Berbagai kalimat kasar riuh menggelegar
diantara sudut ruangan, segala macam benda berdebum hebat di lantai, dan
suara-suara keras lainnya yang membuat sunyi jadi mencekam. Kedamaian bisa
dirusak begitu saja oleh terbangnya piring dari dapur menuju ruang depan. Mug
cantik bergambar hello kitty bisa tidak lagi berwujud berkat terbentur keramik
dingin. Begitu terus-menerus sampai si bungsu menjerit ketakutan. Entah apa
yang mereka pikirkan kemudian, sunyi pun kembali.
Kini lebih memekik tanpa alunan.
Nada-nada tak beraturan tadi menghilang ditelan udara. Semua berhenti. Mulut
dan tangan kasar mereka sudah tidak lagi beradu. Bedanya dengan sunyi yang
semula, ada kepingan mug dan porselin di atas ubin. Beberapa guci antik
terhempas di depan kabinet tempat menaruh televisi dan DVD. Aku tahu, tentu
mama yang paling histeris melihat gucinya tak lagi berwujud. Tangan-tangan itu
mengepal, menarik semua urat dan otot hingga menonjol dari balik kulit. Jika
melirik ke ekspresinya, tak ada lagi kasih dan kelembutan dalam pupil mereka.
Dan lihat rahang itu, mengeras menahan sesuatu yang malah membuat relung jadi
sesak.
Jika banyak anak yang tidak mau orang
tuanya berpisah atau bercerai, aku bukan termasuk bagian dari mereka. Aku
adalah seorang anak yang menginginkan kedua orang tuaku berpisah. Entah papa
yang yang pindah rumah atau mama yang kabur ke rumah nenek. Tidak ada lagi
kecocokan diantara mereka untuk tinggal dalam satu atap. Tidak ada lagi pendapat
dan kesimpulan yang sama, tidak ada lagi cerita indah yang ingin dibagi. Harta
milik masing-masing, tidak untuk dinikmati bersama. Apa yang dipakai dan siapa
yang memakainya, dialah yang bertanggungjawab atas itu. Siapa yang membutuhkan,
dia harus melakukannya sendiri. Tidak ada bantuan, tidak ada belas kasihan.
Untuk hal seperti itu apa tidak lebih baik berpisah atap? Mengapa yang demikian
masih berada dalam satu atap tanpa ada alasan untuk bertahan? Siapa yang benar
dan siapa yang harusnya disalahkan?
“Mama pikir memang tidak ada lagi yang
perlu dipertimbangkan.”
Baiklah, setidaknya itu kalimat buruk
yang terakhir kali kudengar. Aku bukan orang yang seutuhnya salah disamping
keinginanku agar mereka berpisah. Bukan aku yang pertama kali mengingkannya.
“Biarkan mamamu pergi. Dia lebih busuk
kelihatannya daripada wanita yang membangkai di dalam penjara.”
Ralat. Ini dia kalimat yang teramat
buruk yang terakhir kudengar. Sebenarnya aku tidak begitu peduli dengan apa
yang mereka teriakkan. Bahkan aku juga tidak ragu dengan keputusan mereka untuk
memutuskan hubungan yang sudah terjalin selama hampir 22 tahun.
Hanya saja, terselip perasaan yang
mengganggu dalam hening setelah kericuhan itu berhenti. Adik bungsuku. Nafa.
***
“Mbak, Nina. Jam pasir Nafa pecah.”
Ia meratapi butir-butir pasir yang
berserakan di atas ubin. Tabungnya tak lagi berbentuk, kerangkanya pun patah
dan tersungkur ke kolong kabinet.
“Kan sudah Mbak bilang, simpan di dalam.
Nanti kita beli yang baru ya.”
“Tadi papa yang melemparnya.”
Aku tersenyum membalas aduan Nafa.
“Besok kita cari yang lebih bagus dari ini. Jangan menangis lagi, oke?”
Nafa mengangguk sambil mengelap matanya
yang basah.
Dua bulan yang lalu, usianya baru genap
tujuh tahun. Nafa baru duduk dibangku kelas satu sekolah dasar. Belum waktunya
untuk Nafa mengerti tentang alur kehidupan. Terlebih apa yang sedang dialami
keluarganya terlalu memilukan untuk diterima orang dewasa sekalipun. Dia yang
paling kukhawatirkan dalam keadaan seperti ini. Aku takut jika Nafa nantinya
trauma setelah melihat beberapa kali adegan pertempuran yang berlangsung di
depan matanya. Tentu hal itu akan merusak pandangannya tentang berumah tangga.
Masa kecilnya akan terasa buruk tanpa ada belaian dari kedua orang tua ketika
hendak tidur, tangan yang menepuk manja punggungnya ketika menangis, dan tangan
yang terbuka lebar menyambut kepulangannya dari sekolah.
Mungkin adikku yang sudah lebih besar
dari Nafa akan lebih mampu menerima kenyataan. Sekiranya begitulah dugaanku.
Nagi bukan orang yang terbuka dan senang
bercerita dengan anggota keluarganya. Ia lebih tertutup. Tidak ada rahasianya
yang kuketahui selama enam belas tahun. Sewaktu kami kecil, aku dan Nagi begitu
dekat dan tak dapat dipisahkan. Banyak permainan yang kami berdua lakukan
diakhir minggu. Namun, seiring bertumbuhnya kami berdua, diantara aku dan Nagi
terbentang jarak yang cukup luas. Masa remajanya lebih sering dihabiskan di
luar bersama teman sebayanya. Hingga kini aku tidak pernah mengerti apa yang
ada dipikirannya, terutama ketika dalam keadaan seperti ini.
Nafa tidak perlu bingung akan ikut
dengan siapa. Tentu saja mama sendiri yang akan mengambilnya. Sedangkan aku dan
Nagi, harus membagi pikiran untuk memilih.
Tapi tidak. Aku tidak mau menghabiskan
waktu untuk itu. Jangan pernah paksa aku untuk memilih dengan siapa aku akan
tinggal. Tidak ada yang benar diantara keduanya. Kendati demikian, bukan
berarti aku tidak menyayangi mereka.
Aku memilih untuk hidup sendiri. Menyewa
sebuah kamar berukuran lima kali tujuh meter di belakang kantorku adalah sebuah
keputusan yang final. Di sana akan kudapatkan ketentraman yang telah lama tak
kujumpai. Sementara Nagi, kusarankan ia untuk ikut bersama papa. Ia masih duduk
di bangku sekolah menengah atas. Masih banyak biaya yang ia butuhkan untuk
memenuhi keperluan sekolahnya. Dan aku yakin bahwa aku bisa membiayai
kehidupanku sendiri meski tanpa tangan papa dan senyum mama.
(Bandung, 01 April 2015 // 16.15 // Ree Kurnia)
0 komentar:
Posting Komentar