Jurnal Satu
Awalnya aku cuma tertarik.
Hal biasa.
Aku sudah sering
merasakan hal ini.
Itu mudah sekali.
Besok pun sudah hilang lagi.
Malam itu; malam
sabtu.
Tepatnya di kedai
nasi kucing.
Kita; dan kawan
lainnya bercengkrama.
Membicarakan hal
apapun yang tidak penting untuk dibahas.
Menertawakan
kejelekkan satu sama lain.
Tiba-tiba beralih topik
mengenai aku.
Lalu tawa mereka
berubah lebih membahana.
Dan kau cuma tersenyum
malu-malu.
Oh, aku dengar ada
satu gosip diantara kita rupanya.
Kau menyukaiku?
Mereka bilang iya.
Aku anggap itu cuma
permainan.
Dan malam makin
terasa panjang saat itu.
Malam minggu.
Kita membentuk
lingkaran untuk makan malam di sebuah gazebo.
Gelap; beruntung
ada kembang api dari sebuah acara fakultas tetangga.
Jadi sedikit terang
dan makin menyemarakkan makan malam kita.
Dan lagi;
ditengah-tengah terdengar gosip itu lagi.
Kau malah makin
membuatku tersipu.
Dengan leluconmu
yang lebih mirip rayuan.
Tapi lagi; kuanggap
itu cuma permainan.
Minggu siang.
Kita akan
mengerjakan tugas di salah satu rumah teman kita.
Pada saat itu aku
tidak ada kendaraan.
Entah apa yang
mendorongku;
Aku meminta padamu
untuk pergi bersama menggunakan motormu.
Kita pergi berdua.
Oke. Di sini aku
mulai merasa aneh.
Makin aneh; ketika
obrolan kita menjurus ke hal lain.
Dan jawabanmu
semacam…hm…menggoda.
Aku mulai ragu apakah
anggapanku semula masih sama atau berubah.
Tiba di lokasi.
Aku seperti salah
tingkah.
Oh, kau tahu
seperti apa orang yang duduk di samping kekasih barunya?
Gugup.
Apakah aku gugup?
Aku tidak tahu ini
apa.
Pulang.
Kita berdua lagi.
Mereka bersorak heboh
melihat kita bersama.
Dan aku jadi yakin
kalau aku; gugup.
Begitu dekat dengan
tubuhmu.
Membuat parfum yang
kau pakai menguar dengan jelas.
Aku hafal harum
itu.
Malam senin dan
malam-malam selanjutnya.
Aku anggap cuma
permainan; awalnya.
Ah, tapi saat ini
aku belum mampu menafsirkan.
Apakah ini
permainan atau keseriusan.
Komunikasi kita
makin intens.
Dan aku tanpa sadar
telah bersorak ria dalam hati.
Aku menyukaimu.
Kamis malam.
Aku menangis.
Semua berpaling
padaku dan saling bertanya; kau kenapa?
Tapi saat ku
tengadahkan kepala dan membuka mata yang basah.
Cuma kau yang
berdiri tepat di depanku.
“Kenapa, Re?”
tanyamu.
“Coba sini, lihat
aku,” katamu lagi.
Kalau saja Pak
Yuswari tidak segera masuk ruangan.
Mungkin saat itu
kau akan lihat pertama kali.
Mataku basah dan
penuh pilu.
Besoknya; jum’at
pagi.
Aku sapa kau
melalui do’a dalam Shubuh yang sunyi.
Dan perlahan
kubisikkan ke udara; aku suka kau.
Tapi anggapanku
semula masih disitu.
Dan sekarang malah
ketakutan ikut melanda.
Ini cuma permainan,
Re.
0 komentar:
Posting Komentar