa orang tuanya merantau ke Kota Kembang. Ia anak pertama dari pasangan Budiman Wiryatama dan Ranti Kusumaningsih, dan memiliki dua orang adik perempuan, Nagita Wiryatama (Nagi) dan Putri Nafa Wiryatama (Nafa). Di dalam keluarganya, Karenina dipanggil dengan nama Nina. Tetapi seiring berhembusnya angin yang membawa kehidupannya benar-benar berubah, ia mulai memperkenalkan dirinya pada dunia dengan nama Rere.
Di setiap lamunan yang rajin kulakukan, tak jarang otakku memikirkan rahasia hidup yang sesungguhnya. Tapi jika kuuraikan sendiri menjadi sebuah artikel, rasanya akan terlalu klasik mengingat begitu banyak artikel-artikel mengenai hidup. Manusia kebanyakan sangt hobi menebak takdir, terkecuali Rere.


Aku ‘menciptakan’ Rere dengan berbagai alasan yang abstrak. Jelasnya, aku menginginkan seorang gadis yang pemberani saat menjalankan roda kehidupan, tapi penuh kemesraan dalam setiap lakonnya dengan masyarakat. Ia tercipta bukan karena request dari orang lain, bukan juga terinspirasi dari seorang manusia yang nyata. Ia akan menjadi seorang gadis yang tangguh, mandiri, pemberani, cuek, dan penuh kasih sayang. Aku memberinya sebuah hati yang dipenuhi rasa cinta, tangan yang penuh kelembutan disetiap sentuhannya, dan mata yang indah setiap kali ia membukanya. Aku juga memberinya banyak persediaan air mata.
Lalu, aku mengajak angin untuk berperan dalam hidup Rere. Ia akan menjadi kontributor terpenting dalam perubahan seorang Karenina.

Selasa, 02 Juni 2015

Belajar dari Seorang Ananta Prahadi

     Kali ini, aku menulis bukan sebagai seorang penulis. Tapi aku sedang menulis sebagai seorang pembaca. Ya, tentang novel yang baru saja selesai aku “lahap” di hari libur ini, yang complecated dan menguras air mata di bagian akhir. Kalau sampai aku menangis karena membaca sebuah novel, kuanggap penulis buku itu cerdas dan sukses.

     Tulisan ini bukan sebuah review buku yang biasa diposting dalam Goodreads. Aku menulis ini karena kecintaanku pada Anta – seorang udik dari Subang – dan Tania, si monster dari planet.

     Ananta Prahadi. Seorang lelaki polos dengan ciri khas kedaerahannya yang sundanis, diciptakan oleh Risa Saraswati sebagai pembawa perubahan dalam hidup Tania – tuan puteri yang galaknya tak tertandingi – dan mempertemukannya pada jodoh sejatinya, Pierre.

     Tunggu, awalnya aku sama sekali tidak berminat untuk membaca novel keempat Teh Risa ini. Beberapa bulan yang lalu – pokoknya lama sekali – novel itu dipinjamkan oleh salah satu teman kampusku – Bang Igo. Aku tidak tertarik dengan sampulnya, awalnya. Dan kupikir novel itu akan berbau hantu-hantu seperti novel pertama Teh Risa yang pernah kubaca. Maka aku menunda-nunda waktu untuk membuka novel tersebut. Hari ini tanggal merah, meskipun besok masih ada UAS terakhir, tapi aku tidak mau mengotori hari libur yang jarang ini untuk menghafal materi-materi politik yang tidak begitu penting. Aku mengintip rak bukuku yang sudah semakin sempit oleh buku-buku koleksiku (bukan karena bukunya yang terlalu banyak, tetapi rak bukunya yang terlalu sempit). Novel Ananta Prahadi terselip di paling ujung deretan novel-novel koleksiku. Akhirnya, aku memaksakan diri untuk membuka halaman demi halaman yang menayangkan susunan huruf merangkaikan sebuah cerita.

     Ananta Prahadi. Tidak pernah ada kesedihan yang Teh Risa paparkan di setiap lakonnya. Dia laki-laki periang, yang tak pernah menyerah menghadapi monster seperti Tania. Duduk satu bangku bersama Tania di waktu SMA bukanlah sebuah kesialan laki-laki yang akrab dipanggil Anta itu. Malahan ia rela mengabdikan dirinya untuk selalu menemani Tania sepanjang hidupnya, hingga merubah Tania menjadi seorang wanita normal. Anta bukan dari keluarga berada. Tapi kemahirannya menaklukan Tania membuat Tania terkesan dan berhasil memiliki seorang teman bahkan sahabat. Ia juga tidak mempermasalahkan saat Tania melemparkan kata-kata kasar secara berubi-tubi, atau bahkan sampai melemparinya dengan cangkir.
     Anta tidak pernah lelah menjaga dan mengurus monster seperti Tania. Ia yakin bahwa Tania bukanlah wanita bodoh dan aneh seperti pandangan orang-orang. Ketulusannya membuat Tania luluh dan selalu menuruti kemauannya. Ia juga telah menumbuhkan cinta dan kasih seorang monster yang tak pernah diberikan pada siapapun. Cinta mereka abadi meski keduanya telah menemukan kehidupan yang baru.

     Tania. Semua orang menganggapnya aneh, mengerikan, bukan manusia. Bahkan orang tua dan saudaranya sendiri menganggapnya demikian. Dia bukan hanya aneh, tapi dia seorang monster (monster apa? Coba baca saja novelnya sendiri). Satu keinginannya, ingin bahagia dengan caranya sendiri. Tapi yang menjadi masalah, segala cara yang dianggapnya ampuh untuk membuatnya bahagia malah mengundang petaka dalam hidupnya. Semua orang yang mencintainya menjadi korban atas sikap dan perilakunya yang tidak wajar.
     Sesungguhnya Tania hanyalah gadis biasa seperti gadis-gadis pada umumnya. Tetapi, cara pikirnya menguasai dirinya seakan-akan semua hukum dan peraturan di dunia ini tidak masuk akal. Tidak ada yang penting dalam hidup kecuali melukis. Segala hal yang menjadi khayalannya ia tuangkan di atas kanvas. Tidak ada yang mampu memahami Tania selain Ananta Prahadi. Dan pertemuannya dengan Anta adalah awal dari revolusi dirinya menjadi seorang Tania yang normal, yang bisa menangis, yang bisa tersenyum seharian, dan yang bisa mencintai seorang pria.

     Dari novel Teh Risa yang satu ini, aku ingin menuliskan pandanganku:
     Semua orang ingin bahagia. Semua orang berlomba-lomba mengeluarkan cara untuk membuat hidupnya selalu bahagia, meski terkadang caranya salah. Namun, jika dengan cara kita sendiri kebahagiaan itu tak kunjung datang atau malah memperburuk keadaan, kenapa tidak coba menggunakan cara orang lain?
     Keluarga, sahabat, bahkan kekasih sangatlah kasihan jika tidak bahagia karena ketidaknormalan seorang aku sebagai makhluk aneh di alam semesta ini. Mereka juga ingin diri ini bahagia. Dan terkadang mereka punya cara yang lebih baik dari cara-cara kita sendiri. Dunia ada digenggamanku, ketika semuanya menuntut perubahann atas diri ini yang terlampau jauh dari kata normal. Tergantung pada diri sendiri: mau atau tidak?

Lalu, seperti apa normal itu?
     Orang yang hidup sesuai kodratnya. Tidak berusaha menentang takdir, melainkan mengubah nasibnya agar tidak tampak mengerikan.
     Boleh saja mencoba bahagia dengan cara masing-masing. Tapi yang harus diingat, tidak semua hal yang ada di dunia ini berjalan selaras dengan kehendak diri sendiri. Dunia kadang tampak kejam, ia bisa sangat jahat dengan tidak mengabulkan sebuah kemauan. Tapi itu bukan sepenuhnya salah dunia. Tergantung bagaimana cara pikir diri sendiri tentang dunia dan kehidupan di dalamnya.
     Di bagian akhir novel Ananta Prahadi itu, Teh Risa berhasil mengundang air mataku untuk menangisi kepergian Anta. Emosiku sebelumnya sempat dikoyak Teh Risa pada kisah Tania dan Pierre. Aku setuju dengan pendapat Anta, bahwa hidup terlalu indah untuk disia-siakan. Dan aku setuju dengan Tania – setelah ia berubah – bahwa hidup terlalu sia-sia jika hanya diisi dengan marah-marah.

     Aku mencintai Anta. Kehadirannya seperti nyata. Dia lelaki pembawa kebahagiaan dan perubahan yang begitu besar. Tidak ada pamrih, hidupnya hanya penuh kekonyolan yang ia hadirkan sendiri. Semua orang menyukainya, bukan hanya aku ataupun Tania.
     Ini tentang mempelajari hidup. Ini tentang memahami Tania. Ini tentang Ananta Prahadi.
(Ree)