Kota
London dan seluruh negara di Eropa seperti tidak pernah tidur meskipun mentari
telah bergeser ke bagian bumi yang lain. Hingar bingar di tengah kota
meramaikan gulita tanpa kenal waktu. Meski dingin sedang menyelimuti kota ini,
tiada yang peduli akan hal itu. Termasuk aku.
Terpaksa
perjalanan kali ini aku hanya mengenakan sweter ungu muda yang tebalnya
dipastikan tidak akan bisa melindungi dari serangan hawa dingin London. Hanya
dengan bermodalkan syal, topi rajut, dan boots semata
kaki, aku harus mendapatkan Marc Jacobs baru sebagai pengganti milik Kennan.
Masih
terbayang dengan jelas bagaimana raut mukanya ketika tahu bahwa aku
menghilangkannya. Wajahnya merah, rahangnya mengeras, dan tatapannya sangat
tajam sampai kakiku rasanya lemas. Aku tidak tahu seberapa pentingnya jam
tangan itu. Tapi pasti benda itu sangat berarti dalam hidupnya, hingga ia
begitu marah dan mendiamkan aku seharian penuh.
Menurut
informasi dari Joy, aku bisa mendapatkan Marc Jacobs seperti milik Kennan yang
hilang di sebuah pusat perbelanjaan mewah bernama Harrods di Knightsbride.
Dengan menumpang seorang tamu Palmers yang kebetulan akan melewati Harrods,
akupun tiba di pusat perbelanjaan tersebut.
“Maafkan
aku, Nona. Kita tidak akan bisa pulang bersama,” kata Gordon, tamu Palmers yang
kutumpangi mobilnya.
“Tidak
apa-apa, Gordon. Terimakasih sudah bersedia memberikanku tumpangan.”
Gordon
tersnyum dan mobilnya kembali melaju.
Di
sinilah aku malam ini. Harrods tampak seperti istana. Seluruh bangunannya
dihiasi lampu-lampu kuning yang berpijar ditengah kota. Di atas bangunan
terdapat semacam kubah besar yang membuat mataku enggan berkedip. Sepanjang
trotoar sekitaran Harrods juga ramai oleh manusia yang haus akan fashion.
Saling berburu untuk mendapatkan barang-barang branded demi
mendukung penampilan mereka.
Tidak sampai satu jam, aku berhasil
menemukan toko yang memajang deretan jam tangan. G-Shock, Emporio Armani,
Royal, Casio, dan berbagai merek ternama lainnya ada di sana. Di paling ujung
deretan jam tangan tersebut, aku menemukan apa yang aku cari. Dua buah Marc
Jacobs yang disandingkan dalam sebuah bantalan merah. Tapi sepertinya itu jam
tangan couple,
pasti tidak bisa jika hanya kubeli satu. Desainnya pun sedikit berbeda,
meskipun warnanya hampir serupa – emas.
***
Hitam langit makin
pekat. Sekaligus hawa dingin makin menyerbu dengan ganasnya. Aku mulai menjauh
dari Harrods dan menepi di depan sebuah toko DVD yang sudah tutup. Sejak keluar
dari Harrods, aku mulai mendapat firasat yang buruk. Hatiku menjadi gelisah,
seperti ada sesuatu yang sedang kulupakan. Tapi aku masih berusaha setenang
mungkin dan mengabaikan perasaan buruk itu.
Aku hendak mengambil ponsel di dalam
tas yang kubawa. Lalu terkejut ketika mengetahui bahwa ponsel itu tidak ada.
Kurogoh makin ke dalam hingga isinya berhamburan dan berserakan di trotoar.
Ponselku benar-benar tidak ada. Aku mendesah. Isi tas yang berantakkan itu
kukumpulkan kembali ke dalam tas.
Rasa panik mulai menyergap dalam
diriku, ketika sadar bahwa petunjuk jalan pulang ke Palmers ada di mobile note
ponselku. Astaga. Aku sama sekali tidak tahu arah. Aku tidak mengenal banyak
nama jalan di London, terlebih saat ini adalah malam hari.
Kepanikanku kian menjadi ketika dua
orang pemuda berjalan tak jauh di depanku. Mereka tampak sempoyongan,
masing-masing memegang botol berwarna hijau yang kupikir itu adalah minuman
keras. Semakin lama mereka semakin dekat denganku. Mereka melihatku, lalu
tertawa sambil meracau tidak jelas.
Aku bangkit. Tanpa berpikir panjang
langsung mengambil langkah seribu untuk menghindari pemuda yang sedang mabuk
itu. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang di negara ini jika
sedang mabuk. Tapi kupikir, semua orang yang sedang dipengaruhi alkohol akan
bertindak macam-macam. Terlebih aku seorang gadis yang sendirian di malam hari
di kota yang masih asing untukku. Tanpa ponsel, dan tanpa Kennan.
Sambil berlari aku mengingat nama
lelaki itu. Dia yang biasanya memberi petunjuk jalan, dan mengarahkanku bila
aku tersesat. Dia yang muncul tiba-tiba di tengah kepanikanku saat pertama kali
tiba di London. Yang kukira ia menghilang dan meninggalkanku sendirian.
Tapi sekarang, tidak ada Kennan.
Meskipun rasanya mustahil ia akan datang karena ia tidak tahu aku pergi ke
Harrods, aku berharap Kennan datang menolongku.
***
Sebuah lorong
sempit di sela-sela bangunan yang tidak kuketahui, menjadi tempat
persembunyianku saat ini. Aku tidak tahu berada di mana aku sekarang Lorong itu
tidak terlalu panjang dan hanya disinari oleh lampu kecil di tengah lorong. Di
ujung sepertinya terdapat tong sampah karena baunya menyengat hidung. Tapi saat
ini bukan waktunya mempedulikan itu.
Jantungku makin berdegup kencang,
aku tidak mampu mengatur napas karena dadaku lebih terasa sesak dari
sebelumnya. Semua itu makin menjadi ketika terdengar derap langkah kaki yang
mendekat ke lorong. Aku benar-benar panik dan tidak bisa berpikir saat itu.
Otakku tidak bekerja dengan baik dalam keadaan seperti ini. Tangan dan kakiku
membeku dan bergetar hebat. Sebenarnya tidak ingin pasrah pada apapun yang akan
dilakukan dua pemuda mabuk itu. Tapi saat ini tidak ada yang bisa kulakukan.
Langkah kaki itu makin cepat dan
terdengar makin dekat. Aku terduduk lemas dan menundukkan kepala, lalu terisak
pelan. Berharap mereka akan mengasihaniku.
Sepasang Nike biru berdiri di
hadapanku. Aku dapat melihatnya dalam keadaan tertunduk. Tanganku mencengkram
kuat lututku, mendapati pemilik Nike itu berdiri cukup lama. Tapi perlahan
tangannya menyentuh bahuku. Meremas dan menarikku untuk berdiri. Aku memekik
lirih.
“Please, don’t disturb
me!”
Suaraku terdengar
parau. Tangan dibahuku mengcengkram keras. Aroma Calvin Klein tercium dengan
jelas. Tapi aku belum berani mengangkat kepala.
“Nona,” orang itu memanggil.
Suaranya tidak keras, terdengar pelan dan hampir setengah berbisik hingga aku
memberanikan diri untuk mengangkat wajahku.
Kini aku dapat melihat wajah orang
di hadapanku. Matanya melengkung, dahinya berkerut, mulutnya sedikit terbuka.
Raut wajahnya tampak khawatir dan kasihan melihatku.
“Ken,” sejenak aku dan Kennan
bertatapan cukup lama. Jantungku makin riuh hampir terdengar oleh diriku
sendiri. Kennan datang. Saat ini dia ada dihadapanku. Waktu seperti berhenti
beberapa detik. Dan air mataku kembali mengalir deras. “Kennan,” panggilku
sekali lagi sebelum akhirnya berhambur ke dalam pelukannya.
Ia tidak menolak. Bahkan ia balas
memelukku lebih erat dan membiarkanku menangis di dadanya. Terasa sekali
tangannya mengelus punggungku dengan lembut.
“Tenanglah. Kau akan baik-baik
saja,” kalimatnya membuatku sedikit tenang.
Aku menarik diri dari Kennan. “Ken
–“
Belum sempat aku bicara, jari
telunjuk Kennan menempel di bibirku. “Tidak usah berkata apa-apa. Kita harus
segera pulang ke Palmers.”
Aku mengiyakan dengan memberi satu
kali anggukkan kepala. Tangan Kennan merangkup wajahku. Jemarinya menghapus air
yang membasahi seluruh wajah. Dan seketika menuntunku berjalan keluar dari
lorong.
***
Aku tidak tahu nama jalan yang
sedang kami susuri. Itu tidak kuhiraukan. Mataku meneliti aspal yang kuinjak.
Tidak ada yang kupikirkan selain kejadian tadi. Rasa takut masih mengendap dan
membuat kakiku lemas untuk berjalan. Sesekali aku tersandung. Aku berjalan
begitu lambannya. Tapi Kennan selalu menungguku.
Entah
pukul berapa sekarang. Hawa dingin masih saja menusuk sejak di Harrods tadi.
Aku melipat tangan di depan dada untuk sekadar menahan dingin. Tiba-tiba Kennan
berhenti. Aku mengangkat wajahku dan menatap lelaki itu. Lalu Kennan melepaskan
hoodienya dan menyampirkannya di tubuhku. Beberapa detik berlalu dengan keadaan
kami saling menatap. Lantas ia merangkul bahuku dengan sedikit kikuk.
***
“Rendam kakimu
agar tidak beku.”
Di
bawah ranjang sudah tersedia baskom berisi air hangat untuk merendam kaki. Aku
yang masih tertutup hoodie Kennan, menuruti perintahnya barusan. Kini lelaki
itu tengah sibuk mengaduk cokelat panas. Punggungnya membelakangiku. Dengan
jelas kuperhatikan punggung Kennan. Ia berdiri sangat tegap. Lalu teringat
kejadian beberapa waktu lalu di lorong sempit yang menakutkan tadi.
Kennan
berbalik badan dan mendapatiku sedang memperhatikannya. “Kenapa?”
“Tidak,”
aku menggeleng lemah.
Ia
menarik sebuah kursi mendekat ke tempat tidurku. Kini kami duduk berhadapan
dengan jarak yang sangat dekat.
“Berikan
tanganmu.”
“Apa?”
Kennan mendesah. Ia melepaskan topi
rajut yang kukenakan. Seketika merebut kedua tanganku yang sejak tadi sembunyi
di dalam hoodie miliknya. Tanganku diremasnya dengan lembut. Sesekali
menggosokkan minyak kayu putih dan membalurkannya untuk memberikan rasa hangat.
Dihadapanku, Kennan sibuk mengepal tanganku dengan tangannya semata untuk
menetralkan kembali tanganku yang beku.
Ia
berhasil. Bukan karena minyak kayu putihnya. Melainkan genggamannya yang
menghangatkan sampai ke relung hati. Ya, hatiku ikut mencair. Belum lagi wangi
Calvin Klein yang menggelitik karena tubuhnya begitu dekat. Jantungku kembali
berdegup kencang. Kupikir itu adalah efek dari kejadian tadi di lorong yang
masih ada.
“Terimakasih,
Ken.”
Kennan
tidak menjawab. Ia masih sibuk meremas tanganku.
“Aku tidak tahu malam ini akan seperti apa
jika kau tidak datang.”
Masih
tidak ada jawaban. Lalu aku menarik tanganku dan meraih tas yang tadi kukenakan
untuk mengambil sesuatu yang menjadi penyebab atas kejadian ini.
“Ini Marc Jacobs untuk mengganti milikmu yang
kujatuhkan di Thames.”
Kennan
memperhatikan benda di tanganku. Tidak ada ekspresi yang tersirat di wajahnya.
Aku sempat menahan napas untuk menunggu reaksi Kennan.
“Aku tahu ini tidak mirip dengan
Marc Jacobs lamamu. Tapi yang tersisa hanya ini. Terpaksa juga aku harus
membeli keduanya. Karena itu sudah satu pasang. Salah satunya bisa kau berikan
pada orang lain. Anggap saja itu bonus dariku.”
Kennan
menerima sepasang Marc Jacobs dariku. Ia terdengar menarik napas panjang
dan menghembuskannya tepat di wajahku. Harum mint segar pun tercium dengan
jelas.
Kedua
tangannya merangkup wajahku seraya berkata, “Gadis bodoh.” Dan ketika itulah
kami berdua sama-sama tertegun
“Aku bertindak bodoh karena kau juga.
Kemarahanmu membuatku takut.”
“Aku tidak akan marah jika kau tidak
menghilangkannya.”
“Tapi sekarang aku sudah menebus kesalahanku.”
Aku
dan lelaki ini saling memandang. Saat itu juga aku merasakan keanehan. Perasaan
yang berbeda dari menatapnya di waktu lain. Sepasang mata Kennan memancarkan
hasrat yang barangkali terpancar juga di mataku. Baru kusadari bahwa kami
hampir tidak berjarak. Lalu, kurasakan jari-jarinya menelusuri lekuk wajahku
dengan perlahan dan lembut, mengusap pipiku, bibirku, lalu daguku.
Hembusan
napasnya yang hangat menggelitik wajahku, membuat jantungku berpacu lebih
hebat.
Detik
berikutnya, bibir kami berpagutan. Kecupan pertama kali yang kudapat, hingga
benar-benar tidak ada jarak diantara kami. Ciumannya seperti sihir yang
membuatku melayang. Entah apa yang kupikirkan, emosiku menguap untuk membalas
ciumannya. Kemudian, saat emosiku hampir benar-benar meluap, seseorang mengetuk
pintu kamar dengan kerasnya.
“Anan kau sudah pulang?”
Ciuman
kami berakhir. Kennan segera menarik diri. Aku mendadak kikuk. Kennan terlihat
lebih salah tingkah melihat Meggy masuk.
“Oh, syukurlah kalian sudah pulang. Maaf aku
mengganggu kalian. Silakan lanjutkan,” Meggy tersenyum jahil sambil menutup
kembali pintu kamarku.
“K-kau tidurlah. Malam sudah larut. Selamat
malam, Nan,” Kennan mengusap belakang lehernya. Aku tertawa geli melihatnya
tampak kikuk seperti itu.
“Sekali
lagi terimakasih, Ken,” aku tersenyum. Memandangi punggung Kennan yang menjauh
dan hampir tak terlihat di balik daun pintu. Klik. Pintu itu
tertutup.
Tunggu.
Barusan dia memanggilku apa? Nan? Baru kali ini kudengar ia tidak memanggil
namaku secara lengkap. Tetapi bukan ‘An’ seperti orang lain biasa memanggil.
Melainkan ‘Nan’.
0 komentar:
Posting Komentar