Gerimis Malam
Oleh:
Nia Kavindra
Cuma
gerimis malam yang memihakku
Setidaknya
sampai di bulan ini
Aku
tidak bisa membaca takdir
Yang
bisa kubaca hanya gerak tubuhmu
Sayangnya
terlalu lihai untuk kuterjemahkan
Ah,
siratan darimu makin kabur
Sekarang
bukan lagi gerimis
Mereka
makin berderu menyerbu bumi
Dan
kau...makin menghilang ditelan hitam
Cemara
Oleh:
Nia Kavindra
Tubuhmu
tinggi, tidak terlalu kurus
Lalu
aku menambah dua langkah
Kulitmu
hitam manis, tapi tetap bersinar
Aku
menambah dua langkah lagi
Matamu
indah, tampak seperti almon
Tatapan
yang sepertinya meneduhkan
Lalu
kau menemukanku di sini;
Di
balik pohon cemara yang hampir kering
Lalu
tersenyum
Dan
aku pergi
Syair Sendu
Oleh:
Nia Kavindra
Kau
bisa lihat langit sudah mulai menghitam
Sebelum
makin pekat, kau perlu tahu sesuatu
Pastikan
dulu mata dan hatimu ada ditempatnya
Engkau...
Mungkin
sebuah alasan atas kehiduapanku
Sebenarnya
aku tidak begitu paham
Tapi
barangkali memang begitu
Engkau...
Yang
bersuara saat jarum jam berdetak
Mengiringi
kaki yang masih menyusuri jejakmu
Kau
masih disitu?
Sebelum
beranjak, resapi satu hal lagi;
Kasihku
belumlah layu
Memang
banyak nestapa terteguk
Tapi
aku masih sanggup untuk merindu
Letih
Oleh:
Nia Kavindra
Jika
letih ini adalah berkah
Bagiku
dan bagi keluargaku
Biarkan
saja tetap begini
Sampai
hari kepulanganku tiba
Kota Mati
Oleh:
Nia Kavindra
Lebih
baik mengais di ladang
Daripada
meringkuk di kota mati
Tidak
akan kutemukan hijau
Dalam
kota yang berdebu dan usang
Rakit
Oleh:
Nia Kavindra
Kayuh
rakit semampunya
Jangan
berserah; aku turut di belakang
Akan
kusibak peluhmu
Sampai
berpijak di titik tuju
Gadis dan Mawar
Oleh:
Nia Kavindra
dua
puluh tangkai mawar di meja itu lebih
pasrah dari kelihatannya
tunggu
ada yang berbisik waktunya mereka tanggal
mereka
menatap gadis berkerudung jingga lengkap dengan segaris senyum
dalam
mata dan hati yang mengusut bayang-bayang kenangan
andai
bisa bicara jangan pada malaikat;
ketika
kelopak-kelopaknya mesti membusuk lalu tanggal
pastilah
gembira gadisnya tak jadi merunduk
ingat
selalu pemberi mawar itu yang bergantung
antara
abadi atau pupus; “lantas bagaimana nasib gadisku?”
tanya
salah satu tangkai mawar berkelopak kuning kecoklatan
sementara
malaikat makin berdesis untuk mengumumkan
gadisnya
akan kehilangan kelopak-kelopaknya
bersama
kenangan yang harus pupus; bukan abadi
Permadani
Oleh:
Nia Kavindra
Sebut
aku permadani
Yang
akan bawa dirimu melayang tinggi
Bersama
rasaku yang tiada tepi
Jika
kau ingin terbang lagi
Panggil
saja aku kembali
Pagar
Oleh:
Nia Kavindra
Andai
tidak tahu sekuat apa pagar berdiri,
Jangan
coba bersandar padanya
Rupanya
kau tak mendengar
dan
tetap mengendap masuk
Lalu
benih kau tabur di dalamnya
Jika
sudah berkembang dan berbuah,
Kau
harus tetap di situ
Sebab
sang pagar akan menguncimu
Kau
telah menabur kebahagiaan, bukan?
Tapi
jika kau bersikeras untuk keluar
Mendobrak
sang pagar hingga roboh
Lalu
ia rusak dan tak lagi berdiri
Bukan
dari besi, hanya sebilah bambu kuning
Jadilah
ia terkapar di tanah merah
Apa
yang dikata tadi?
Jangan
sentuh pagar itu!
0 komentar:
Posting Komentar