Jumat, 14 November 2014

Mengenang Kematian Bidadari (10 November)



       Dua tahun lalu, kata “bidadari” keluar dari mulutmu; membuat aku melayang tinggi. Menjatuhkanku pada satu rasa yang yang menggelitik saat kuingat hingga detik ini. Aku terbang tinggi tiada batas sampai buatku lupa akan daratan. Lupa tentang dunia yang jelas-jelas lebih nyata dari buaianmu. Tapi tidak kupungkiri, aku bahagia dikaruniai perasaan semacam ini.
            Pangeran. Lawan dari sebutan cantik itu. Entah pikiran dari mana sampai hati aku panggil dirimu demikian. Suatu malam yang mendadak benderang berkat puji-pujian dan sanjunganmu. Aku tersipu. Langit tampak kotor oleh bintang yang bertabur tak beraturan. Bulan tertawa. Ia ikut hanyut oleh sanjunganmu, Pangeran.
            “Kecantikanmu sudah seperti bidadari. Jangan merasa rendah diri di hadapan orang banyak.”
            Mungkin aku terlalu berlebihan dalam menerima kalimat itu. Tapi memang dalam beberapa waktu kalimat itu seperti ajaib, menjadi dasar meningkatnya rasa percaya diri dan semangat yang lebih membara dari hari-hari sebelumnya – sebelum aku mengenalmu. Ya, hidupku seperti berubah seutuhnya ketika namamu menjadi pemeran baru dalam ceritaku di bumi ini. Berawal dari kata-kata manis dan berbagai jamuan lainnya yang merayu untuk masuk lebih dalam bersamamu. Kita sempat duduk bersama walau sekejap mata. Namun ketika beranjak dari tempat kita terduduk, arah kaki kita berbeda. Sekalipun satu arah, sulit rasanya untuk saling mensejajarkan langkah.
            “Aku tidak punya alasan untuk mencintaimu.”
          Dan setiap malam kukatakan apa yang tiba-tiba menyelinap dalam hati. Kerap kali aku merengek manja, mengais iba, atau merujuk perhatianmu, jangan jadikan itu alasan untuk kau berhenti berupaya. Tapi kurasa memang bukan itu.
            “Kau terlalu baik untuk aku yang terlalu sering membuatmu sakit.”
       Pikiranmu terlalu dangkal untuk hal sedalam ini, untuk perasaanku yang aku sendiri tidak tahu besarannya, gramasinya, dan volumenya. Ini terlalu sulit untuk diuraikan. Tiap napas yang berhembus disisa hidupku, lagi-lagi teringat nama yang dengan berani memanggilku “bidadari”. Yang selalu bersikap manis, yang selalu berhasil membuatku luluh meski banyak luka yang telah kau torehkan. Pangeran. Lidahku begitu kelu memanggilmu demikian. Mungkin aku akan mati. Bidadarimu hampir mati.
            Berkat suasana dingin yang kau bawa di masa kini, tanpa ada kata sebagai penyanjung atau hanya sekadar sapaan. Aku mati kedinginan. Tanpa hangat dari napasmu yang makin samar harumnya. Aku terkapar di tempatku menggantung asa dan rindu, berpadu jadi satu meski tanganmu telah terlipat tanpa cela. Meski bibirmu terkatup tanpa suara, dan telingamu tak izinkan lagu sendu yang kunyanyikan merasuki alam pikirmu. Aku membeku dalam temaram yang begitu hening. Tidak lagi kudengar lagu cinta dari radio sebagai pengantar tidur malamku.
            Pangeran. Aku hendak mati meninggalkan ruang rindu yang tak pernah lagi kau singgahi. Hujan yang mengantarku; pada tempat sebaik-baiknya aku berdiri.

0 komentar:

Posting Komentar