Rabu, 01 April 2015

Nina, Nagi dan Nafa



Berbagai kalimat kasar riuh menggelegar diantara sudut ruangan, segala macam benda berdebum hebat di lantai, dan suara-suara keras lainnya yang membuat sunyi jadi mencekam. Kedamaian bisa dirusak begitu saja oleh terbangnya piring dari dapur menuju ruang depan. Mug cantik bergambar hello kitty bisa tidak lagi berwujud berkat terbentur keramik dingin. Begitu terus-menerus sampai si bungsu menjerit ketakutan. Entah apa yang mereka pikirkan kemudian, sunyi pun kembali.
Kini lebih memekik tanpa alunan. Nada-nada tak beraturan tadi menghilang ditelan udara. Semua berhenti. Mulut dan tangan kasar mereka sudah tidak lagi beradu. Bedanya dengan sunyi yang semula, ada kepingan mug dan porselin di atas ubin. Beberapa guci antik terhempas di depan kabinet tempat menaruh televisi dan DVD. Aku tahu, tentu mama yang paling histeris melihat gucinya tak lagi berwujud. Tangan-tangan itu mengepal, menarik semua urat dan otot hingga menonjol dari balik kulit. Jika melirik ke ekspresinya, tak ada lagi kasih dan kelembutan dalam pupil mereka. Dan lihat rahang itu, mengeras menahan sesuatu yang malah membuat relung jadi sesak.
Jika banyak anak yang tidak mau orang tuanya berpisah atau bercerai, aku bukan termasuk bagian dari mereka. Aku adalah seorang anak yang menginginkan kedua orang tuaku berpisah. Entah papa yang yang pindah rumah atau mama yang kabur ke rumah nenek. Tidak ada lagi kecocokan diantara mereka untuk tinggal dalam satu atap. Tidak ada lagi pendapat dan kesimpulan yang sama, tidak ada lagi cerita indah yang ingin dibagi. Harta milik masing-masing, tidak untuk dinikmati bersama. Apa yang dipakai dan siapa yang memakainya, dialah yang bertanggungjawab atas itu. Siapa yang membutuhkan, dia harus melakukannya sendiri. Tidak ada bantuan, tidak ada belas kasihan. Untuk hal seperti itu apa tidak lebih baik berpisah atap? Mengapa yang demikian masih berada dalam satu atap tanpa ada alasan untuk bertahan? Siapa yang benar dan siapa yang harusnya disalahkan?
“Mama pikir memang tidak ada lagi yang perlu dipertimbangkan.”
Baiklah, setidaknya itu kalimat buruk yang terakhir kali kudengar. Aku bukan orang yang seutuhnya salah disamping keinginanku agar mereka berpisah. Bukan aku yang pertama kali mengingkannya.
“Biarkan mamamu pergi. Dia lebih busuk kelihatannya daripada wanita yang membangkai di dalam penjara.”
Ralat. Ini dia kalimat yang teramat buruk yang terakhir kudengar. Sebenarnya aku tidak begitu peduli dengan apa yang mereka teriakkan. Bahkan aku juga tidak ragu dengan keputusan mereka untuk memutuskan hubungan yang sudah terjalin selama hampir 22 tahun.
Hanya saja, terselip perasaan yang mengganggu dalam hening setelah kericuhan itu berhenti. Adik bungsuku. Nafa.

***

“Mbak, Nina. Jam pasir Nafa pecah.”
Ia meratapi butir-butir pasir yang berserakan di atas ubin. Tabungnya tak lagi berbentuk, kerangkanya pun patah dan tersungkur ke kolong kabinet.
“Kan sudah Mbak bilang, simpan di dalam. Nanti kita beli yang baru ya.”
“Tadi papa yang melemparnya.”
Aku tersenyum membalas aduan Nafa. “Besok kita cari yang lebih bagus dari ini. Jangan menangis lagi, oke?”
Nafa mengangguk sambil mengelap matanya yang basah.
Dua bulan yang lalu, usianya baru genap tujuh tahun. Nafa baru duduk dibangku kelas satu sekolah dasar. Belum waktunya untuk Nafa mengerti tentang alur kehidupan. Terlebih apa yang sedang dialami keluarganya terlalu memilukan untuk diterima orang dewasa sekalipun. Dia yang paling kukhawatirkan dalam keadaan seperti ini. Aku takut jika Nafa nantinya trauma setelah melihat beberapa kali adegan pertempuran yang berlangsung di depan matanya. Tentu hal itu akan merusak pandangannya tentang berumah tangga. Masa kecilnya akan terasa buruk tanpa ada belaian dari kedua orang tua ketika hendak tidur, tangan yang menepuk manja punggungnya ketika menangis, dan tangan yang terbuka lebar menyambut kepulangannya dari sekolah.
Mungkin adikku yang sudah lebih besar dari Nafa akan lebih mampu menerima kenyataan. Sekiranya begitulah dugaanku.
Nagi bukan orang yang terbuka dan senang bercerita dengan anggota keluarganya. Ia lebih tertutup. Tidak ada rahasianya yang kuketahui selama enam belas tahun. Sewaktu kami kecil, aku dan Nagi begitu dekat dan tak dapat dipisahkan. Banyak permainan yang kami berdua lakukan diakhir minggu. Namun, seiring bertumbuhnya kami berdua, diantara aku dan Nagi terbentang jarak yang cukup luas. Masa remajanya lebih sering dihabiskan di luar bersama teman sebayanya. Hingga kini aku tidak pernah mengerti apa yang ada dipikirannya, terutama ketika dalam keadaan seperti ini.
Nafa tidak perlu bingung akan ikut dengan siapa. Tentu saja mama sendiri yang akan mengambilnya. Sedangkan aku dan Nagi, harus membagi pikiran untuk memilih.
Tapi tidak. Aku tidak mau menghabiskan waktu untuk itu. Jangan pernah paksa aku untuk memilih dengan siapa aku akan tinggal. Tidak ada yang benar diantara keduanya. Kendati demikian, bukan berarti aku tidak menyayangi mereka.
Aku memilih untuk hidup sendiri. Menyewa sebuah kamar berukuran lima kali tujuh meter di belakang kantorku adalah sebuah keputusan yang final. Di sana akan kudapatkan ketentraman yang telah lama tak kujumpai. Sementara Nagi, kusarankan ia untuk ikut bersama papa. Ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Masih banyak biaya yang ia butuhkan untuk memenuhi keperluan sekolahnya. Dan aku yakin bahwa aku bisa membiayai kehidupanku sendiri meski tanpa tangan papa dan senyum mama.

(Bandung, 01 April 2015 // 16.15 // Ree Kurnia)

0 komentar:

Posting Komentar