Jurnal Dua
Sabtu malam.
Kita dan yang lainnya saling bercengkrama di
depan gedung fakultas.
Seperti biasa.
Aku dan salah satu teman kita bernyanyi sambil
bermain gitar.
Menyanyikan lagu-lagu sendu.
Dan diselingi lagu reggae yang hanya kutahu sepenggal liriknya.
Aku dan kau; canggung.
Kita tidak bertanya, tidak saling melihat.
Tempat kita terduduk berjarak cukup jauh.
Tapi aku bisa melihat kaus putih dan topi
coklatmu.
Jarum jam masih terus bergerak.
Satu persatu mulai pulang mendahului.
Aku dan kau masih di sana.
Sayangnya malam itu pikiranku bercampur-aduk.
Ini tentang dunia yang terus mengoyak isinya.
Aku sendiri limbung; lalu tak sadarkan diri.
Aku terbangun.
Tahu-tahu aku sedang terbaring di pinggir.
Mereka melingkar mengelilingiku.
Dan kau...duduk tepat di sebelahku.
Dengan tangan melingkar di bahu sambil
sesekali mengelus lembut.
Sedang tanganmu yang lain menggenggam
tanganku.
Kita begitu dekat. Sangatlah dekat.
Apa kau bisa dengar jantungku?
Ia berdegup lebih cepat dari biasanya.
Bahkan aroma tubuhmu menguar begitu kuat
tercium.
Wangi yang sekarang aku mulai hafal; wangi
khas dirimu.
Aku yang terlalu lemah untuk duduk.
Menyandarkan kepala di bahumu.
Dan kakimu masih bertahan menopang tubuhku.
“Pikirannya jangan sampai kosong, Re.”
Aku mendengar itu jelas di dekat telingaku.
Aku mencoba tegak. Lalu aku bersandar lagi.
“Pikirannya jangan kosong, hey.”
Kau berkata lagi.
Sambil tanganmu menggoyangkan bahuku perlahan.
Entah apa yang mendorongku; aku menengadahkan
wajahku.
Melihat matamu dengan jelasnya.
Karena wajah kita tidak jauh berjarak.
Di situ aku yakin.
Aku mulai jatuh cinta denganmu.
0 komentar:
Posting Komentar