Selasa, 21 April 2015

Dev & Sam: Intro 4

     "Omonganmu menggelikan." Di depan layar laptop tak henti-hentinya aku tertawa. Chatting dengan Sam selalu jadi hiburan tersendiri.
     "Oh, ayolah, Kak."
     "Apa? Bahkan kau sendiri masih menyebutku 'Kakak'"
     "Baiklah, Devani."
     "Dev."
     "Iya, Dev."
     "Bagus."
     "Oke, sekarang kita mulai semua dari awal. Kita berkenalan seperti belum pernah mengenal sebelumnya."
     "Hai, aku Dev. Siapa namamu?"
     "Aku Samudera. Pria tampan yang tak tertandingi."
     Aku tertawa lagi dibuatnya. "Yang benar adalah pria kecil."
     "Astaga, kau senang sekali memanggilku 'pria kecil', Dev."
     "Karena usiamu lebih muda dariku."
     "Hanya satu tahun. Lagi pula aku sudah cukup besar."
     "Untuk hal apa?"
    "Untuk mencintaimu. Tertawalah."
     Dan lagi-lagi perutku terkocok oleh candaannya.
     "Kau mengantuk, Dev?"
     "Hampir. Kenapa? Kau mau tidur duluan?"
     "Tadinya. Tapi sebelumnya, aku ingin katakan sesuatu."
     "Aku masih di sini."
     "Aku yakin suatu saat nanti, kita akan benar-benar bertemu."
     "Hmm..."
     "Apa kau juga yakin sepertiku?"
     Sebenarnya, aku memang berharap bisa benar-benar bertemu Sam. Biar kulihat lekuk wajahnya dari dekat, kurasakan hembusan nafasnya, dan wangi parfum yang ia gunakan.
     "Aku juga yakin."
     "Ingatlah ini, Dev. Jika nanti kita bertemu, meski di waktu kita tua renta, aku akan menyanyikan sebuah lagu di hadapanmu."
     "Benarkah? Lagu apa?"
     "Iya. Lagu cinta lah."
     Beruntung Sam tidak tahu kalau saat itu pipiku merah sekali. Dan seketika muncul perasaan hangat yang menjalar.
     Pria kecil itu selalu mampu buatku melayang. Hari-hariku berubah penuh warna merah muda yang meriah. Kehadirannya adalah yang paling aku tunggu selama SMA.

Dev & Sam: Intro 3

     Aku ingat Sam gemar sekali bermain gitar. Seperti yang kulihat dari beberapa potret yang pernah diunggahnya. Wajahnya sedikit tertunduk ke arah kiri, memperhatikan jemarinya di atas senar.
     "Kau bisa bernyanyi sambil bermain gitar?"
     "Kalau aku bisa, apa kau ingin aku melakukannya?"
     "Dan kalau aku ingin, apa itu berarti kita akan bertemu?"
     "Tergantung."
     "Tergantung apa?"
     Lama tidak ada balasan, aku sedikit gelisah. Entah apa sebab pastinya. Tapi kuakui ada sedikit kekecewaan saat Sam lama membalas chat-ku.
     Satu - dua - tiga jam masih belum ada balasan hingga mataku terasa begitu berat menahan kantuk. Sudah pukul sepuluh malam ternyata. Sekali lagi kuperiksa obrolan Facebook, masih belum ada tanda-tanda dia kembali online. Baiklah, sudah saatnya untuk kembali ke dunia nyata dan berlalu sementara dari dunia maya.
     Beep.
     Itu suara pesan baru dari kotak obrolanku saat hampir mengklik menu log out. Astaga, aku hampir setengah menjerit.
     "Hai, Kak. Sorry tadi ada penggemar datang ke rumah. Saking banyaknya mereka sampai aku mengabaikanmu."
     "Hei, aku tidak pernah percaya kau punya banyak fans."
     "Terus, bagaimana agar kau percaya?"
     "Apa yang harus kupercaya darimu?"
     "Kau harus percaya kalau aku menyukaimu."
     Sebut saja pada waktu itu aku tengah dibuat melayang. Muncul perasaan-perasaan yang menggelitik dalam perut. Tapi juga ada kehangatan terselip di dasar hati paling dalam. Kurasa begitu.
     "Candaanmu lucu, Dik."
     "Bisakah kau tidak memanggilku 'Dik'? Panggil saja Sam. Atau Sayang."

Senin, 20 April 2015

Ken dan Anan: Excerpt

Kota London dan seluruh negara di Eropa seperti tidak pernah tidur meskipun mentari telah bergeser ke bagian bumi yang lain. Hingar bingar di tengah kota meramaikan gulita tanpa kenal waktu. Meski dingin sedang menyelimuti kota ini, tiada yang peduli akan hal itu. Termasuk aku.
Terpaksa perjalanan kali ini aku hanya mengenakan sweter ungu muda yang tebalnya dipastikan tidak akan bisa melindungi dari serangan hawa dingin London. Hanya dengan bermodalkan syal, topi rajut, dan boots semata kaki, aku harus mendapatkan Marc Jacobs baru sebagai pengganti milik Kennan.
Masih terbayang dengan jelas bagaimana raut mukanya ketika tahu bahwa aku menghilangkannya. Wajahnya merah, rahangnya mengeras, dan tatapannya sangat tajam sampai kakiku rasanya lemas. Aku tidak tahu seberapa pentingnya jam tangan itu. Tapi pasti benda itu sangat berarti dalam hidupnya, hingga ia begitu marah dan mendiamkan aku seharian penuh.
Menurut informasi dari Joy, aku bisa mendapatkan Marc Jacobs seperti milik Kennan yang hilang di sebuah pusat perbelanjaan mewah bernama Harrods di Knightsbride. Dengan menumpang seorang tamu Palmers yang kebetulan akan melewati Harrods, akupun tiba di pusat perbelanjaan tersebut.
“Maafkan aku, Nona. Kita tidak akan bisa pulang bersama,” kata Gordon, tamu Palmers yang kutumpangi mobilnya.
“Tidak apa-apa, Gordon. Terimakasih sudah bersedia memberikanku tumpangan.”
Gordon tersnyum dan mobilnya kembali melaju.
Di sinilah aku malam ini. Harrods tampak seperti istana. Seluruh bangunannya dihiasi lampu-lampu kuning yang berpijar ditengah kota. Di atas bangunan terdapat semacam kubah besar yang membuat mataku enggan berkedip. Sepanjang trotoar sekitaran Harrods juga ramai oleh manusia yang haus akan fashion. Saling berburu untuk mendapatkan barang-barang branded demi mendukung penampilan mereka.
Tidak sampai satu jam, aku berhasil menemukan toko yang memajang deretan jam tangan. G-Shock, Emporio Armani, Royal, Casio, dan berbagai merek ternama lainnya ada di sana. Di paling ujung deretan jam tangan tersebut, aku menemukan apa yang aku cari. Dua buah Marc Jacobs yang disandingkan dalam sebuah bantalan merah. Tapi sepertinya itu jam tangan couple, pasti tidak bisa jika hanya kubeli satu. Desainnya pun sedikit berbeda, meskipun warnanya hampir serupa – emas.
***

         Hitam langit makin pekat. Sekaligus hawa dingin makin menyerbu dengan ganasnya. Aku mulai menjauh dari Harrods dan menepi di depan sebuah toko DVD yang sudah tutup. Sejak keluar dari Harrods, aku mulai mendapat firasat yang buruk. Hatiku menjadi gelisah, seperti ada sesuatu yang sedang kulupakan. Tapi aku masih berusaha setenang mungkin dan mengabaikan perasaan buruk itu.
            Aku hendak mengambil ponsel di dalam tas yang kubawa. Lalu terkejut ketika mengetahui bahwa ponsel itu tidak ada. Kurogoh makin ke dalam hingga isinya berhamburan dan berserakan di trotoar. Ponselku benar-benar tidak ada. Aku mendesah. Isi tas yang berantakkan itu kukumpulkan kembali ke dalam tas.
            Rasa panik mulai menyergap dalam diriku, ketika sadar bahwa petunjuk jalan pulang ke Palmers ada di mobile note ponselku. Astaga. Aku sama sekali tidak tahu arah. Aku tidak mengenal banyak nama jalan di London, terlebih saat ini adalah malam hari.
            Kepanikanku kian menjadi ketika dua orang pemuda berjalan tak jauh di depanku. Mereka tampak sempoyongan, masing-masing memegang botol berwarna hijau yang kupikir itu adalah minuman keras. Semakin lama mereka semakin dekat denganku. Mereka melihatku, lalu tertawa sambil meracau tidak jelas.
            Aku bangkit. Tanpa berpikir panjang langsung mengambil langkah seribu untuk menghindari pemuda yang sedang mabuk itu. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang di negara ini jika sedang mabuk. Tapi kupikir, semua orang yang sedang dipengaruhi alkohol akan bertindak macam-macam. Terlebih aku seorang gadis yang sendirian di malam hari di kota yang masih asing untukku. Tanpa ponsel, dan tanpa Kennan.
       Sambil berlari aku mengingat nama lelaki itu. Dia yang biasanya memberi petunjuk jalan, dan mengarahkanku bila aku tersesat. Dia yang muncul tiba-tiba di tengah kepanikanku saat pertama kali tiba di London. Yang kukira ia menghilang dan meninggalkanku sendirian.
            Tapi sekarang, tidak ada Kennan. Meskipun rasanya mustahil ia akan datang karena ia tidak tahu aku pergi ke Harrods, aku berharap Kennan datang menolongku.
***

             Sebuah lorong sempit di sela-sela bangunan yang tidak kuketahui, menjadi tempat persembunyianku saat ini. Aku tidak tahu berada di mana aku sekarang Lorong itu tidak terlalu panjang dan hanya disinari oleh lampu kecil di tengah lorong. Di ujung sepertinya terdapat tong sampah karena baunya menyengat hidung. Tapi saat ini bukan waktunya mempedulikan itu.
            Jantungku makin berdegup kencang, aku tidak mampu mengatur napas karena dadaku lebih terasa sesak dari sebelumnya. Semua itu makin menjadi ketika terdengar derap langkah kaki yang mendekat ke lorong. Aku benar-benar panik dan tidak bisa berpikir saat itu. Otakku tidak bekerja dengan baik dalam keadaan seperti ini. Tangan dan kakiku membeku dan bergetar hebat. Sebenarnya tidak ingin pasrah pada apapun yang akan dilakukan dua pemuda mabuk itu. Tapi saat ini tidak ada yang bisa kulakukan.
            Langkah kaki itu makin cepat dan terdengar makin dekat. Aku terduduk lemas dan menundukkan kepala, lalu terisak pelan. Berharap mereka akan mengasihaniku.
            Sepasang Nike biru berdiri di hadapanku. Aku dapat melihatnya dalam keadaan tertunduk. Tanganku mencengkram kuat lututku, mendapati pemilik Nike itu berdiri cukup lama. Tapi perlahan tangannya menyentuh bahuku. Meremas dan menarikku untuk berdiri. Aku memekik lirih.
            Please, don’t disturb me!”
            Suaraku terdengar parau. Tangan dibahuku mengcengkram keras. Aroma Calvin Klein tercium dengan jelas. Tapi aku belum berani mengangkat kepala.
            “Nona,” orang itu memanggil. Suaranya tidak keras, terdengar pelan dan hampir setengah berbisik hingga aku memberanikan diri untuk mengangkat wajahku.
            Kini aku dapat melihat wajah orang di hadapanku. Matanya melengkung, dahinya berkerut, mulutnya sedikit terbuka. Raut wajahnya tampak khawatir dan kasihan melihatku.
            “Ken,” sejenak aku dan Kennan bertatapan cukup lama. Jantungku makin riuh hampir terdengar oleh diriku sendiri. Kennan datang. Saat ini dia ada dihadapanku. Waktu seperti berhenti beberapa detik. Dan air mataku kembali mengalir deras. “Kennan,” panggilku sekali lagi sebelum akhirnya berhambur ke dalam pelukannya.
            Ia tidak menolak. Bahkan ia balas memelukku lebih erat dan membiarkanku menangis di dadanya. Terasa sekali tangannya mengelus punggungku dengan lembut.
            “Tenanglah. Kau akan baik-baik saja,” kalimatnya membuatku sedikit tenang.
            Aku menarik diri dari Kennan. “Ken –“
            Belum sempat aku bicara, jari telunjuk Kennan menempel di bibirku. “Tidak usah berkata apa-apa. Kita harus segera pulang ke Palmers.”
            Aku mengiyakan dengan memberi satu kali anggukkan kepala. Tangan Kennan merangkup wajahku. Jemarinya menghapus air yang membasahi seluruh wajah. Dan seketika menuntunku berjalan keluar dari lorong.
***
            Aku tidak tahu nama jalan yang sedang kami susuri. Itu tidak kuhiraukan. Mataku meneliti aspal yang kuinjak. Tidak ada yang kupikirkan selain kejadian tadi. Rasa takut masih mengendap dan membuat kakiku lemas untuk berjalan. Sesekali aku tersandung. Aku berjalan begitu lambannya. Tapi Kennan selalu menungguku.
Entah pukul berapa sekarang. Hawa dingin masih saja menusuk sejak di Harrods tadi. Aku melipat tangan di depan dada untuk sekadar menahan dingin. Tiba-tiba Kennan berhenti. Aku mengangkat wajahku dan menatap lelaki itu. Lalu Kennan melepaskan hoodienya dan menyampirkannya di tubuhku. Beberapa detik berlalu dengan keadaan kami saling menatap. Lantas ia merangkul bahuku dengan sedikit kikuk.
***

            “Rendam kakimu agar tidak beku.”
Di bawah ranjang sudah tersedia baskom berisi air hangat untuk merendam kaki. Aku yang masih tertutup hoodie Kennan, menuruti perintahnya barusan. Kini lelaki itu tengah sibuk mengaduk cokelat panas. Punggungnya membelakangiku. Dengan jelas kuperhatikan punggung Kennan. Ia berdiri sangat tegap. Lalu teringat kejadian beberapa waktu lalu di lorong sempit yang menakutkan tadi.
Kennan berbalik badan dan mendapatiku sedang memperhatikannya. “Kenapa?”
“Tidak,” aku menggeleng lemah.
Ia menarik sebuah kursi mendekat ke tempat tidurku. Kini kami duduk berhadapan dengan jarak yang sangat dekat.
“Berikan tanganmu.”
 “Apa?”
            Kennan mendesah. Ia melepaskan topi rajut yang kukenakan. Seketika merebut kedua tanganku yang sejak tadi sembunyi di dalam hoodie miliknya. Tanganku diremasnya dengan lembut. Sesekali menggosokkan minyak kayu putih dan membalurkannya untuk memberikan rasa hangat. Dihadapanku, Kennan sibuk mengepal tanganku dengan tangannya semata untuk menetralkan kembali tanganku yang beku.
Ia berhasil. Bukan karena minyak kayu putihnya. Melainkan genggamannya yang menghangatkan sampai ke relung hati. Ya, hatiku ikut mencair. Belum lagi wangi Calvin Klein yang menggelitik karena tubuhnya begitu dekat. Jantungku kembali berdegup kencang. Kupikir itu adalah efek dari kejadian tadi di lorong yang masih ada.
“Terimakasih, Ken.”
Kennan tidak menjawab. Ia masih sibuk meremas tanganku.
 “Aku tidak tahu malam ini akan seperti apa jika kau tidak datang.”
Masih tidak ada jawaban. Lalu aku menarik tanganku dan meraih tas yang tadi kukenakan untuk mengambil sesuatu yang menjadi penyebab atas kejadian ini.
 “Ini Marc Jacobs untuk mengganti milikmu yang kujatuhkan di Thames.”
Kennan memperhatikan benda di tanganku. Tidak ada ekspresi yang tersirat di wajahnya. Aku sempat menahan napas untuk menunggu reaksi Kennan.
           “Aku tahu ini tidak mirip dengan Marc Jacobs lamamu. Tapi yang tersisa hanya ini. Terpaksa juga aku harus membeli keduanya. Karena itu sudah satu pasang. Salah satunya bisa kau berikan pada orang lain. Anggap saja itu bonus dariku.”
Kennan menerima sepasang Marc Jacobs dariku.  Ia terdengar menarik napas panjang dan menghembuskannya tepat di wajahku. Harum mint segar pun tercium dengan jelas.
Kedua tangannya merangkup wajahku seraya berkata, “Gadis bodoh.” Dan ketika itulah kami berdua sama-sama tertegun
 “Aku bertindak bodoh karena kau juga. Kemarahanmu membuatku takut.”
             “Aku tidak akan marah jika kau tidak menghilangkannya.”
 “Tapi sekarang aku sudah menebus kesalahanku.”

Aku dan lelaki ini saling memandang. Saat itu juga aku merasakan keanehan. Perasaan yang berbeda dari menatapnya di waktu lain. Sepasang mata Kennan memancarkan hasrat yang barangkali terpancar juga di mataku. Baru kusadari bahwa kami hampir tidak berjarak. Lalu, kurasakan jari-jarinya menelusuri lekuk wajahku dengan perlahan dan lembut, mengusap pipiku, bibirku, lalu daguku.
Hembusan napasnya yang hangat menggelitik wajahku, membuat jantungku berpacu lebih hebat.
Detik berikutnya, bibir kami berpagutan. Kecupan pertama kali yang kudapat, hingga benar-benar tidak ada jarak diantara kami. Ciumannya seperti sihir yang membuatku melayang. Entah apa yang kupikirkan, emosiku menguap untuk membalas ciumannya. Kemudian, saat emosiku hampir benar-benar meluap, seseorang mengetuk pintu kamar dengan kerasnya.
 “Anan kau sudah pulang?”
Ciuman kami berakhir. Kennan segera menarik diri. Aku mendadak kikuk. Kennan terlihat lebih salah tingkah melihat Meggy masuk.
 “Oh, syukurlah kalian sudah pulang. Maaf aku mengganggu kalian. Silakan lanjutkan,” Meggy tersenyum jahil sambil menutup kembali pintu kamarku.
 “K-kau tidurlah. Malam sudah larut. Selamat malam, Nan,” Kennan mengusap belakang lehernya. Aku tertawa geli melihatnya tampak kikuk seperti itu.
“Sekali lagi terimakasih, Ken,” aku tersenyum. Memandangi punggung Kennan yang menjauh dan hampir tak terlihat di balik daun pintu. Klik. Pintu itu tertutup.
Tunggu. Barusan dia memanggilku apa? Nan? Baru kali ini kudengar ia tidak memanggil namaku secara lengkap. Tetapi bukan ‘An’ seperti orang lain biasa memanggil. Melainkan ‘Nan’.