Hari ini Supadi di kembalikan ke
bumi. Setelah sombongnya tronton atas kekuasaannya di jalanan menggerus tubuh
Supadi beserta motornya yang kini hanya tersisa beberapa spare partnya saja.
Beberapa tetangga bilang ini adalah balasan untuknya atas dosa-dosa yang diperbuat
selama ia hidup. Tapi aku pikir terlindas tronton terlalu kejam jika dijadikan
hukuman untuk seseorang yang hobi selingkuh. Aku paham alasan seringnya Supadi
melakukan hal itu. Mirna, isteri Supadi, selalu marah-marah jika tak diberi
uang. Ia bilang keperluan rumah tangga terutama keperluan anak-anaknya sangat
banyak. Supadi memang tidak bekerja. Ralat. Dia bekerja sebagai tukang kuli
panggul. Bekerja hanya saat sang mandor menawari proyek baru. Dan sudah hampir
delapan bulan ini Supadi tidak mengerjakan proyek apapun. Otomatis ia tidak
mendapatkan uang. Mirna harusnya mengerti. Tidak kerja, tidak dapat uang. Mencari pekerjaan tidak mudah, Mir. Masih
untung suamimu tidak jadi pembunuh bayaran. Lalu karena merasa jenuh dengan
segala omelan Mirna, Supadi jarang pulang dan memilih menggoda beberapa wanita
muda di belokan Kenanga saat tengah malam. Mungkin Supadi “kebablasan” sampai
menciptakan manusia baru. Dan sampai kepulangannya ke hadapan Tuhan, wanita
selingkuhannya dan calon anaknya menghilang entah kemana.
Oke, lupakan Supadi. Sepulang dari
pemakaman, aku menemukan Hendra sudah bertengger santai di beranda rumahku
dengan menggenggam sebuah karton kecil berwarna biru langit.
“Udah di sini aja lo, Hen. Lama?”
“Baru tiga puluh menit, Jun.”
“Jauh-jauh dari Garut di hari biasa
begini pasti ada yang penting, kan? Ngaku lo.”
“Iya lah. Nih.” Hendra menyodorkan karton
biru itu yang terukir tulisan berwarna emas: Marissa dan Hendri.
“Wow! Nggak salah, Hen? Umur lo baru
dua puluh dua. Marissa juga. Kenapa cepet-cepet, sih?”
“Kalau udah sama-sama yakin, umur
bukan suatu masalah. Harusnya lo belajar dari gue, Juna.”
“Belajar apa? Pinteran juga gue. Lo
inget nilai fisika lo yang tiga kali dapet lima?”
“Aaaah, nggak usah ungkit-ungkit
itu. Ini tentang prinsip.”
“Kayaknya gue paham arah
pembicaraannya.” Aku beranjak masuk ke dalam rumah.
“Eh, mau menghindar?” Hendra menahan
lenganku diambang pintu.
“Gue mau ambil minum. Lo nggak haus
apa? Duduk di dalem!”
***
Aku malas jika harus membahas hal
ini yang sudah berulang-ulang dibicarakan. Bosan mendengar masukan-masukan
Hendra yang seolah menyudutkanku. Ini bukan salahku seutuhnya. Tapi keadaan
yang memaksa. Ah, kurasa dia sudah mengerti.
“Sekarang bagaimana?”
“Apanya?” Aku menyesap teh manis
buatanku yang sepertinya akan membunuh para diabet. Kemanisan.
“Remia.”
Tepat dugaanku. Hendra menanyakan
gadis itu. “Kabarnya? Lo tanya saja sendiri. Gue nggak ngasuh gadis itu.”
“Lo masih bertahan dengan prinsip gendheng lo itu? Juna...Juna. Cinta yang
tulus tidak akan berani memperhitungkan materi dan kesempurnaan.” Ini adalah
saran terbaru dari Hendra untukku. Entah quote dari mana ia dapatkan. Tapi
sepertinya itu benar. Dan aku malah tertunduk sambil menggenggam cangkirku yang
mengambang di depan bibir.
“Hen. Lo tahu segala cerita di
kehidupan gue. Lo lihat keadaan gue sekarang. Terlalu sederhana dan nggak ada
menariknya sama sekali. Gue belum mapan. Gue masih harus ngasih makan Luna,
bayarin sekolah dia.”
“Itu bukan alasan, Jun.”
“Ini alasan terbesar gue. Gue nggak
bisa kayak laki-laki lain yang jajanin ceweknya, beli ini beli itu buat
ceweknya. Hidup gue berantakan. Dan sekarang gue lagi fokus cari uang buat
bayar semesteran si Luna. Kalau enggak, dia nggak bisa ikut ujian.”
“Pikiran lo terlalu sempit, Jun. Gue
yakin Remia anak yang baik, cintanya tulus. Dan kayaknya dia nggak akan
mempermasalahkan hal yang lo takutkan ini.”
“Remia memang anak yang baik. Terlalu
baik. Makanya gue nggak tega membiarkan dia masuk ke kehidupan gue yang
berantakan ini.”
“Silakan pikirkan lagi, Jun. Cinta
setulus itu cuma satu di dunia ini.”
***
Padahal sudah pukul delapan,
harusnya Bandung sudah disengat matahari. Tapi minggu-minggu ini hujan selalu
mampir dan menyapaku tiap pagi. Entah kenapa saat membuka mata dan mengetahui
di luar sedang hujan, aku jadi teringat gadis itu. Remia. Hujan mengingatkanku
padanya. Hujan membuat rindu ini makin mengikat. Bulat pipinya, runcing
dagunya, wangi rambutnya, dan tipis bibirnya.
Sial. Aku mengutuk pagi ini. Kondisi
seperti ini membuat kepribadianku putar haluan menjadi melankolis. Padahal aku
benci hal-hal yang berbau melow. Tapi memang benar. Hujan mengingatkan aku pada
sosok mungil itu. Seorang gadis yang pernah dekat – tanpa status hubungan –
empat tahun lalu, saat kami masih duduk di bangku SMA. Aku pikir cinta kami
berdua cuma sekedar cinta monyet para remaja yang nantinya akan hilang sendiri.
Tapi ternyata dugaanku salah. Cinta Remia bertahan hingga sekarang. Padahal
sudah berkali-kali aku sengaja membuatnya marah, benci, bahkan mendendam
semata-mata karena aku ingin dia menjauh dan berhenti mencintaiku.
“Kak Juna.”
Terdengar suara Luna memanggil dari
belakang pintu. Aku menurunkan kakiku perlahan sampai menyentuh keramik.
Dinginnya luar biasa. Rasanya aku perlu permadani terbang untuk menuju pintu
kamar yang berjarak satu meter dari ranjang.
“Loh, kamu masih di sini? Nggak
berangkat sekolah? Ini sudah jam delapan, kan?”
“Luna masuk jam sembilan, Kak.
Karena sebagian ruang kelas sedang dipakai pemantapan anak kelas enam.”
“Hm. Ya sudah, kakak panasi motor
dulu sambil tunggu hujan sedikit reda. Kamu cari jas hujan di belakang, ya.”
“Iya.”
Aku berjalan setengah malas ke
samping rumah. Sampai di sana, Jupiterku terlihat makin mengenaskan. Tanah
mengering di mana-mana terutama bagian gerigi roda. Body-nya penuh goresan. Ah, sangat tidak menarik untuk diajak
jalan-jalan, apalagi bawa seorang gadis.
Aku menekan tombol start di stang
bagian kanan. Berkali-kali kutekan tetapi Jupiter ini tidak mau berderu. Kenapa
lagi kau, Jup? Apa karena kau kedinginan? Kasihanilah aku kali ini. Luna harus
kuantar ke sekolah, Jup. Come on!
Sudah setengah jam Jupiterku tidak
kunjung membaik. Sampai Luna berteriak memanggilku, aku baru sadar sekarang
sudah pukul setengah sembilan. Dan sialnya lagi, hujan masih deras mengguyur
tanah Bandung.
“Lun, kalau hari ini kau tidak
sekolah bagaimana? Motor kakak ngadat,
nih.”
“Hari ini Luna mau tetap sekolah,
Kak. Kakak nggak usah antar Luna.”
“Terus kamu berangkat sendirian
sambil hujan-hujanan?”
“Enggak. Di depan sudah ada yang
jemput. Aku berangkat sekarang ya, Kak.”
Luna
langsung berlari meninggalkan aku yang kebingungan. Di jemput siapa? Lantas aku
mengikuti Luna ke ruang depan.
“Hei, Jun.”
Remia.
“Kau. Sedang apa di sini?”
“Kak Rere yang antar aku ke sekolah
hari ini, Kak,” jawab Luna.
Mataku mengarah keluar rumah.
Terlihat Scoopy coklat terpakir di beranda yang terlindungi fiber sebagai atap.
“Kebetulan aku mau ke toko kelontong
di dekat sekolah Luna. Dan tadi saat lewat rumahmu, aku lihat Luna sedang
berdiri di depan pintu. Jadi langsung saja kutawari untuk diantar.”
Aku cuma diam. Dan tanpa disadari
mataku terpaku pada bola mata Remia dalam beberapa detik. Seperti mendapat
mukjizat di pagi hari, kerinduanku akan bola matanya hari ini telah terbayar.
Re, aku rindu.
“Tidak usah, Re. Biar aku saja yang
antar Luna. Kau pergi saja duluan.” Sial. Andai aku yang mendengar kata-kataku
tadi dari mulut orang lain, pasti langsung kubanting pintu dan berlari sambil
memaki. Tapi tidak Remia. Dia masih bisa tersenyum walau kata-kataku tadi
sedikit menyinggung.
“Kakak mau antar Luna pakai apa?
Motor Kakak kan rusak. Biar Luna pergi sama Kakak Re saja.”
“Kita bisa naik angkutan umum, Lun.
Lebih nyaman, dan kau tidak akan kena cipratan air hujan.” Diam-diam aku
melirik Remia untuk melihat ekspresi wajahnya. Dan ia masih memasang senyum
manis di bibirnya.
“Ini sudah jam berapa, Kak? Angkutan
umum kan hanya lewat di depan gang saja. Kita harus jalan dulu. Sudah, ya. Aku
pergi diantar Kak Rere saja.”
“Gimana, Jun? Boleh?” Remia
bertanya. Aku terpaksa mengizinkan. Bukan karena suara Luna yang lembut, atau
senyumnya yang menawan. Tapi karena Luna yang memaksa. Ya, karena Luna.
“Jangan lupa kenakan jas hujan.”
***
Biasanya setelah kupakai, jam tangan
itu selalu kusimpan di tempatnya kembali. Tetapi kali ini aku mendadak lupa di
mana terakhir kali kusimpan benda itu. Setiap laci kubongkar dengan
mengeluarkan semua isinya. Satu-satunya yang belum kujelajahi adalah kotak
merah berukuran tiga puluh kali tiga puluh di bawah meja. Sebenarnya aku enggan
membuka kotak itu. Tapi entah kenapa rasanya tanganku tertarik untuk
membukanya.
Dan benar, jam tanganku ada di
dalamnya. Siapa yang memindahkan? Terakhir kali kusentuh kotak ini akhir tahun
lalu saat aku bertukar kamar dengan Luna.
Saat hendak menutup kembali kotak
itu, mataku menangkap suatu benda oval berwarna kuning terbungkus plastik seal.
Tanganku meraih benda itu, dan di dalam otakku seperti terputar kisah klasik
empat tahun lalu.
Radio kuning. Lambang cintaku dengan
Remia. Lagi-lagi aku mengingat masa lalu bersama gadis itu. Radio ini sengaja
kami beli menggunakan setengah uangku dan setengah uangnya. Kami sama-sama
senang mendengar radio di malam hari. Jika ada lagu kesukaannya yang diputar di
radio, maka aku langsung menyusulnya ke rumah dan kami mendengarkan lagu itu
berdua di beranda rumahnya. Setelah itu, aku langsung kembali pulang. Begitu
seterusnya hingga menjadi kebiasaan kami berdua pada waktu itu. Kenangan yang
begitu manis.
Jika bukan karena keadaanku yang
berantakan seperti ini, aku pasti sedang mendengarkan radio ini di depan
beranda rumah Remia. Sial. Kali ini mataku berkaca-kaca. Makhluk apa kau
sebenarnya, Re? Hingga membuatku gelisah dan merindu setiap hari. Tapi aku tidak
mampu menyatakannya di hadapanmu. Aku tidak pantas untukmu.
“Kak Juna.”
Luna tiba-tiba masuk ke kamarku
membawa kartu SPP sekolahnya. Aku jadi ingat satu hal, Luna harus segera
bayaran sekolah untuk ujian minggu depan. Tapi keparatnya aku hingga detik ini
belum mempunyai cara untuk dapatkan uangnya.
“Iya, Lun? Pasti kamu mau menanyakan
kapan Kakak bayar uang sekolahmu, ya? Ini Kakak baru mau berangkat cari uang.”
Aku mulai mengenakan jam tanganku dan merapikan kota merah itu ke tempat
semula.
“Ini kan sudah malam, Kak. Kakak
tidak perlu cari uang sekarang. Semua sudah dibayar, kok.”
Tentu saja aku bingung mendengar
pernyataan Luna barusan. “Apa maksudmu?”
“Nih.” Luna menyodorkan kartu SPP
kepadaku. Aku mengernyitkan dahi. Dan benar. Di kartu itu sudah dibubuhi cap
sekolah sampai bulan depan. Kelebihan satu bulan.
“Siapa yang membayar ini semua?”
gumamku.
“Kak Remia.”
***
Aku mengubah rencana awal yang
tadinya berniat untuk mencari pekerjaan atau mencari pinjaman uang dari
teman-teman sanggar melukis, kini berniat menemui Remia. Ya. Gadis itu lagi.
Apa maunya gadis itu? Untuk apa ia menanggung uang sekolah Luna? Apa dia mau
cari perhatian dan berharap aku kembali padanya? Sayangnya itu tidak berhasil.
Mungkin hampir. Tapi aku teringat kembali pada prinsipku: aku tidak pantas
bersamanya karena hidupku yang tak bagus untuknya.
Sepanjang jalan aku merasakan ada
hal semacam tersinggung atas perbuatannya. Tapi cepat-cepat aku singkirkan
pikiran kotor itu. Remia memang gadis baik. Baik pada setiap orang. Termasuk
pada Luna.
Setibanya di rumah Luna yang hanya
berjarak tiga blok, mataku tidak melihat Scoopy coklatnya yang biasa ia
parkirkan di samping rumah.
“Cari Remia, ya?” Bu Ningsih –
ibunya Remia – sudah ada di belakangku. Dari warung sebelah katanya. “Kemana
saja, Jun? Semenjak putus sama Remia kok ndak
pernah main. Sombong ya sama Ibu.”
Putus? Memangnya kapan kami pacaran?
Hubunganku dengan Remia dulu memang membuat semua orang beranggapan bahwa kami
berpacaran. “Hehe...Ada kok, Bu. Juna juga masih suka ketemu Remia. Tapi memang
belum sempat mampir ke rumah saja.”
“Oh, sibuk kerja ya, Jun?” Kerja
serabutan sih iya. “Mau ketemu Remia? Dia lagi ndak di rumah. Barusan diantar ke rumah sakit sama ayahnya.” Sambil
mengikuti Bu Ningsih ke beranda dan duduk di kursi taman, ada yang janggal dari
pernyataan beliau.
“Ke rumah sakit? Remia sakit?”
“Iya. Kumat lagi. Dan kayaknya jadi
tambah parah.”
Aku makin heran saat raut wajah Bu
Ningsih berubah murung. Kepalanya tertunduk dan jemarinya memainkan ujung blus
katunnya.
“Tolong kuatkan dia, Jun. Ini pesan
dari Ibu. Cuma kamu yang jadi penyemangatnya setiap hari. Dan ingatkan dia
untuk selalu meminum obatnya.”
Hah? Aku tidak mengerti maksud Bu
Ningsih. Obat apa? Penyakit apa?
“Kamu tahu cita-citanya, kan? Penulis
besar dan produsen film. Dia mengkhawatirkan cita-citanya tidak sempat
tercapai.”
Dan Bu Ningsih sukses membuat rasa
penasaranku memuncak. Kata-katanya seolah Remia akan mati besok.
“Bu, Juna tidak...”
“Aku pulaaaang...”
Kalimatku terputus oleh teriakkan
Remia yang baru saja pulang bersama ayahnya, Pak Lukmanto.
“Juna. Kau di sini? Sedang apa?”
Remia tampaknya tidak percaya melihatku berada di rumahnya.
“Eh, ada Juna. Maaf, ya. Bukannya
melarang untuk kalian berdua ketemu, tapi malam ini Remia harus istirahat
total,” kata Pak Lukmanto.
“Ayah, Rere baik-baik saja, kok.”
“Kali ini tolong nurut sama Ayah,
Re.”
“Iya, kamu ikutin kata-kata Ayah,”
kataku. Dan sebenarnya aku masih tidak paham dengan keadaan ini. Kemudian Remia
dan keluarganya masuk setelah pamit denganku.
Angin malam ini mampu mengibaskan
pohon-pohon besar di sekitaran komplek. Pertanda hujan besar akan kembali
mengguyur tengah malam nanti. Aku berjalan perlahan sambil meniti aspal yang
kuinjak. Memikirkan yang dibicarakan Bu Ningsih tadi. Ada yang tidak beres. Dan
aku tidak memungkiri bahwa aku sungguh-sungguh inngin tahu apa yang terjadi
dengan Remia. Gadis hujanku.
Langit hitam di atas kepalaku
meneterskan bulir-bulir bening. Tak lama beberapa menit kemudian makin banyak
dan gerimis datang tanpa diundang. Begitu juga Remia. Tiba-tiba ia sudah
mensejajarkan langkahnya denganku.
“Hai, Juna.” Gadis mungil itu
menengadahkan kepalanya dan menarik ujung bibirnya membentuk senyuman manis.
“Re? Kenapa di sini? Kenapa keluar?
Bukannya kamu harus istirahat total seperti ayahmu bilang?” Aku menghentikan
langkah.
“Di dalam panas. Ssstt...Jangan
beritahu mereka.”
“Kabur? Sebentar lagi hujan, hey!
Sekarang saja sudah gerimis.”
“Untuk itulah aku keluar.”
Aku melempar pandangan ke arah lain
untuk berpikir: Remia memang menyukai hujan. Saat hujan sederas apapun ia rela
keluar rumah untuk hujan-hujanan.
“Kamu nggak berubah.”
“Aku masih seperti yang dulu.”
“Iya.” Apa itu juga termasuk cintamu
padaku, Re? Aku cuma berani bertanya dalam hati.
“Tadi mau apa datang ke rumah? Ada
sesuatu yang ingin kau sampaikan?”
“Iya.”
“Penting?”
“Emmm...”
“Tunggu.” Remia mengoreh saku celananya
dan mengeluarkan dua buah gelang gelang dari manik-manik mahoni coklat. “Aku
titip satu untuk Luna. Dan satu untukmu. Ini kubuat sendiri.”
Aku menerima gelang itu. Masih
dengan perasaan bingung dengan hari ini. Belum sempat aku berterimakasih, Remia
berlari menuju belokan di depan. Secepat kilat ia berlari hingga aku tidak
mampu menyusulnya. Kucoba mencari ke sudut blok, ke tiap belokan lain, dan
sudut-sudut warung tetangga, hasilnya tetap tidak ada. Kemana dia? Malam itupun
resmi diguyur hujan deras. Aku tidak berpikir untuk mencari tempat berteduh.
Saat ini di otakku hanya Remia. Lari ke mana dia? Dan kenapa harus lari? Kali
ini aku benar-benar mengkhawatirkannya. Gadis aneh! Dari dulu dia selalu
membuatku penasaran dan berhasil menarik perhatianku seperti sekarang.
***
Apa kataku, hujan mengingatkanku
pada gadisku – aku lebih senang menyebutnya “gadisku” – hingga pagi ini yang
dinginnya mencapai enam belas derajat selsius berkat hujan semalam yang
berkepanjangan. Pertama kali kubuka mataku, wajah Remialah yang pertama
kuingat. Semalam dia menghilang. Selama dua jam aku mencari hingga basah kuyup,
tetapi wujudnya tidak kutemukan.
Dan sekarang bertambahlah benda
kenangan tentang Remia. Gelang mahoni coklat. Aku duduk di tepi ranjang, dengan
tubuh melengkung ke depan dan meremas rambutku. Remia...Di mana kau? Apa yang
terjadi denganmu? Dan kali ini aku sadar bahwa aku benar-benar
mengkhawatirkannya, merindukannya, dan menginginkannya. Bukan karena dia telah
mengantar Luna ke sekolah sambil hujan-hujanan, atau karena dia telah membayar
uang sekolah Luna, atau karena semua kebaikan-kebaikannya selama empat tahun
ini. Aku sendiri tidak tahu jelas alasannya. Tapi sekarang aku benar-benar menginginkannya.
Seolah tidak peduli dengan alasan utamaku saat memutuskan untuk
meninggalkannya.
Tunggu. Tidak semudah itu. Rasa
takutku masih mengendap. Takut akan Remia yang tidak menerima kekuranganku. Ck! Ini namanya perang batin.
***
Hampir satu minggu aku sengaja
mencari Remia. Tetapi tidak satupun tempat yang kukunjungi ada sosok Remia di
sana. Bahkan orang tuanya tidak ada di rumah. Di rumah mereka hanya ada Bi
Odah. Beliau juga tidak tahu kemana majikannya pergi. Lalu aku menitipkan pesan
pada Bi Odah agar Remia segera menemuiku.
***
Berulang
kali aku menyesap latte di dalam mug putih berlogo Star Bucks. Kepulnya cukup
tebal dan menggelitik kala kuhadapkan wajahku di atasnya. Sesekali kulirik
gadis di hadapanku. Tepat di bibirnya aku melihat noda latte. Dan tepat di
bibirnya pula aku melihat segaris senyuman. Bukan senyum padaku. Tapi aku
mengira senyuman itu memang untukku. Manis. Terlebih noda latte di sudut bibirnya
yang membuat tanganku gatal untuk mengusapnya. Ck! Kau terjebak, Jun! Aku tak habis pikir mengapa Remia selalu
memasang ekspresi seperti itu. Tersenyum. Matanya berbinar-binar seperti anak
kecil.
Astaga!
Aku menyerah.
“Cepat minum latte-mu. Nanti kalau
dingin tidak enak,” kataku memecah kesunyian diantara kami berdua.
“Tidak usah terburu-buru. Aku masih
ingin menikmati kepulannya sekali lagi. Wangi.” Remia menghirup kepul dari
latte-nya. Ini salah satu keanehannya juga. Dulu waktu kami masih bersama – berhubungan
dekat tanpa status – dia sering menghirup asap dari cangkir kopinya. Sekalipun
itu kopi hitam. Ketika kopinya dingin, ia tak mau meminumnya dengan alasan
sudah tidak seharum tadi saat masih panas. Jadi tidak berselera. Aneh benar.
“Sekali lagi? Kau masih bisa
menemukan latte besok-besok, kan?”
“Mungkin iya, mungkin juga tidak.”
Remia tersenyum lebar kepadaku dan membuat aku makin gemas. “Kau mau bicara
apa? Tumben mengajakku bertemu. Ini kan sedang hujan deras sekali. Untungnya
aku sedang tidak menjemur gorden atau seprei.”
Justru karena sekarang sedang hujan,
Re, aku mengajakmu bertemu. “Aku rindu kamu.”
Ya! Aku berhasil mengeluarkan
kalimat itu setelah empat tahun kutahan. Kalimat yang membuat dadaku sesak tiap
malam, atau ketika hujan turun. Bukan hanya melirik, kini aku benar-benar
menatap wajah Remia. Melihat bulat matanya yang makin membulat ketika aku
mengucapkan kalimat maut tadi. Dia mengangkat wajahnya dari cangkir kopi dan
beralih padaku. Bibirnya mengatup. Tidak berkata apa-apa.
Sesaat kami berdua saling bungkam.
Sepi kembali hadir diantara kami. Aku memajukan posisi dudukku dan memberanikan
diri untuk mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Aku kembali berhasil menemukan
sepasang bola matanya dengan jelas. Dan Remia tidak berkutik sama sekali. Ia
malah balas menatapku. Dan seketika matanya penuh dengan air yang hampir
tumpah. Remia menangis.
“Hey, kau kenapa?” Aku mengernyitkan
dahi. Bahkan saat menangispun ia masih terlihat manis dan cantik. “Karena
kalimatku barusan?”
Remia mengangguk pelan.
Begitulah wanita. Mudah tersentuh
dan menangis hanya dengan mendengar kata-kata manis dari seorang lelaki. Hati
mereka terlalu lunak.
“Kau masih ingat prinsipku, Re?”
“Iya,” jawab Remia.
“Kenapa kau melakukan ini?”
“Melakukan apa? Menghirup kepulan
kopi panas maksudnya?”
“Kalau soal itu aku sudah mengerti.
Kenapa kau sangat baik padaku? Kau sendiri tahu bahwa aku sering sengaja
membuatmu kesal, marah, cemburu. Dan kau juga tahu kehidupanku seperti apa.
Tidak beraturan.”
“Aku mau tanya sesuatu.” Aku
berdehem sebentar. “Kau masih mencintaiku?”
Alih-alih menjawab, Remia
menenggelamkan kepalanya menghadap cangkir kopi yang sekarang tidak lagi
mengeluarkan kepulan.
“Iya atau tidak? Jangan diam dan
menunduk seperti itu. Jika sampai hitungan lima kau masih diam, aku anggap itu
jawaban iya.” Aku mulai menghitung. “Satu...Dua...Tiga...Empat...”
Remia mengangkat wajahnya. Aku pikir
ia akan mengatakan sesuatu sebagai jawaban.
“Lima.”
Dan itu kuanggap jawabannya adalah
“iya”.
“Untuk menjawab itu kenapa kau
memilih diam? Tidak berani mengatakannya secara langsung?” Rasa-rasanya aku
seperti sedang mengintrograsi seorang tindak pidana.
“Aku memang masih mencintaimu.
Perasaanku masih sama seperti dulu ketika kita...”
“Baik. Kau tahu aku tidak pernah
membalas kebaikanmu, selalu mengabaikanmu, tidak pernah menganggapmu ada,
bahkan terkadang ketus padamu. Tapi kenapa sampai empat tahun ini kau masih
sanggup untuk bertahan dengan perasaanmu? Apa kau tidak merasa tersiksa, Re?”
Selama aku menghujaninya dengan
beberapa pertanyaan, Remia hanya sibuk mengaduk-aduk latte-nya. Aku sedikit
tidak sabar. Maka kurebut cangkir miliknya agar ia bisa terfokus hanya padaku.
“Jawab aku, Re. Tolong.” Dengan
sadar aku tengah menggenggam kedua tangannya.
“Aku tidak bisa menilai sebesar apa
perasaan ini. Aku sendiri tidak mampu memahami semuanya, semua gejolak yang
selalu muncul ketika membaca namamu, mendengar suaramu, dan malihat wajahmu. Aku
tidak mengerti,” mata Remia mulai berkaca-kaca. Tapi ia tampak menahan sekuat
mungkin air matanya agar tidak jatuh. Mungkin ia ingin terlihat kuat. Padahal
aku tahu dia itu mudah menangis karena hatinya terlalu lembut. Kiranya seperti
itulah tipe melankolis.
“Aku senang bisa membantumu di sisa
hidupku. Dan ketahuilah, aku tidak pernah menghiraukan kekuranganmu, hidupmu,
dan segala yang kau takutkan aku bisa menerimanya atau tidak. Tapi jika kau
tetap bersembunyi, tidak apa-apa. Beginipun aku sudah bahagia. Aku bisa tahu
caranya mencintaimu,” Remia kini benar-benar menangis. “Dan aku bisa mengerti
apa artinya ketulusan.”
Kalimat Remia barusan sangat
menyentuh. Baru kali ini aku terharu dengan kata-kata manis seperti itu. Gadis
itu ternyata benar-benar menaruh perasaan yang begitu besar. “Lagi-lagi
bicaramu seperti akan mati besok,” lalu aku melihat wajah Remia berubah pucat.
Bibirnya yang semula terlihat segar, kini mengering dan memutih. “Kau sakit?
Wajahmu pucat sekali.”
Aku jadi teringat kejadian di
rumahnya saat aku hendak menemuinya. Teringat pesan dari Bu Ningsih. Remia
punya suatu penyakit, tapi aku belum tahu itu apa. Mendadak Remia beranjak dari
kursinya dan berlalu meninggalkan kafe. Dan di detik itulah aku benar-benar
berpikir.
Aku mencintaimu, Re. Dan saat hujan, aku seperti makin tersiksa. Karena
saat itulah semua tentangmu berputar dalam otak. Kerinduanku makin mengikat.
Dan aku makin merasa bersalah.
Re, maafkan aku yang
membisu dan selalu bungkam. Kau gadis yang baik. Terlalu baik untuk aku yang
bodoh. Aku menyadari cintamu yang begitu besar. Sekali lagi maafkan aku yang
tidak pernah bisa membalas perasaanmu.
Aku mencintaimu, Re. Dan
kini aku putuskan untuk mengabaikan prinsip sialan itu. Sekarang aku memilihmu.
Kau harus jadi milikku, Remia...
Juna...
Jika banyak orang menyatakan
cintanya melalui SMS, BlackBerry Messanger, atau sosial media lainnya, aku
memilih berkirim surat agar kesannya lebih romantis. Sepucuk surat yang
kukirimkan pertama kali untuk seorang gadis semasa hidupku. Memang lucu.
Surat itu kutitipkan pada Bu Ningsih
ketika aku sengaja datang ke rumah Remia malam sabtu. Waktu itu beliau bilang
Remia sedang check up di rumah sakit.
Aku masih berpura-pura mengetahui penyakit anaknya. Dan sebelum pulang, aku
juga titip pesan ke Bu Ningsih untuk Remia agar menemuiku besok.
***
Diantara pohon cemara tua berlumut,
cuma itu tempat bersandar dan bersembunyi dari gelegar petir yang tak punya
hati. Bagaimana jika hujan terlanjur turun sebelum gadisku datang? Hujan jangan
dulu turun. Rencana ini tidak boleh gagal.
Mengantar Luna ke sekolah sambil
hujan-hujanan, membiayai sekolah Luna, itu hanya sebagian kecil kebaikan yang
Remia lakukan. Sejak kami bertemu lalu saling mengenal, ia selalu rela
melakukan apapun demi aku. Ia bahkan pernah nekat kembali pulang ke rumah saat
hujan deras demi mengambil laptop untukku. Saat di sekolah, aku meminjam
laptopnya untuk mengerjakan laporan kegiatan OSIS yang deadline-nya sudah sangat mepet. Remia pulang mengendarai motornya,
padahal waktu itu hujan sedang turun deras sekali dibarengi petir yang ganas.
“Dorrr!”
Tiba-tiba Remia sudah berdiri di
hadapanku dengan mengagetkanku seperti anak taman kanak-kanak. Kulihat wajahnya
berseri setelah pertemuan kemarin ia meneteskan air matanya dihadapanku pertama
kali. Aku senang melihat ekspresi seperti itu, Re.
“Mau mengagetkan aku? Sayangnya aku
tidak kaget,” aku membuang muka.
“Tidak. Aku hanya lupa namamu, jadi
kupanggil saja ‘dor’,” kami berdua tertawa. Rasanya bahagia sekali.
“Kau sudah baca suratku, Re?”
“Sudah.”
“Lalu?” Remia hanya tersenyum sambil
memiringkan kepala yang membuatku makin gemas. “Jangan bertingkah seperti itu,
aku tidak tahan dengan godaanmu. Ayo, peluk aku!”
Ini pertama kali aku memeluk Remia.
Tubuhnya tidak terlalu kurus atau gemuk. Tingginya hanya sampai bahuku. Aku
menghirup wangi permen dari helai-helai rambutnya yang tertiup angin dan
membuatku semakin mengeratkan pelukanku.
“Sejak kapan kau bisa menyusun
kata-kata seperti itu?”
Pelukan kami belum terlepas.
“Kenapa? Indah, bukan? Itu kubuat hanya
dalam waktu sepuluh menit.”
“Itu karena hatimu yang bicara. Pena
hanya sebagai penyalurnya.”
Remia melepaskan diri dan menatapku
dengan matanya yang berbinar-binar. Lalu kami terduduk yang tanahnya sedikit
miring ke bawah, bersandar di pohon cemara yang tua.
Aku mulai berani menggenggam
tangannya. Kuperhatikan tiap ruas jemari itu yang menghangat dan tampak pucat.
Atau mungkin ia berlebihan dalam memakai pemutih kulit. Aku tidak tahu. Lantas
Remia menyandarkan kepalanya di atas bahuku.
“Kau tahu sesuatu, Juna?
“Aku tahu. Kau mmencintaiku.”
“Ini lain hal.”
“Kau mencintai orang lain?”
“Juna...” Remia mulai kesal.
“Hahaha...Oke. Apa?”
“Semua tulisan-tulisanku di blog
hanya berkisah tentang kita. Tentang dirimu.”
“Karena kau terlalu mencintai aku.”
“Tidak juga.” Remia membenarkan
duduknya dan tidak lagi bersandar dibahuku. “Karena ak tidak tahu harus menulis
apa lagi.”
“Tidak percaya. Kau hebat dalam
menulis.”
“Tidak apa-apa. Ini kau baca di
rumah ya.” Remia menyerahkan selembar kertas yang katanya adalah balasan dari
suratk kemarin.
“Kenapa harus dibalas dengan surat
lagi? Ngomong langsung kan bisa.”
“Nyawa dibalas nyawa. Surat dibalas
surat.”
“Dan cinta dibalas cinta.” Aku
menghadapkan wajahku pada Remia. Begitupun sebaliknya. Kami bertatapan cukup
lama. Dan rinduku seperti terbayar lunas setelah akhirnya aku bisa menemukan
apa yang aku ingin lihat.
“Aku boleh minta sesuatu?”
“Apapun. Tidak hanya satu.”
“Cium aku untuk kali ini saja.”
Mendengar permintaannya, aku sempat
ragu untuk memenuhi itu. Tapi akhirnya kuberanikan diri untuk memperkecil jarak
diantara kami. Tanganku menyusup kebelakang untuk meraih pinggangnya supaya
lebih rapat. Perlahan kudekatkan wajahku dengan wajahnya. Semakin dekat hingga
kami harus menahan napas. Aku menyentuh bibirnya yang sedikit pucat. Hanya
sebatas menyentuh, aku langsung menjauhkan wajahku lagi untuk melihat
ekspresinya. Kelopak matanya tertutup dan bibirnya masih terbuka. Sekali lagi,
aku menciumnya. Kali ini sedikit lebih lama dan bergairah sebab Remia juga membalasnya.
Aku terpaksa menghentikan semua itu
untuk menghindari hal-hal yang tidak-tidak. Aku sedikit menarik diri dan meniup
telinga Remia dengan sedikit sentakkan.
“Geli!” Remia bergidik. Di bibirnya
mengembang senyum manis yang malah mengundangku untuk menciumnya sekali lagi.
Tapi itu berhasil kutahan.
“Aku mencintaimu...” kataku sambil
merapikan anak rambut di pipinya. Dan Remia kembali berhambur ke pelukkanku.
***
Sulit
untuk aku uraikan, Jun. Besarannya, gramasinya, volumenya, semua terlalu rumit
untuk bisa dipahami. Aku hanya mampu mengisyaratkannya, tapi untuk
mengungkapkannya selalu penuh keraguan.
Cintaku sederhana. Tidak ada tuntutan
yang harus kau penuhi. Bahkan akhir-akhir ini aku sangat bahagia bisa
mencintaimu dari belakang.
Mungkin besok aku sudah kembali ke
hadapan Tuhan. Jangan lupakan kisah kita. Jika rindu, do’akan aku ketika hujan.
Remia...
“Bu, mau kemana pagi-pagi begini?”
“Remia kritis, Jun. Padahal semalam
habis kemoterapi ketiga. Seharusnya makin membaik, tapi tadi dokter bilang
keadaan Remia memburuk.” Bu Ningsih panik dan tidak kuasa menahan tangisnya.
Aku luar biasa terkejut dan masih belum mengerti penyakit apa yang diidap
Remia.
“Saya ikut ke rumah sakit, Bu.”
Aku yang duduk di belakang kemudi.
Khawatir jika Bu Ningsih yang mengemudi karena emosionalnya sedang buruk.
“Sebenarnya Remia sakit apa, Bu?”
Aku memberanikan diri untuk bertanya dan tidak akan lagi berpura-pura tahu.
“Jadi, kamu belum tahu, Jun?” Bu
Ningsih mengelap pipinya yang basah. “Remia bilang kau sudah tahu semuanya.”
“Kami sudah jarang sekali
berkomunikasi sejak lulus SMA, Bu. Remia sakit apa?”
Bu Ningsih terdiam dan melemparkan
pandangannya ke luar jendela. “Kanker darah. Leukemia.”
***
Selama lima jam belum juga kulihat
matanya terbuka. Atau bagian tubuhnya manapun yang mengisyaratkan kesadaran.
Hanya mesin kecil di sebelah tempat tidurnya yang menandakan masih ada
kehidupan.
Akhirnya dokter mempersilakan aku,
Bu Ningsih dan Pak Lukmanto masuk ke kamar Remia. Sunyi. Orang tua Remia
berjalan cepat ke arah Remia. Sedangkan aku merasakan kakiku lemas, terlalu
payah untuk melihat kenyataan yang ada di hadapanku. Bu Ningsih dan Pak
Lukmanto menangis hebat melihat anaknya terbaring tak berdaya. Sedangkan aku
tidak tahu apakah aku bisa menangis? Andai ada yang lebih dari itu untuk
mengisyaratkan kesedihanku.
Di tepi tempat tidurnya, aku tidak
melihat matanya, apalagi senyumnya. Tapi pipi itu masih bulat sempurna. Aku
terkejut saat membelai kepalanya, di sela-sela jariku tersangkut banyak helai
rambut Remia.
“Itu efek kemonya,” kata Pak
Lukmanto sambil mengusap mata.
Aku menggenggam tangan kanannya.
Lalu terasa telunjuknya bergerak. Aku sedikit lega.
“Rere? Kamu sudah bangun, Nak? Ini
ada Ayah, Ibu, dan Juna. Ayo bangun.
“Re, kau bisa dengar aku?”
Matanya perlahan terbuka sampai
akhirnya benar-benar bisa melihat, lalu mengembangkan senyum termanisnya.
“Ayah...Ibu...Dan kau di sini juga, Juna?”
“Aku pikir hanya aku yang paling
jahat. Ternyata kau juga sama jahatnya, tidak memberitahuku soal ini.”
“Apa yang harus aku ceritakan? Dulu
aku takut kau tidak akan menghiraukan aku.”
Dan aku merasakan air mataku
mengalir tanpa kutahan terlebih dahulu.
“Bodoh!”
Aku juga lebih bodoh karena kemarin
tidak sempat menanyakan penyakitnya. Malah berpura-pura tahu di hadapan orang
tuanya.
“Aku senang kalian berkumpul di
sini,” Remia tersenyum lagi. “Maafkan Rere, Bu. Maafkan Rere, Yah.”
“Kamu bicara apa, Re?” kata Bu
Ningsih.
“Maafkan aku, Juna. Aku terlalu
mencintaimu.”
“Apa maksudmu? Lebih baik kau tidak
bicara apa-apa,” kataku sambil mengeratkan genggamanku.
“Aku lelah. Aku ingin pulang.
Titipkan salamku untuk Luna. Aku sayang kalian.”
Dan akhirnya monitor di samping
Remia berdengung panjang.
***
Tidak ada lagi mata dan pipi bulat,
tidak ada lagi senyum dan bibir yang manis, tidak ada lagi hal yang sama
seperti itu. Aku bodoh. Benar-benar bodoh. Apa yang kulakukan kemarin-kemarin?
Begitu banyak membuat luka di hati Remia. Terlalu sibuk mengabaikan cinta yang
tulus dari gadis semanis dia.
Hujan mengiringi pemakaman Remia.
Semua orang pulang kecuali aku. Hanya aku yang hidup di pemakaman. Tidak ada
yang tahu bahwa aku menangis saat itu. Hujan. Lagi-lagi bercerita tentangmu.
Membekaskan jejak kenangan yang mengundang rindu makin melonjak saat ia turun
ke bumi. Aku bersyukur kemarin bisa menyentuhmu walau sejenak. Dan aku mengerti
mengapa kau tiba-tiba memintaku untuk menciummu.
Re, do’aku selalu ada di setiap
bulir hujan.
Kau abadi.