Jumat, 14 November 2014

Hujan pun kembali...



Hujan akhirnya kembali dan bawakan larik-larik kenangan. Diam-diam bersemayam dan merajuk untuk sekedar menjenguk masa lalu.
Hai...Kakiku masih menyanggupi berdiri di sini. Kau tentu tahu.
Bersama rindu yang terselip, aku ucap selamat menyentuh cita yang bahagia.
Dan kau tetap jadi mimpi tanpa tangga untuk kujejakki.

Sang angin begitu membuai, dan malam makin memanjakan para gadis yang gulana.
Tidak hanya aku yang mematung di bawah hitamnya dunia. Masih banyak yang juga mengais cinta manis dari hati yang sulit dijadikan asa.
Engkau...Mungkin suatu saat akan sempat membaca ini.
Tanpa paksaan dari apapun. Cuma hatimu yang benar-benar ingin mengetahui siratan dari semua tulisanku.
Berharap jemariku kau raih, dan kita mengayunkan kaki di jalan setapak yang sama – berdua.

Hujan selalu mampu pahami aku yang tetap setia merindu. Walau peluh kadang menggoda untuk mundur dan mengalah.
Dan bersama hujan aku mengenangmu, makin memimpikanmu untuk bisa mengembalikan kisah-kisah manis yang telah terlampau pudar.

Salam Kasih,

Puisi: Bait-bait yang Jujur



Gerimis Malam
Oleh: Nia Kavindra

Cuma gerimis malam yang memihakku
Setidaknya sampai  di bulan ini
Aku tidak bisa membaca takdir
Yang bisa kubaca hanya gerak tubuhmu
Sayangnya terlalu lihai untuk kuterjemahkan
Ah, siratan darimu makin kabur
Sekarang bukan lagi gerimis
Mereka makin berderu menyerbu bumi
Dan kau...makin menghilang ditelan hitam

Cemara
Oleh: Nia Kavindra

Tubuhmu tinggi, tidak terlalu kurus
Lalu aku menambah dua langkah
Kulitmu hitam manis, tapi tetap bersinar
Aku menambah dua langkah lagi
Matamu indah, tampak seperti almon
Tatapan yang sepertinya meneduhkan
Lalu kau menemukanku di sini;
Di balik pohon cemara yang hampir kering
Lalu tersenyum
Dan aku pergi

Syair Sendu
Oleh: Nia Kavindra

Kau bisa lihat langit sudah mulai menghitam
Sebelum makin pekat, kau perlu tahu sesuatu
Pastikan dulu mata dan hatimu ada ditempatnya
Engkau...
Mungkin sebuah alasan atas kehiduapanku
Sebenarnya aku tidak begitu paham
Tapi barangkali memang begitu
Engkau...
Yang bersuara saat jarum jam berdetak
Mengiringi kaki yang masih menyusuri jejakmu
Kau masih disitu?
Sebelum beranjak, resapi satu hal lagi;
Kasihku belumlah layu
Memang banyak nestapa terteguk
Tapi aku masih sanggup untuk merindu

Letih
Oleh: Nia Kavindra

Jika letih ini adalah berkah
Bagiku dan bagi keluargaku
Biarkan saja tetap begini
Sampai hari kepulanganku tiba

Kota Mati
Oleh: Nia Kavindra

Lebih baik mengais di ladang
Daripada meringkuk di kota mati
Tidak akan kutemukan hijau
Dalam kota yang berdebu dan usang

Rakit
Oleh: Nia Kavindra

Kayuh rakit semampunya
Jangan berserah; aku turut di belakang
Akan kusibak peluhmu
Sampai berpijak di titik tuju

Gadis dan Mawar
Oleh: Nia Kavindra

dua puluh tangkai mawar di  meja itu lebih pasrah dari kelihatannya
tunggu ada yang berbisik waktunya mereka tanggal
mereka menatap gadis berkerudung jingga lengkap dengan segaris senyum
dalam mata dan hati yang mengusut bayang-bayang kenangan
andai bisa bicara jangan pada malaikat;
ketika kelopak-kelopaknya mesti membusuk lalu tanggal
pastilah gembira gadisnya tak jadi merunduk
ingat selalu pemberi mawar itu  yang bergantung
antara abadi atau pupus; “lantas bagaimana nasib gadisku?”
tanya salah satu tangkai mawar berkelopak kuning kecoklatan
sementara malaikat makin berdesis untuk mengumumkan
gadisnya akan kehilangan kelopak-kelopaknya
bersama kenangan yang harus pupus; bukan abadi


Permadani
Oleh: Nia Kavindra

Sebut aku permadani
Yang akan bawa dirimu melayang tinggi
Bersama rasaku yang tiada tepi
Jika kau ingin terbang lagi
Panggil saja aku kembali

Pagar
Oleh: Nia Kavindra

Andai tidak tahu sekuat apa pagar berdiri,
Jangan coba bersandar padanya
Rupanya kau tak mendengar
dan tetap mengendap masuk
Lalu benih kau tabur di dalamnya
Jika sudah berkembang dan berbuah,
Kau harus tetap di situ
Sebab sang pagar akan menguncimu
Kau telah menabur kebahagiaan, bukan?
Tapi jika kau bersikeras untuk keluar
Mendobrak sang pagar hingga roboh
Lalu ia rusak dan tak lagi berdiri
Bukan dari besi, hanya sebilah bambu kuning
Jadilah ia terkapar di tanah merah
Apa yang dikata tadi?
Jangan sentuh pagar itu!

Mengenang Kematian Bidadari (10 November)



       Dua tahun lalu, kata “bidadari” keluar dari mulutmu; membuat aku melayang tinggi. Menjatuhkanku pada satu rasa yang yang menggelitik saat kuingat hingga detik ini. Aku terbang tinggi tiada batas sampai buatku lupa akan daratan. Lupa tentang dunia yang jelas-jelas lebih nyata dari buaianmu. Tapi tidak kupungkiri, aku bahagia dikaruniai perasaan semacam ini.
            Pangeran. Lawan dari sebutan cantik itu. Entah pikiran dari mana sampai hati aku panggil dirimu demikian. Suatu malam yang mendadak benderang berkat puji-pujian dan sanjunganmu. Aku tersipu. Langit tampak kotor oleh bintang yang bertabur tak beraturan. Bulan tertawa. Ia ikut hanyut oleh sanjunganmu, Pangeran.
            “Kecantikanmu sudah seperti bidadari. Jangan merasa rendah diri di hadapan orang banyak.”
            Mungkin aku terlalu berlebihan dalam menerima kalimat itu. Tapi memang dalam beberapa waktu kalimat itu seperti ajaib, menjadi dasar meningkatnya rasa percaya diri dan semangat yang lebih membara dari hari-hari sebelumnya – sebelum aku mengenalmu. Ya, hidupku seperti berubah seutuhnya ketika namamu menjadi pemeran baru dalam ceritaku di bumi ini. Berawal dari kata-kata manis dan berbagai jamuan lainnya yang merayu untuk masuk lebih dalam bersamamu. Kita sempat duduk bersama walau sekejap mata. Namun ketika beranjak dari tempat kita terduduk, arah kaki kita berbeda. Sekalipun satu arah, sulit rasanya untuk saling mensejajarkan langkah.
            “Aku tidak punya alasan untuk mencintaimu.”
          Dan setiap malam kukatakan apa yang tiba-tiba menyelinap dalam hati. Kerap kali aku merengek manja, mengais iba, atau merujuk perhatianmu, jangan jadikan itu alasan untuk kau berhenti berupaya. Tapi kurasa memang bukan itu.
            “Kau terlalu baik untuk aku yang terlalu sering membuatmu sakit.”
       Pikiranmu terlalu dangkal untuk hal sedalam ini, untuk perasaanku yang aku sendiri tidak tahu besarannya, gramasinya, dan volumenya. Ini terlalu sulit untuk diuraikan. Tiap napas yang berhembus disisa hidupku, lagi-lagi teringat nama yang dengan berani memanggilku “bidadari”. Yang selalu bersikap manis, yang selalu berhasil membuatku luluh meski banyak luka yang telah kau torehkan. Pangeran. Lidahku begitu kelu memanggilmu demikian. Mungkin aku akan mati. Bidadarimu hampir mati.
            Berkat suasana dingin yang kau bawa di masa kini, tanpa ada kata sebagai penyanjung atau hanya sekadar sapaan. Aku mati kedinginan. Tanpa hangat dari napasmu yang makin samar harumnya. Aku terkapar di tempatku menggantung asa dan rindu, berpadu jadi satu meski tanganmu telah terlipat tanpa cela. Meski bibirmu terkatup tanpa suara, dan telingamu tak izinkan lagu sendu yang kunyanyikan merasuki alam pikirmu. Aku membeku dalam temaram yang begitu hening. Tidak lagi kudengar lagu cinta dari radio sebagai pengantar tidur malamku.
            Pangeran. Aku hendak mati meninggalkan ruang rindu yang tak pernah lagi kau singgahi. Hujan yang mengantarku; pada tempat sebaik-baiknya aku berdiri.

Cerpen: Ketika Hujan Bercerita



            Hari ini Supadi di kembalikan ke bumi. Setelah sombongnya tronton atas kekuasaannya di jalanan menggerus tubuh Supadi beserta motornya yang kini hanya tersisa beberapa spare partnya saja. Beberapa tetangga bilang ini adalah balasan untuknya atas dosa-dosa yang diperbuat selama ia hidup. Tapi aku pikir terlindas tronton terlalu kejam jika dijadikan hukuman untuk seseorang yang hobi selingkuh. Aku paham alasan seringnya Supadi melakukan hal itu. Mirna, isteri Supadi, selalu marah-marah jika tak diberi uang. Ia bilang keperluan rumah tangga terutama keperluan anak-anaknya sangat banyak. Supadi memang tidak bekerja. Ralat. Dia bekerja sebagai tukang kuli panggul. Bekerja hanya saat sang mandor menawari proyek baru. Dan sudah hampir delapan bulan ini Supadi tidak mengerjakan proyek apapun. Otomatis ia tidak mendapatkan uang. Mirna harusnya mengerti. Tidak kerja, tidak dapat uang. Mencari pekerjaan tidak mudah, Mir. Masih untung suamimu tidak jadi pembunuh bayaran. Lalu karena merasa jenuh dengan segala omelan Mirna, Supadi jarang pulang dan memilih menggoda beberapa wanita muda di belokan Kenanga saat tengah malam. Mungkin Supadi “kebablasan” sampai menciptakan manusia baru. Dan sampai kepulangannya ke hadapan Tuhan, wanita selingkuhannya dan calon anaknya menghilang entah kemana.
            Oke, lupakan Supadi. Sepulang dari pemakaman, aku menemukan Hendra sudah bertengger santai di beranda rumahku dengan menggenggam sebuah karton kecil berwarna biru langit.
            “Udah di sini aja lo, Hen. Lama?”
            “Baru tiga puluh menit, Jun.”
            “Jauh-jauh dari Garut di hari biasa begini pasti ada yang penting, kan? Ngaku lo.”
            “Iya lah. Nih.” Hendra menyodorkan karton biru itu yang terukir tulisan berwarna emas: Marissa dan Hendri.
            “Wow! Nggak salah, Hen? Umur lo baru dua puluh dua. Marissa juga. Kenapa cepet-cepet, sih?”
            “Kalau udah sama-sama yakin, umur bukan suatu masalah. Harusnya lo belajar dari gue, Juna.”
            “Belajar apa? Pinteran juga gue. Lo inget nilai fisika lo yang tiga kali dapet lima?”
            “Aaaah, nggak usah ungkit-ungkit itu. Ini tentang prinsip.”
            “Kayaknya gue paham arah pembicaraannya.” Aku beranjak masuk ke dalam rumah.
            “Eh, mau menghindar?” Hendra menahan lenganku diambang pintu.
            “Gue mau ambil minum. Lo nggak haus apa? Duduk di dalem!”
***
            Aku malas jika harus membahas hal ini yang sudah berulang-ulang dibicarakan. Bosan mendengar masukan-masukan Hendra yang seolah menyudutkanku. Ini bukan salahku seutuhnya. Tapi keadaan yang memaksa. Ah, kurasa dia sudah mengerti.
            “Sekarang bagaimana?”
       “Apanya?” Aku menyesap teh manis buatanku yang sepertinya akan membunuh para diabet. Kemanisan.
            “Remia.”
           Tepat dugaanku. Hendra menanyakan gadis itu. “Kabarnya? Lo tanya saja sendiri. Gue nggak ngasuh gadis itu.”
            “Lo masih bertahan dengan prinsip gendheng lo itu? Juna...Juna. Cinta yang tulus tidak akan berani memperhitungkan materi dan kesempurnaan.” Ini adalah saran terbaru dari Hendra untukku. Entah quote dari mana ia dapatkan. Tapi sepertinya itu benar. Dan aku malah tertunduk sambil menggenggam cangkirku yang mengambang di depan bibir.
            “Hen. Lo tahu segala cerita di kehidupan gue. Lo lihat keadaan gue sekarang. Terlalu sederhana dan nggak ada menariknya sama sekali. Gue belum mapan. Gue masih harus ngasih makan Luna, bayarin sekolah dia.”
            “Itu bukan alasan, Jun.”
          “Ini alasan terbesar gue. Gue nggak bisa kayak laki-laki lain yang jajanin ceweknya, beli ini beli itu buat ceweknya. Hidup gue berantakan. Dan sekarang gue lagi fokus cari uang buat bayar semesteran si Luna. Kalau enggak, dia nggak bisa ikut ujian.”
            “Pikiran lo terlalu sempit, Jun. Gue yakin Remia anak yang baik, cintanya tulus. Dan kayaknya dia nggak akan mempermasalahkan hal yang lo takutkan ini.”
            “Remia memang anak yang baik. Terlalu baik. Makanya gue nggak tega membiarkan dia masuk ke kehidupan gue yang berantakan ini.”
            “Silakan pikirkan lagi, Jun. Cinta setulus itu cuma satu di dunia ini.”
***
            Padahal sudah pukul delapan, harusnya Bandung sudah disengat matahari. Tapi minggu-minggu ini hujan selalu mampir dan menyapaku tiap pagi. Entah kenapa saat membuka mata dan mengetahui di luar sedang hujan, aku jadi teringat gadis itu. Remia. Hujan mengingatkanku padanya. Hujan membuat rindu ini makin mengikat. Bulat pipinya, runcing dagunya, wangi rambutnya, dan tipis bibirnya.
        Sial. Aku mengutuk pagi ini. Kondisi seperti ini membuat kepribadianku putar haluan menjadi melankolis. Padahal aku benci hal-hal yang berbau melow. Tapi memang benar. Hujan mengingatkan aku pada sosok mungil itu. Seorang gadis yang pernah dekat – tanpa status hubungan – empat tahun lalu, saat kami masih duduk di bangku SMA. Aku pikir cinta kami berdua cuma sekedar cinta monyet para remaja yang nantinya akan hilang sendiri. Tapi ternyata dugaanku salah. Cinta Remia bertahan hingga sekarang. Padahal sudah berkali-kali aku sengaja membuatnya marah, benci, bahkan mendendam semata-mata karena aku ingin dia menjauh dan berhenti mencintaiku.
            “Kak Juna.”
        Terdengar suara Luna memanggil dari belakang pintu. Aku menurunkan kakiku perlahan sampai menyentuh keramik. Dinginnya luar biasa. Rasanya aku perlu permadani terbang untuk menuju pintu kamar yang berjarak satu meter dari ranjang.
            “Loh, kamu masih di sini? Nggak berangkat sekolah? Ini sudah jam delapan, kan?”
          “Luna masuk jam sembilan, Kak. Karena sebagian ruang kelas sedang dipakai pemantapan anak kelas enam.”
            “Hm. Ya sudah, kakak panasi motor dulu sambil tunggu hujan sedikit reda. Kamu cari jas hujan di belakang, ya.”
            “Iya.”
         Aku berjalan setengah malas ke samping rumah. Sampai di sana, Jupiterku terlihat makin mengenaskan. Tanah mengering di mana-mana terutama bagian gerigi roda. Body-nya penuh goresan. Ah, sangat tidak menarik untuk diajak jalan-jalan, apalagi bawa seorang gadis.
            Aku menekan tombol start di stang bagian kanan. Berkali-kali kutekan tetapi Jupiter ini tidak mau berderu. Kenapa lagi kau, Jup? Apa karena kau kedinginan? Kasihanilah aku kali ini. Luna harus kuantar ke sekolah, Jup. Come on!
            Sudah setengah jam Jupiterku tidak kunjung membaik. Sampai Luna berteriak memanggilku, aku baru sadar sekarang sudah pukul setengah sembilan. Dan sialnya lagi, hujan masih deras mengguyur tanah Bandung.
            “Lun, kalau hari ini kau tidak sekolah bagaimana? Motor kakak ngadat, nih.”
            “Hari ini Luna mau tetap sekolah, Kak. Kakak nggak usah antar Luna.”
            “Terus kamu berangkat sendirian sambil hujan-hujanan?”
            “Enggak. Di depan sudah ada yang jemput. Aku berangkat sekarang ya, Kak.”
Luna langsung berlari meninggalkan aku yang kebingungan. Di jemput siapa? Lantas aku mengikuti Luna ke ruang depan.
            “Hei, Jun.”
            Remia.
            “Kau. Sedang apa di sini?”
            “Kak Rere yang antar aku ke sekolah hari ini, Kak,” jawab Luna.
            Mataku mengarah keluar rumah. Terlihat Scoopy coklat terpakir di beranda yang terlindungi fiber sebagai atap.
            “Kebetulan aku mau ke toko kelontong di dekat sekolah Luna. Dan tadi saat lewat rumahmu, aku lihat Luna sedang berdiri di depan pintu. Jadi langsung saja kutawari untuk diantar.”
            Aku cuma diam. Dan tanpa disadari mataku terpaku pada bola mata Remia dalam beberapa detik. Seperti mendapat mukjizat di pagi hari, kerinduanku akan bola matanya hari ini telah terbayar. Re, aku rindu.
            “Tidak usah, Re. Biar aku saja yang antar Luna. Kau pergi saja duluan.” Sial. Andai aku yang mendengar kata-kataku tadi dari mulut orang lain, pasti langsung kubanting pintu dan berlari sambil memaki. Tapi tidak Remia. Dia masih bisa tersenyum walau kata-kataku tadi sedikit menyinggung.
            “Kakak mau antar Luna pakai apa? Motor Kakak kan rusak. Biar Luna pergi sama Kakak Re saja.”
            “Kita bisa naik angkutan umum, Lun. Lebih nyaman, dan kau tidak akan kena cipratan air hujan.” Diam-diam aku melirik Remia untuk melihat ekspresi wajahnya. Dan ia masih memasang senyum manis di bibirnya.
            “Ini sudah jam berapa, Kak? Angkutan umum kan hanya lewat di depan gang saja. Kita harus jalan dulu. Sudah, ya. Aku pergi diantar Kak Rere saja.”
            “Gimana, Jun? Boleh?” Remia bertanya. Aku terpaksa mengizinkan. Bukan karena suara Luna yang lembut, atau senyumnya yang menawan. Tapi karena Luna yang memaksa. Ya, karena Luna.
            “Jangan lupa kenakan jas hujan.”
***
            Biasanya setelah kupakai, jam tangan itu selalu kusimpan di tempatnya kembali. Tetapi kali ini aku mendadak lupa di mana terakhir kali kusimpan benda itu. Setiap laci kubongkar dengan mengeluarkan semua isinya. Satu-satunya yang belum kujelajahi adalah kotak merah berukuran tiga puluh kali tiga puluh di bawah meja. Sebenarnya aku enggan membuka kotak itu. Tapi entah kenapa rasanya tanganku tertarik untuk membukanya.
            Dan benar, jam tanganku ada di dalamnya. Siapa yang memindahkan? Terakhir kali kusentuh kotak ini akhir tahun lalu saat aku bertukar kamar dengan Luna.
            Saat hendak menutup kembali kotak itu, mataku menangkap suatu benda oval berwarna kuning terbungkus plastik seal. Tanganku meraih benda itu, dan di dalam otakku seperti terputar kisah klasik empat tahun lalu.
            Radio kuning. Lambang cintaku dengan Remia. Lagi-lagi aku mengingat masa lalu bersama gadis itu. Radio ini sengaja kami beli menggunakan setengah uangku dan setengah uangnya. Kami sama-sama senang mendengar radio di malam hari. Jika ada lagu kesukaannya yang diputar di radio, maka aku langsung menyusulnya ke rumah dan kami mendengarkan lagu itu berdua di beranda rumahnya. Setelah itu, aku langsung kembali pulang. Begitu seterusnya hingga menjadi kebiasaan kami berdua pada waktu itu. Kenangan yang begitu manis.
            Jika bukan karena keadaanku yang berantakan seperti ini, aku pasti sedang mendengarkan radio ini di depan beranda rumah Remia. Sial. Kali ini mataku berkaca-kaca. Makhluk apa kau sebenarnya, Re? Hingga membuatku gelisah dan merindu setiap hari. Tapi aku tidak mampu menyatakannya di hadapanmu. Aku tidak pantas untukmu.
            “Kak Juna.”
            Luna tiba-tiba masuk ke kamarku membawa kartu SPP sekolahnya. Aku jadi ingat satu hal, Luna harus segera bayaran sekolah untuk ujian minggu depan. Tapi keparatnya aku hingga detik ini belum mempunyai cara untuk dapatkan uangnya.
            “Iya, Lun? Pasti kamu mau menanyakan kapan Kakak bayar uang sekolahmu, ya? Ini Kakak baru mau berangkat cari uang.” Aku mulai mengenakan jam tanganku dan merapikan kota merah itu ke tempat semula.
            “Ini kan sudah malam, Kak. Kakak tidak perlu cari uang sekarang. Semua sudah dibayar, kok.”
            Tentu saja aku bingung mendengar pernyataan Luna barusan. “Apa maksudmu?”
            “Nih.” Luna menyodorkan kartu SPP kepadaku. Aku mengernyitkan dahi. Dan benar. Di kartu itu sudah dibubuhi cap sekolah sampai bulan depan. Kelebihan satu bulan.
            “Siapa yang membayar ini semua?” gumamku.
            “Kak Remia.”
***
            Aku mengubah rencana awal yang tadinya berniat untuk mencari pekerjaan atau mencari pinjaman uang dari teman-teman sanggar melukis, kini berniat menemui Remia. Ya. Gadis itu lagi. Apa maunya gadis itu? Untuk apa ia menanggung uang sekolah Luna? Apa dia mau cari perhatian dan berharap aku kembali padanya? Sayangnya itu tidak berhasil. Mungkin hampir. Tapi aku teringat kembali pada prinsipku: aku tidak pantas bersamanya karena hidupku yang tak bagus untuknya.
            Sepanjang jalan aku merasakan ada hal semacam tersinggung atas perbuatannya. Tapi cepat-cepat aku singkirkan pikiran kotor itu. Remia memang gadis baik. Baik pada setiap orang. Termasuk pada Luna.
            Setibanya di rumah Luna yang hanya berjarak tiga blok, mataku tidak melihat Scoopy coklatnya yang biasa ia parkirkan di samping rumah.
            “Cari Remia, ya?” Bu Ningsih – ibunya Remia – sudah ada di belakangku. Dari warung sebelah katanya. “Kemana saja, Jun? Semenjak putus sama Remia kok ndak pernah main. Sombong ya sama Ibu.”
            Putus? Memangnya kapan kami pacaran? Hubunganku dengan Remia dulu memang membuat semua orang beranggapan bahwa kami berpacaran. “Hehe...Ada kok, Bu. Juna juga masih suka ketemu Remia. Tapi memang belum sempat mampir ke rumah saja.”
            “Oh, sibuk kerja ya, Jun?” Kerja serabutan sih iya. “Mau ketemu Remia? Dia lagi ndak di rumah. Barusan diantar ke rumah sakit sama ayahnya.” Sambil mengikuti Bu Ningsih ke beranda dan duduk di kursi taman, ada yang janggal dari pernyataan beliau.
            “Ke rumah sakit? Remia sakit?”
            “Iya. Kumat lagi. Dan kayaknya jadi tambah parah.”
            Aku makin heran saat raut wajah Bu Ningsih berubah murung. Kepalanya tertunduk dan jemarinya memainkan ujung blus katunnya.
            “Tolong kuatkan dia, Jun. Ini pesan dari Ibu. Cuma kamu yang jadi penyemangatnya setiap hari. Dan ingatkan dia untuk selalu meminum obatnya.”
            Hah? Aku tidak mengerti maksud Bu Ningsih. Obat apa? Penyakit apa?
            “Kamu tahu cita-citanya, kan? Penulis besar dan produsen film. Dia mengkhawatirkan cita-citanya tidak sempat tercapai.”
            Dan Bu Ningsih sukses membuat rasa penasaranku memuncak. Kata-katanya seolah Remia akan mati besok.
            “Bu, Juna tidak...”
            “Aku pulaaaang...”
            Kalimatku terputus oleh teriakkan Remia yang baru saja pulang bersama ayahnya, Pak Lukmanto.
            “Juna. Kau di sini? Sedang apa?” Remia tampaknya tidak percaya melihatku berada di rumahnya.
            “Eh, ada Juna. Maaf, ya. Bukannya melarang untuk kalian berdua ketemu, tapi malam ini Remia harus istirahat total,” kata Pak Lukmanto.
            “Ayah, Rere baik-baik saja, kok.”
            “Kali ini tolong nurut sama Ayah, Re.”
            “Iya, kamu ikutin kata-kata Ayah,” kataku. Dan sebenarnya aku masih tidak paham dengan keadaan ini. Kemudian Remia dan keluarganya masuk setelah pamit denganku.
            Angin malam ini mampu mengibaskan pohon-pohon besar di sekitaran komplek. Pertanda hujan besar akan kembali mengguyur tengah malam nanti. Aku berjalan perlahan sambil meniti aspal yang kuinjak. Memikirkan yang dibicarakan Bu Ningsih tadi. Ada yang tidak beres. Dan aku tidak memungkiri bahwa aku sungguh-sungguh inngin tahu apa yang terjadi dengan Remia. Gadis hujanku.
            Langit hitam di atas kepalaku meneterskan bulir-bulir bening. Tak lama beberapa menit kemudian makin banyak dan gerimis datang tanpa diundang. Begitu juga Remia. Tiba-tiba ia sudah mensejajarkan langkahnya denganku.
            “Hai, Juna.” Gadis mungil itu menengadahkan kepalanya dan menarik ujung bibirnya membentuk senyuman manis.
            “Re? Kenapa di sini? Kenapa keluar? Bukannya kamu harus istirahat total seperti ayahmu bilang?” Aku menghentikan langkah.
            “Di dalam panas. Ssstt...Jangan beritahu mereka.”
            “Kabur? Sebentar lagi hujan, hey! Sekarang saja sudah gerimis.”
            “Untuk itulah aku keluar.”
            Aku melempar pandangan ke arah lain untuk berpikir: Remia memang menyukai hujan. Saat hujan sederas apapun ia rela keluar rumah untuk hujan-hujanan.
            “Kamu nggak berubah.”
            “Aku masih seperti yang dulu.”
            “Iya.” Apa itu juga termasuk cintamu padaku, Re? Aku cuma berani bertanya dalam hati.
            “Tadi mau apa datang ke rumah? Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan?”
            “Iya.”
            “Penting?”
            “Emmm...”
            “Tunggu.” Remia mengoreh saku celananya dan mengeluarkan dua buah gelang gelang dari manik-manik mahoni coklat. “Aku titip satu untuk Luna. Dan satu untukmu. Ini kubuat sendiri.”
            Aku menerima gelang itu. Masih dengan perasaan bingung dengan hari ini. Belum sempat aku berterimakasih, Remia berlari menuju belokan di depan. Secepat kilat ia berlari hingga aku tidak mampu menyusulnya. Kucoba mencari ke sudut blok, ke tiap belokan lain, dan sudut-sudut warung tetangga, hasilnya tetap tidak ada. Kemana dia? Malam itupun resmi diguyur hujan deras. Aku tidak berpikir untuk mencari tempat berteduh. Saat ini di otakku hanya Remia. Lari ke mana dia? Dan kenapa harus lari? Kali ini aku benar-benar mengkhawatirkannya. Gadis aneh! Dari dulu dia selalu membuatku penasaran dan berhasil menarik perhatianku seperti sekarang.
***
            Apa kataku, hujan mengingatkanku pada gadisku – aku lebih senang menyebutnya “gadisku” – hingga pagi ini yang dinginnya mencapai enam belas derajat selsius berkat hujan semalam yang berkepanjangan. Pertama kali kubuka mataku, wajah Remialah yang pertama kuingat. Semalam dia menghilang. Selama dua jam aku mencari hingga basah kuyup, tetapi wujudnya tidak kutemukan.
            Dan sekarang bertambahlah benda kenangan tentang Remia. Gelang mahoni coklat. Aku duduk di tepi ranjang, dengan tubuh melengkung ke depan dan meremas rambutku. Remia...Di mana kau? Apa yang terjadi denganmu? Dan kali ini aku sadar bahwa aku benar-benar mengkhawatirkannya, merindukannya, dan menginginkannya. Bukan karena dia telah mengantar Luna ke sekolah sambil hujan-hujanan, atau karena dia telah membayar uang sekolah Luna, atau karena semua kebaikan-kebaikannya selama empat tahun ini. Aku sendiri tidak tahu jelas alasannya. Tapi sekarang aku benar-benar menginginkannya. Seolah tidak peduli dengan alasan utamaku saat memutuskan untuk meninggalkannya.
            Tunggu. Tidak semudah itu. Rasa takutku masih mengendap. Takut akan Remia yang tidak menerima kekuranganku. Ck! Ini namanya perang batin.
***
            Hampir satu minggu aku sengaja mencari Remia. Tetapi tidak satupun tempat yang kukunjungi ada sosok Remia di sana. Bahkan orang tuanya tidak ada di rumah. Di rumah mereka hanya ada Bi Odah. Beliau juga tidak tahu kemana majikannya pergi. Lalu aku menitipkan pesan pada Bi Odah agar Remia segera menemuiku.
***
                        Berulang kali aku menyesap latte di dalam mug putih berlogo Star Bucks. Kepulnya cukup tebal dan menggelitik kala kuhadapkan wajahku di atasnya. Sesekali kulirik gadis di hadapanku. Tepat di bibirnya aku melihat noda latte. Dan tepat di bibirnya pula aku melihat segaris senyuman. Bukan senyum padaku. Tapi aku mengira senyuman itu memang untukku. Manis. Terlebih noda latte di sudut bibirnya yang membuat tanganku gatal untuk mengusapnya. Ck! Kau terjebak, Jun! Aku tak habis pikir mengapa Remia selalu memasang ekspresi seperti itu. Tersenyum. Matanya berbinar-binar seperti anak kecil.
Astaga! Aku menyerah.
            “Cepat minum latte-mu. Nanti kalau dingin tidak enak,” kataku memecah kesunyian diantara kami berdua.
            “Tidak usah terburu-buru. Aku masih ingin menikmati kepulannya sekali lagi. Wangi.” Remia menghirup kepul dari latte-nya. Ini salah satu keanehannya juga. Dulu waktu kami masih bersama – berhubungan dekat tanpa status – dia sering menghirup asap dari cangkir kopinya. Sekalipun itu kopi hitam. Ketika kopinya dingin, ia tak mau meminumnya dengan alasan sudah tidak seharum tadi saat masih panas. Jadi tidak berselera. Aneh benar.
            “Sekali lagi? Kau masih bisa menemukan latte besok-besok, kan?”
            “Mungkin iya, mungkin juga tidak.” Remia tersenyum lebar kepadaku dan membuat aku makin gemas. “Kau mau bicara apa? Tumben mengajakku bertemu. Ini kan sedang hujan deras sekali. Untungnya aku sedang tidak menjemur gorden atau seprei.”
            Justru karena sekarang sedang hujan, Re, aku mengajakmu bertemu. “Aku rindu kamu.”
            Ya! Aku berhasil mengeluarkan kalimat itu setelah empat tahun kutahan. Kalimat yang membuat dadaku sesak tiap malam, atau ketika hujan turun. Bukan hanya melirik, kini aku benar-benar menatap wajah Remia. Melihat bulat matanya yang makin membulat ketika aku mengucapkan kalimat maut tadi. Dia mengangkat wajahnya dari cangkir kopi dan beralih padaku. Bibirnya mengatup. Tidak berkata apa-apa.
            Sesaat kami berdua saling bungkam. Sepi kembali hadir diantara kami. Aku memajukan posisi dudukku dan memberanikan diri untuk mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Aku kembali berhasil menemukan sepasang bola matanya dengan jelas. Dan Remia tidak berkutik sama sekali. Ia malah balas menatapku. Dan seketika matanya penuh dengan air yang hampir tumpah. Remia menangis.
            “Hey, kau kenapa?” Aku mengernyitkan dahi. Bahkan saat menangispun ia masih terlihat manis dan cantik. “Karena kalimatku barusan?”
            Remia mengangguk pelan.
            Begitulah wanita. Mudah tersentuh dan menangis hanya dengan mendengar kata-kata manis dari seorang lelaki. Hati mereka terlalu lunak.
            “Kau masih ingat prinsipku, Re?”
            “Iya,” jawab Remia.
            “Kenapa kau melakukan ini?”
            “Melakukan apa? Menghirup kepulan kopi panas maksudnya?”
            “Kalau soal itu aku sudah mengerti. Kenapa kau sangat baik padaku? Kau sendiri tahu bahwa aku sering sengaja membuatmu kesal, marah, cemburu. Dan kau juga tahu kehidupanku seperti apa. Tidak beraturan.”
            “Aku mau tanya sesuatu.” Aku berdehem sebentar. “Kau masih mencintaiku?”
            Alih-alih menjawab, Remia menenggelamkan kepalanya menghadap cangkir kopi yang sekarang tidak lagi mengeluarkan kepulan.
            “Iya atau tidak? Jangan diam dan menunduk seperti itu. Jika sampai hitungan lima kau masih diam, aku anggap itu jawaban iya.” Aku mulai menghitung. “Satu...Dua...Tiga...Empat...”
            Remia mengangkat wajahnya. Aku pikir ia akan mengatakan sesuatu sebagai jawaban.
            “Lima.”
            Dan itu kuanggap jawabannya adalah “iya”.
            “Untuk menjawab itu kenapa kau memilih diam? Tidak berani mengatakannya secara langsung?” Rasa-rasanya aku seperti sedang mengintrograsi seorang tindak pidana.
            “Aku memang masih mencintaimu. Perasaanku masih sama seperti dulu ketika kita...”
            “Baik. Kau tahu aku tidak pernah membalas kebaikanmu, selalu mengabaikanmu, tidak pernah menganggapmu ada, bahkan terkadang ketus padamu. Tapi kenapa sampai empat tahun ini kau masih sanggup untuk bertahan dengan perasaanmu? Apa kau tidak merasa tersiksa, Re?”
            Selama aku menghujaninya dengan beberapa pertanyaan, Remia hanya sibuk mengaduk-aduk latte-nya. Aku sedikit tidak sabar. Maka kurebut cangkir miliknya agar ia bisa terfokus hanya padaku.
            “Jawab aku, Re. Tolong.” Dengan sadar aku tengah menggenggam kedua tangannya.
            “Aku tidak bisa menilai sebesar apa perasaan ini. Aku sendiri tidak mampu memahami semuanya, semua gejolak yang selalu muncul ketika membaca namamu, mendengar suaramu, dan malihat wajahmu. Aku tidak mengerti,” mata Remia mulai berkaca-kaca. Tapi ia tampak menahan sekuat mungkin air matanya agar tidak jatuh. Mungkin ia ingin terlihat kuat. Padahal aku tahu dia itu mudah menangis karena hatinya terlalu lembut. Kiranya seperti itulah tipe melankolis.
            “Aku senang bisa membantumu di sisa hidupku. Dan ketahuilah, aku tidak pernah menghiraukan kekuranganmu, hidupmu, dan segala yang kau takutkan aku bisa menerimanya atau tidak. Tapi jika kau tetap bersembunyi, tidak apa-apa. Beginipun aku sudah bahagia. Aku bisa tahu caranya mencintaimu,” Remia kini benar-benar menangis. “Dan aku bisa mengerti apa artinya ketulusan.”
            Kalimat Remia barusan sangat menyentuh. Baru kali ini aku terharu dengan kata-kata manis seperti itu. Gadis itu ternyata benar-benar menaruh perasaan yang begitu besar. “Lagi-lagi bicaramu seperti akan mati besok,” lalu aku melihat wajah Remia berubah pucat. Bibirnya yang semula terlihat segar, kini mengering dan memutih. “Kau sakit? Wajahmu pucat sekali.”
            Aku jadi teringat kejadian di rumahnya saat aku hendak menemuinya. Teringat pesan dari Bu Ningsih. Remia punya suatu penyakit, tapi aku belum tahu itu apa. Mendadak Remia beranjak dari kursinya dan berlalu meninggalkan kafe. Dan di detik itulah aku benar-benar berpikir.


        Aku mencintaimu, Re. Dan saat hujan, aku seperti makin tersiksa. Karena saat itulah semua tentangmu berputar dalam otak. Kerinduanku makin mengikat. Dan aku makin merasa bersalah.
          Re, maafkan aku yang membisu dan selalu bungkam. Kau gadis yang baik. Terlalu baik untuk aku yang bodoh. Aku menyadari cintamu yang begitu besar. Sekali lagi maafkan aku yang tidak pernah bisa membalas perasaanmu.
          Aku mencintaimu, Re. Dan kini aku putuskan untuk mengabaikan prinsip sialan itu. Sekarang aku memilihmu.
          Kau harus jadi milikku, Remia...
 

Juna... 


            Jika banyak orang menyatakan cintanya melalui SMS, BlackBerry Messanger, atau sosial media lainnya, aku memilih berkirim surat agar kesannya lebih romantis. Sepucuk surat yang kukirimkan pertama kali untuk seorang gadis semasa hidupku. Memang lucu.
            Surat itu kutitipkan pada Bu Ningsih ketika aku sengaja datang ke rumah Remia malam sabtu. Waktu itu beliau bilang Remia sedang check up di rumah sakit. Aku masih berpura-pura mengetahui penyakit anaknya. Dan sebelum pulang, aku juga titip pesan ke Bu Ningsih untuk Remia agar menemuiku besok.
***
            Diantara pohon cemara tua berlumut, cuma itu tempat bersandar dan bersembunyi dari gelegar petir yang tak punya hati. Bagaimana jika hujan terlanjur turun sebelum gadisku datang? Hujan jangan dulu turun. Rencana ini tidak boleh gagal.
            Mengantar Luna ke sekolah sambil hujan-hujanan, membiayai sekolah Luna, itu hanya sebagian kecil kebaikan yang Remia lakukan. Sejak kami bertemu lalu saling mengenal, ia selalu rela melakukan apapun demi aku. Ia bahkan pernah nekat kembali pulang ke rumah saat hujan deras demi mengambil laptop untukku. Saat di sekolah, aku meminjam laptopnya untuk mengerjakan laporan kegiatan OSIS yang deadline-nya sudah sangat mepet. Remia pulang mengendarai motornya, padahal waktu itu hujan sedang turun deras sekali dibarengi petir yang ganas.
            “Dorrr!”
            Tiba-tiba Remia sudah berdiri di hadapanku dengan mengagetkanku seperti anak taman kanak-kanak. Kulihat wajahnya berseri setelah pertemuan kemarin ia meneteskan air matanya dihadapanku pertama kali. Aku senang melihat ekspresi seperti itu, Re.
            “Mau mengagetkan aku? Sayangnya aku tidak kaget,” aku membuang muka.
            “Tidak. Aku hanya lupa namamu, jadi kupanggil saja ‘dor’,” kami berdua tertawa. Rasanya bahagia sekali.
            “Kau sudah baca suratku, Re?”
            “Sudah.”
            “Lalu?” Remia hanya tersenyum sambil memiringkan kepala yang membuatku makin gemas. “Jangan bertingkah seperti itu, aku tidak tahan dengan godaanmu. Ayo, peluk aku!”
            Ini pertama kali aku memeluk Remia. Tubuhnya tidak terlalu kurus atau gemuk. Tingginya hanya sampai bahuku. Aku menghirup wangi permen dari helai-helai rambutnya yang tertiup angin dan membuatku semakin mengeratkan pelukanku.
            “Sejak kapan kau bisa menyusun kata-kata seperti itu?”
            Pelukan kami belum terlepas.
            “Kenapa? Indah, bukan? Itu kubuat hanya dalam waktu sepuluh menit.”
            “Itu karena hatimu yang bicara. Pena hanya sebagai penyalurnya.”
            Remia melepaskan diri dan menatapku dengan matanya yang berbinar-binar. Lalu kami terduduk yang tanahnya sedikit miring ke bawah, bersandar di pohon cemara yang tua.
            Aku mulai berani menggenggam tangannya. Kuperhatikan tiap ruas jemari itu yang menghangat dan tampak pucat. Atau mungkin ia berlebihan dalam memakai pemutih kulit. Aku tidak tahu. Lantas Remia menyandarkan kepalanya di atas bahuku.
            “Kau tahu sesuatu, Juna?
            “Aku tahu. Kau mmencintaiku.”
            “Ini lain hal.”
            “Kau mencintai orang lain?”
            “Juna...” Remia mulai kesal.
            “Hahaha...Oke. Apa?”
            “Semua tulisan-tulisanku di blog hanya berkisah tentang kita. Tentang dirimu.”
            “Karena kau terlalu mencintai aku.”
            “Tidak juga.” Remia membenarkan duduknya dan tidak lagi bersandar dibahuku. “Karena ak tidak tahu harus menulis apa lagi.”
            “Tidak percaya. Kau hebat dalam menulis.”
            “Tidak apa-apa. Ini kau baca di rumah ya.” Remia menyerahkan selembar kertas yang katanya adalah balasan dari suratk kemarin.
            “Kenapa harus dibalas dengan surat lagi? Ngomong langsung kan bisa.”
            “Nyawa dibalas nyawa. Surat dibalas surat.”
            “Dan cinta dibalas cinta.” Aku menghadapkan wajahku pada Remia. Begitupun sebaliknya. Kami bertatapan cukup lama. Dan rinduku seperti terbayar lunas setelah akhirnya aku bisa menemukan apa yang aku ingin lihat.
            “Aku boleh minta sesuatu?”
            “Apapun. Tidak hanya satu.”
            “Cium aku untuk kali ini saja.”
            Mendengar permintaannya, aku sempat ragu untuk memenuhi itu. Tapi akhirnya kuberanikan diri untuk memperkecil jarak diantara kami. Tanganku menyusup kebelakang untuk meraih pinggangnya supaya lebih rapat. Perlahan kudekatkan wajahku dengan wajahnya. Semakin dekat hingga kami harus menahan napas. Aku menyentuh bibirnya yang sedikit pucat. Hanya sebatas menyentuh, aku langsung menjauhkan wajahku lagi untuk melihat ekspresinya. Kelopak matanya tertutup dan bibirnya masih terbuka. Sekali lagi, aku menciumnya. Kali ini sedikit lebih lama dan bergairah sebab Remia juga membalasnya.
            Aku terpaksa menghentikan semua itu untuk menghindari hal-hal yang tidak-tidak. Aku sedikit menarik diri dan meniup telinga Remia dengan sedikit sentakkan.
            “Geli!” Remia bergidik. Di bibirnya mengembang senyum manis yang malah mengundangku untuk menciumnya sekali lagi. Tapi itu berhasil kutahan.
            “Aku mencintaimu...” kataku sambil merapikan anak rambut di pipinya. Dan Remia kembali berhambur ke pelukkanku.
***


          Sulit untuk aku uraikan, Jun. Besarannya, gramasinya, volumenya, semua terlalu rumit untuk bisa dipahami. Aku hanya mampu mengisyaratkannya, tapi untuk mengungkapkannya selalu penuh keraguan.
          Cintaku sederhana. Tidak ada tuntutan yang harus kau penuhi. Bahkan akhir-akhir ini aku sangat bahagia bisa mencintaimu dari belakang.
        Mungkin besok aku sudah kembali ke hadapan Tuhan. Jangan lupakan kisah kita. Jika rindu, do’akan aku ketika hujan.
 
Remia...


            “Bu, mau kemana pagi-pagi begini?”
            “Remia kritis, Jun. Padahal semalam habis kemoterapi ketiga. Seharusnya makin membaik, tapi tadi dokter bilang keadaan Remia memburuk.” Bu Ningsih panik dan tidak kuasa menahan tangisnya. Aku luar biasa terkejut dan masih belum mengerti penyakit apa yang diidap Remia.
            “Saya ikut ke rumah sakit, Bu.”
            Aku yang duduk di belakang kemudi. Khawatir jika Bu Ningsih yang mengemudi karena emosionalnya sedang buruk.
            “Sebenarnya Remia sakit apa, Bu?” Aku memberanikan diri untuk bertanya dan tidak akan lagi berpura-pura tahu.
            “Jadi, kamu belum tahu, Jun?” Bu Ningsih mengelap pipinya yang basah. “Remia bilang kau sudah tahu semuanya.”
            “Kami sudah jarang sekali berkomunikasi sejak lulus SMA, Bu. Remia sakit apa?”
            Bu Ningsih terdiam dan melemparkan pandangannya ke luar jendela. “Kanker darah. Leukemia.”
***
            Selama lima jam belum juga kulihat matanya terbuka. Atau bagian tubuhnya manapun yang mengisyaratkan kesadaran. Hanya mesin kecil di sebelah tempat tidurnya yang menandakan masih ada kehidupan.
            Akhirnya dokter mempersilakan aku, Bu Ningsih dan Pak Lukmanto masuk ke kamar Remia. Sunyi. Orang tua Remia berjalan cepat ke arah Remia. Sedangkan aku merasakan kakiku lemas, terlalu payah untuk melihat kenyataan yang ada di hadapanku. Bu Ningsih dan Pak Lukmanto menangis hebat melihat anaknya terbaring tak berdaya. Sedangkan aku tidak tahu apakah aku bisa menangis? Andai ada yang lebih dari itu untuk mengisyaratkan kesedihanku.
            Di tepi tempat tidurnya, aku tidak melihat matanya, apalagi senyumnya. Tapi pipi itu masih bulat sempurna. Aku terkejut saat membelai kepalanya, di sela-sela jariku tersangkut banyak helai rambut Remia.
            “Itu efek kemonya,” kata Pak Lukmanto sambil mengusap mata.
            Aku menggenggam tangan kanannya. Lalu terasa telunjuknya bergerak. Aku sedikit lega.
            “Rere? Kamu sudah bangun, Nak? Ini ada Ayah, Ibu, dan Juna. Ayo bangun.
            “Re, kau bisa dengar aku?”
            Matanya perlahan terbuka sampai akhirnya benar-benar bisa melihat, lalu mengembangkan senyum termanisnya. “Ayah...Ibu...Dan kau di sini juga, Juna?”
            “Aku pikir hanya aku yang paling jahat. Ternyata kau juga sama jahatnya, tidak memberitahuku soal ini.”
            “Apa yang harus aku ceritakan? Dulu aku takut kau tidak akan menghiraukan aku.”
            Dan aku merasakan air mataku mengalir tanpa kutahan terlebih dahulu.
            “Bodoh!”
            Aku juga lebih bodoh karena kemarin tidak sempat menanyakan penyakitnya. Malah berpura-pura tahu di hadapan orang tuanya.
            “Aku senang kalian berkumpul di sini,” Remia tersenyum lagi. “Maafkan Rere, Bu. Maafkan Rere, Yah.”
            “Kamu bicara apa, Re?” kata Bu Ningsih.
            “Maafkan aku, Juna. Aku terlalu mencintaimu.”
            “Apa maksudmu? Lebih baik kau tidak bicara apa-apa,” kataku sambil mengeratkan genggamanku.
            “Aku lelah. Aku ingin pulang. Titipkan salamku untuk Luna. Aku sayang kalian.”
            Dan akhirnya monitor di samping Remia berdengung panjang.
***
            Tidak ada lagi mata dan pipi bulat, tidak ada lagi senyum dan bibir yang manis, tidak ada lagi hal yang sama seperti itu. Aku bodoh. Benar-benar bodoh. Apa yang kulakukan kemarin-kemarin? Begitu banyak membuat luka di hati Remia. Terlalu sibuk mengabaikan cinta yang tulus dari gadis semanis dia.
            Hujan mengiringi pemakaman Remia. Semua orang pulang kecuali aku. Hanya aku yang hidup di pemakaman. Tidak ada yang tahu bahwa aku menangis saat itu. Hujan. Lagi-lagi bercerita tentangmu. Membekaskan jejak kenangan yang mengundang rindu makin melonjak saat ia turun ke bumi. Aku bersyukur kemarin bisa menyentuhmu walau sejenak. Dan aku mengerti mengapa kau tiba-tiba memintaku untuk menciummu.
            Re, do’aku selalu ada di setiap bulir hujan.
            Kau abadi.