Dua tahun lalu, kata “bidadari”
keluar dari mulutmu; membuat aku melayang tinggi. Menjatuhkanku pada satu
rasa yang yang menggelitik saat kuingat hingga detik ini. Aku terbang tinggi
tiada batas sampai buatku lupa akan daratan. Lupa tentang dunia yang
jelas-jelas lebih nyata dari buaianmu. Tapi tidak kupungkiri, aku bahagia
dikaruniai perasaan semacam ini.
Pangeran. Lawan dari sebutan cantik
itu. Entah pikiran dari mana sampai hati aku panggil dirimu demikian. Suatu
malam yang mendadak benderang berkat puji-pujian dan sanjunganmu. Aku tersipu.
Langit tampak kotor oleh bintang yang bertabur tak beraturan. Bulan tertawa. Ia
ikut hanyut oleh sanjunganmu, Pangeran.
“Kecantikanmu sudah seperti
bidadari. Jangan merasa rendah diri di hadapan orang banyak.”
Mungkin aku terlalu berlebihan dalam
menerima kalimat itu. Tapi memang dalam beberapa waktu kalimat itu seperti
ajaib, menjadi dasar meningkatnya rasa percaya diri dan semangat yang lebih
membara dari hari-hari sebelumnya – sebelum aku mengenalmu. Ya, hidupku seperti
berubah seutuhnya ketika namamu menjadi pemeran baru dalam ceritaku di bumi
ini. Berawal dari kata-kata manis dan berbagai jamuan lainnya yang merayu untuk
masuk lebih dalam bersamamu. Kita sempat duduk bersama walau sekejap mata.
Namun ketika beranjak dari tempat kita terduduk, arah kaki kita berbeda.
Sekalipun satu arah, sulit rasanya untuk saling mensejajarkan langkah.
“Aku tidak punya alasan untuk
mencintaimu.”
Dan setiap malam kukatakan apa yang
tiba-tiba menyelinap dalam hati. Kerap kali aku merengek manja, mengais iba,
atau merujuk perhatianmu, jangan jadikan itu alasan untuk kau berhenti
berupaya. Tapi kurasa memang bukan itu.
“Kau terlalu baik untuk aku yang
terlalu sering membuatmu sakit.”
Pikiranmu terlalu dangkal untuk hal
sedalam ini, untuk perasaanku yang aku sendiri tidak tahu besarannya,
gramasinya, dan volumenya. Ini terlalu sulit untuk diuraikan. Tiap napas yang
berhembus disisa hidupku, lagi-lagi teringat nama yang dengan berani
memanggilku “bidadari”. Yang selalu bersikap manis, yang selalu berhasil
membuatku luluh meski banyak luka yang telah kau torehkan. Pangeran. Lidahku
begitu kelu memanggilmu demikian. Mungkin aku akan mati. Bidadarimu hampir
mati.
Berkat suasana dingin yang kau bawa
di masa kini, tanpa ada kata sebagai penyanjung atau hanya sekadar sapaan. Aku
mati kedinginan. Tanpa hangat dari napasmu yang makin samar harumnya. Aku
terkapar di tempatku menggantung asa dan rindu, berpadu jadi satu meski
tanganmu telah terlipat tanpa cela. Meski bibirmu terkatup tanpa suara, dan
telingamu tak izinkan lagu sendu yang kunyanyikan merasuki alam pikirmu. Aku
membeku dalam temaram yang begitu hening. Tidak lagi kudengar lagu cinta dari
radio sebagai pengantar tidur malamku.
Pangeran. Aku hendak mati
meninggalkan ruang rindu yang tak pernah lagi kau singgahi. Hujan yang
mengantarku; pada tempat sebaik-baiknya aku berdiri.
0 komentar:
Posting Komentar