“Kuperhatikan belakangan ini kau sering melamun. Apa yang kau pikirkan?”
“Sekarang apa yang kau pikirkan tentang aku yang sering melamun?”
“Emm,” aku menerawang langit hitam di atas kami. Menepuk-nepuk jari
telunjuk di bibir seolah sedang benar-benar berpikir. “Mungkin kau sedang patah
hati? Baru ditinggal kekasihmu?”
Bayu tertawa menanggapi tebakkanku. “Aku belum punya kekasih.”
“Benarkah? Kalau begitu berarti kau sedang jatuh cinta. Kau sedang
memikirkan bagaimana cara menyatakan perasaanmu pada gadis yang kau suka.”
“Kurasa kau benar. Aku memang sedang memikirkan seorang gadis.”
Entah kenapa aku merasa Bayu adalah lelaki yang melankolis. Dia
memikirkan orang yang disukainya di malam hari, di tempat yang jauh dari
keramaian. Tapi sifatnya ini sangat manis. Astaga.
Omong-omong, siapa gadis dalam pikiran Bayu?
“Temanku bilang kalau seorang lelaki membutuhkan keberanian yang tinggi
untuk menyatakan perasaannya.”
“Temanmu yang mana?” Bayu melirik ke arahku. Aku terkesiap dengan
pertanyaan darinya. “Sebenarnya kau menganggap Jordi itu teman atau,”
“Jangan mengalihkan pembicaraan, Bayu. Kita sedang membahas dirimu, bukan
aku.”
Aku memang sedang tidak ingin membicarakan Jordi. Mungkin untuk
sementara, sebaiknya dia tidak muncul dalam kehidupanku.
“Baiklah. Sampai di mana tadi?”
“Temanku bilang kalau seorang lelaki membutuhkan keberanian yang tinggi
untuk menyatakan perasaannya.”
Bayu menatap langit yang bertabur sedikit bintang. Dan aku melempar
pandangan pada satu bintang yang paling besar.
“Menyatakan perasaan bukanlah soal keberanian.”
“Lalu?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan.
“Ini soal keyakinan.”
Kami berdua masih sama-sama memandang ke atas. Aku sendiri sangat menikmati
tiupan angin malam yang membelai lembut. Anak rambutku tersibak dari pipi. Dan
angin malam seperti ini selalu menenangkan. Tanpa deru kendaraan dan kadang
terdengar lolong anjing sesekali.
“Bilang cinta memang mudah. Bahkan bisa saja sekarang kukatakan aku
mencintaimu, Karenina,” Bayu menoleh, begitupun aku. Mata kami saling bertemu.
Saling mencari sesuatu yang tersembunyi di balik pupil mata. Dan aku bisa
melihat bayanganku sendiri di matanya. Bayu mengalihkan pandangan kembali ke
langit. “Tapi apa itu cinta? Aku sendiri tidak mengerti apa arti dari kalimat
‘aku mencintaimu’. Aku tidak yakin dengan apa yang kuucapkan. Dan aku tidak
yakin pada orang yang sedang kupikirkan.”
Untuk beberapa menit aku masih menoleh pada Bayu. Memperhatikan lekuk
mata, hidung, dan bibirnya ketika berbicara. Dan aku baru menyadari bahwa
dirinya memiliki jambang yang tipis. Kulit wajahnya pun bersih. Tapi tidak
seelok wajah Jordi yang tampak sangat terawat.
“Tidak atau belum?”
“Belum. Menurutku, seorang lelaki harus bisa mempertanggung jawabkan apa
yang keluar dari mulutnya. Cinta bukan tentang kata dan nafsu. Cinta itu logika.
Logika yang indah.”
Aku mendengarkan tiap kata yang terucap oleh Bayu dengan seksama. Kalimat
yang ia ucapkan menggambarkan kedewasaan yang ia miliki. Jauh dari dugaan. Di
awal pertemuanku dengannya, aku menganggap lelaki ini cuma lelaki penggoda dan
senang hura-hura di dunia luar. Lelaki yang begitu pandai mendapatkan gadis
incarannya dengan rayuan sebagai pemancing. Tapi malam ini dugaanku dinyatakan
salah oleh diriku sendiri. Ada sisi lain dari dalam diri Bayu yang baru kuketahui.
“Lalu, apakah menurutmu Jordi itu salah? Yang dengan mudahnya menyatakan
cinta padaku padahal kami baru beberapa kali bertemu?” aku ragu menanyakan hal
ini. Tapi entah kenapa aku menginginkan Bayu menjawab ini adalah salah.
Bayu kembali menoleh. “Kau bilang tadi tidak mau membahas Jordi, bukan?”
“Tapi sekarang aku mau. Jawab pertanyaanku, Bayu. Apakah dia salah?”
Bayu tidak langsung menjawab. Dia mengubah posisi duduknya dari bersila
menjadi melipat kakinya ke atas dan meletakkan tangannya di atas lutut. Lalu
menoleh ke arahku lagi seraya berkata, “Aku tidak tahu.”
Aku mendesah.
“Tidak ada yang tahu hati dan pikiran manusia yang sesungguhnya. Mungkin
dia memang telah benar-benar yakin dengan apa yang diucapkannya, dan yakin
dengan dirimu.” Nada bicara Bayu tampak lebih serius.
“Kenapa dia bisa begitu cepat yakin? Sementara kau sepertinya membutuhkan
waktu yang lama. Apa yang membedakannya?” tanyaku yang juga makin serius.
Bayu menanggapinya dengan tertawa. “Ada apa dengan dirimu, Re? Katakan,
apakah kau sedang mencoba memahami kaum lelaki?”
“Tidak juga. Aku bertanya karena aku tidak mengerti.”
“Karenina, semua kembali lagi pada personalnya. Setiap orang kan punya
pemikiran masing-masing.”
“Lantas apakah aku harus menanyakannya pada Jordi, kenapa dia begitu
cepat dan mudahnya berkata cinta padaku?”
“Astaga, Karenina. Ini akan menjadi malam yang panjang jika kau terus
bertanya.” Bayu beranjak dari tempatnya.
“Tunggu! Kau mau kemana?”
Namun, tanpa sadar aku memang menginginkan malam ini berlangsung panjang
tanpa kata selesai. Tanpa ada pagi, tanpa matahari yang mengusik ketenangan
ini. Entahlah. Aku selalu sulit memahami diriku sendiri.
“Aku mau mengikuti apa yang hatiku
katakan. Kau juga sebaiknya begitu,” Bayu membungkuk dan mendekatkan wajahnya
ke wajahku yang masih terduduk. “Ikuti apa kata hatimu, Karenina.” Lalu ia
tersenyum sekali lagi dan berlalu.
***
Pukul sebelas malam aku baru memasuki kamarku. Biasanya di malam-malam
bersama Jordi, atau ketika kami saling bicara dalam telefon, ia selalu
menyuruhku tidur pukul sembilan malam. Ketika kami jalan berdua malam hari pun
ia selalu menyudahi pertemuan kami dengan alasan sudah terlalu malam. Angin
malam tidak baik untukku dan untuknya. Seorang gadis tidak baik berada di luar
rumah pada malam hari.
Astaga.
Kupikir dia masih mengadopsi mitos-mitos nenek moyangnya. Aku terkadang
ragu, apa mungkin Jordi bersikap seperti itu di Singapura yang kotanya lebih
modern dari Bandung atau Jakarta? Rasanya sulit dibayangkan.
Aku merebahkan diri dan menutupi tubuhku dengan selimut. Berharap mataku
bisa terpejam dengan sendirinya. Saat hendak mematikan lampu tidur yang berdiri
di atas laci di sebelah tempat tidur, aku memperhatikan ponselku yang juga
terletak di tempat yang sama. Bukan sekadar memperhatikan, tapi aku sedang
berpikir tentang Bayu. Aku berniat mengirim pesan untuknya.
Aku menyukai angin malam kali ini.
Kau berceloteh tentang cinta. Dan aku sangat menikmatinya.
Aku sendiri
tidak mengerti kenapa aku ingin sekali mengirim pesan untuknya. Di malam-malam
sebelumnya aku tidak pernah sengaja melakukan hal ini. Seringnya dia yang lebih
dulu mengirim pesan untukku.
Tak lama masuk
balasan:
Kuharap kau ingat dan mencerna semua yang kukatakan tadi, Karenina.
Apa mungkin karena efek angin malam yang terlalu banyak masuk ke dalam
tubuhku, membuatku tidak mengerti apa yang dikatakan Bayu. Kata-kata yang mana
yang harus kuingat dan kucerna? Lalu kuputuskan untuk menelefonnya.
“Kau ternyata benar-benar ingin malam ini menjadi malam yang panjang,
Karenina?” suara Bayu terdengar dari seberang sana. Dan kudengar ia pun tertawa
setelahnya.
“Sang Pencipta akan memperpanjang masa persembunyian matahari, jika kau
masih saja membuatku bingung, Bayu.”
“Apa yang kau bingungkan? Jordi?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Kata-katamu yang mana yang harus kuingat dan aku cerna? Yang aku ingat
saat ini adalah soal kau yang sedang mempersiapkan keyakinan untuk menyatakan
perasaanmu pada gadis yang kau sukai.” Diam-diam aku meringis setelah berkata
seperti itu. Semacam telah menancapkan duri dalam daging sendiri.
“Kau tahu, Karenina? Sekarang aku makin tidak yakin.”
“Kenapa lagi? Apa dia menghubungimu barusan dan bilang kalau dia akan
menikah dengan orang lain?”
“Ha ha ha. Kau ini lucu, Karenina.” Untunglah Bayu tidak sedang melihat
wajahku yang mendadak merona setelah dibilang lucu. “Emm, sudahlah. Itu tidak
penting. Kau belum mengantuk?”
“Belum. Kau sendiri?”
“Aku ingin memaksakan mataku terpejam. Aku tidak mau berlama-lama bicara
denganmu.”
“Apa maksudmu, Bayu?”
“Aku takut kau datang di mimpiku. Selamat malam, Karenina.” Telefon
terputus.
Tiba-tiba aku senyum-senyum sendiri setelah Bayu mematikan ponselnya. Ada
sesuatu yang lain datang malam ini. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan.
Herannya, ini tidak sama dengan yang kurasakan ketika berinteraksi dengan
Jordi. Dan herannya lagi, aku baru menyadari belakangan ini aku sering
membeda-bedakan antara Jordi dengan Bayu. Kuakui, mereka berdua lelaki yang
betul-betul berbeda. Dan malam ini keraguan menghinggap dalam diriku.
Tidak hanya itu. Rasa penasaran yang tinggi menyusup diam-diam. Aku lupa
menanyakan siapa gadis yang dimaksud Bayu. Dia belum menceritakannya saat masih
di lahan kosong tadi atau ketika aku meneleponnya.
Jendela kamar berdebum keras membuyarkan lamunanku. Aku beranjak
mendekati jendela yang ternyata lupa kututup. Kukeluarkan kepala melewati batas
kusen jendela. Di seberang sana, jendela kamar Bayu masih memancarkan cahaya
lampu. Tidak ada tanda-tanda Bayu di sana. Aku tidak melihat bayangan tubuhnya.
Angin berhembus makin kencang. Dan kegelisahanku makin menjadi tanpa tahu
cara mengendalikannya.
***