Rabu, 04 Desember 2013

Haunted



PROLOG

Khayalannya semakin jauh. Mulan merasakan otaknya sesak, oksigen tak bisa masuk karena penuh oleh imajinasinya yang hampir membeludak. Untunglah sekarang ia punya satu komputer pribadi dan satu laptop. Sebenarnya laptop itu adalah pemberian orang lain. Tepatnya hadiah. Tapi sekarang ia jarang menggunakannya. Atau tidak pernah.
       Mulan memainkan keyboard komputernya. Jari-jari panjang lentik itu sudah lihai dan hafal letak alphabet dan tanda baca meski letaknya berantakkan. Sesekali jari telunjuknya diletakkan diantara hidung dan mulutnya. Dan jari-jarinya yang lain menutupi bibirnya.
            Berfikir. Kata yang mana yang cocok untuk tulisannya.
Lalu ia melanjutkan.
            “Laaan…!” Sarah meneriakkinya dari balik pintu kamarnya.
          Sarah menjenguk dengan sekantong roti bakar coklat kacang. Ia dan Mulan biasa membelinya di kedai roti bakar Mas Brodin. Tempatnya hanya berjarak dua rumah dari rumah mereka.
            “Kali ini, apa project-mu?” Sarah mencuil sedikit roti bakar yang ia beli untuk Mulan.
            “Sekarang cuma menuliskan apa yang terpintas di otakku saja. Mereka berbeda-beda. Tapi mungkin nanti bisa dipadukan. Jadi akupun belum tahu bagaimana alurnya.”
            ”Otakmu penuh kata-kata. Macam kamus. Tapi tak bisa tersalurkan lewat mulutmu.”
            “Apa maksudmu?” Mulan menggigit roti bakarnya.
            “Kau masih tak bisa mengatakannya? Tentang kondisimu sekarang. Hati, jiwa, raga dan pikiranmu. Hahaha…”
            “Lebih tepatnya aku enggan.”
Sarah memutar bola matanya.
***

            Mulan merutuki musim penghujan kali ini. Genangan air di mana-mana. Ia menyayangkan kursi rodanya jika terbalut lumpur. Terpaksa harus mengeram di rumah. Dan kembali intim dengan komputernya.
            Notifikasi di akun facebook-nya muncul angka satu, yang menandakan ada satu pemberitahuan. Salah satu akun yang bernama Karima Widyasari mengirimkan pesan dinding untuknya. Dia sedikit tersentak dengan nama itu. Dibukanya pemberitahuan itu dan membacanya.

Halo, Mulan. Bagaimana kabarmu? Kau masih ingat aku? Pastinya kau ingat.
Ternyata kau sudah sukses dengan impianmu sebagai penulis. Aku sudah baca beberapa karyamu.
Aku suka.

            Mulan tersenyum samar membaca pesan dindingnya. Dan ia mengomentari.

Halo juga, Kar. Aku baik. Bagaimana denganmu?
Alhamdulillah..Aku juga senang aku bisa mewjudkan cita-citaku, Kar.
Terimakasih pujiannnya. Apa kau perlu tanda tanganku? Hehehe

              Beberapa menit tak ada balasan dari Karima. Dia sudah off line.
            Sesaat sebelum Mulan menutup akun facebook-nya, ada seseorang mengirim pesan di inbox-nya. Dari akun yang bernama Mr. Buf.

Nona, karyamu cantik. Aku mencintainya. Tapi tak juga sekedar karyamu. 
Karena aku menganggap semuanya indah. 
Teruslah melahirkan karya-karya cantikmu, Nona.

            Mulan tercengang melihat akun Mr. Buf. Siapa dia? Nama itu…Mengapa? Mulan yakin, ia tak pernah memberitahu siapapun tentang julukan Mr. Buf. Ya. Dia amat yakin. Lalu, bagaimana bisa ada orang yang menggunakan nama julukan yang sama? Satu hal lagi. Apa maksud pesannya? Terlebih kalimat “Tapi juga tak sekedar karyamu”.
            Pikirannya melayang sampai beberapa waktu kebelakang. Ia seperti tersedot dalam mesin waktu yang membawanya ke masa lalu. Mulan memejamkan mata. Semua gelap. Hanya ada satu cahaya. Raut wajah Mr. Buf.
            Mulan memaksa membuka dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Menutup akun facebook-nya. Dan memainkan game online. Cuma itu yang saat ini bisa mengalihkan pikirannya dari hal yang enggan untuk dipikirkan. Itu terlalu mengusik. Seolah kembali mengundang gejolak yang sudah padam sekarang ini. Rasa bersalah, kecewa, dan nafsu untuk menyalahkan. Untunglah ia berhasil menahannya agar tidak muncul.
            Jika tidak, ia harus kembali berperang batin dalam waktu yang lama. Dan itu bisa memakan semua kesenangannya. Meskipun ada secuil rindu, dan masih ada berkas-berkas harapan. Ah, semua begitu mengusik.
            “Laaan…Ada salah satu penggemarmu meminta untuk bertemu besok sore”, seru Sarah setengah berteriak dari luar kamar.
            “Siapa? Untuk apa? Bagaimana jika aku tidak mau?”
            “Datanglah. Dia masih anak-anak. Kasihan.” Mulan bingung.

Starbucks, 17 Desember 2017…

            “Menurutmu, apa yang salah dariku?”
            “Untuk apa kau bertanya seperti itu, Sar? Kau pasti punya salah”, Mulan menyesap moccachino sedikit-sedikit.
            “Sejak pasca wisuda tempo lalu, belum ada satupun panggilan pekerjaan yang menelepon”, Sarah mengaduk-aduk moccachino-nya tak berselera.
            “Oooh…Ayolah…Siapa yang ada di depanku sekarang ini? Kau seperti bukan Sarah. Sekarang kau terlihat buruk. Lemah. Tak bersemangat.”
          “Kau tahu apa yang aku lakukan setiap hari di rumah. Tidak ada yang menarik. Aku ingin cepat-cepat bekerja, Lan.”
            Mulan mengangkat kepala Sarah dengan paksa. Mmebuat Sarah meringis.
            “Hey! Tak ada yang lebih indah daripada buah kesabaran!” Mulan mengacak-acak rambut Sarah.
            Sarah melihat orang yang membuat janji dengan mereka sudah tiba. Ia ada di belakang punggung Mulan.
            “Permisi kakak-kakak cantik”, sapa orang itu
            Mulan menoleh ke belakang. Matanya sedikit menyipit. Mengingat-ingat siapa anak remaja itu. Wajahnya sedikit familiar.
            “Halo, adik. Kau Rena, bukan?” tanya Sarah.
            “Iya, kak. Boleh aku duduk?” kata anak remaja itu sambil tersenyum manis.
            “Pastinya dong.”
            Setelah dipastikan duduknya nyaman, anak itu memperkenalkan diri. “Hai, Kak Mulan. Aku Rena.”
            “Oh, iya. Aku Mulan”, ia membalasnya, masih menebak-nebak.
            Hampir ia mengingatnya. Pipi tembem itu, matanya yang sipit. “Kau jago menari tradisional?”
            Sarah bingung, mengapa Mulan menanyakan hal itu.
            “Tentu. Kakak masih saja tidak ingat aku? Memang sih, kita hanya beberapa kali bertemu. Ini novelnya, kak. Tolong tanda tangannya ya. Aku mohon. Tuliskan juga nama kakak”, Rena menyodorkan novel karangan Mulan yang terbaru.
            Dengan pikiran yang masih mencari sosok Rena dalam memorinya, Mulan membuat corat-coret yang ia sebut tanda tangan, serta nama penanya, Mulan Karenina.
            “Terimakasih, Kak Mulan. Oh iya, ada salam dari kakakku”, Rena berdiri dan pamit pulang.

Bandung, 18 Desember 2017…

            Beberapa hari ini Mulan merasakan kejanggalan. Ia seperti masuk dalam distorsi waktu yang tak asing. Tapi apa? Rena. Penggemar kecilnya. Wajahnya sangat ia kenal. Tapi Mulan masih belum tahu siapa dia. Ia kemarin bertanya pada Rena, apa kau jago menari? Ia pun heran. Mengapa ia menanyakan hal itu? Terlebih saat Rena menyampaikan salam dari kakaknya. Mungkin untuk orang lain itu biasa. Tapi bagi Mulan, tentang Rena dan kakaknya. Ini semacam puzzle.
            Mulan membuka akun facebook-nya. Ada pesan dari Mr. Buf, lagi. Ia dekatkan kursi rodanya sedikit mendekat ke monitor.

Nona cantik…Parasmu layaknya bidadari. Kau cantik. Kau pintar.
Bisakah kita bertemu? Kau punya tugas mencoret-coret namamu dibeberapa bukuku.
Desember 20, pukul empat sore di Stasiun Bandung.

Mulan membalas:

Pujianmu berlebihan. Tapi, terimakasih. Okey, saya akan siapkan banyak pulpen.

         Semua masih tampak absurd. Tapi keadaan ini tampaknya membuat Mulan melihat bayangan beberapa tahun lalu. Di masa-masa SMAnya. Masa ketika ia hampir melebur dalam gelap.
               Ketika api hampir sukses membakar impiannya. Ketika ia harus menunggu, mengerang, mengemis, dan mengikhlaskan.
            Apa di depan akan ada cerita yang sama? Atau cerita itu kelanjutan dari yang lalu? Yang menggantung tanpa akhir, karena kita, atau mungkin kau. Menelantarkan cerita ini tanpa jejak. Tanpa sebab. Jangan salahkan. Ku mohon jangan salahkan aku.
              Jujur.
              Aku terhantui.
         Mulan menulisnya di dalam Microsoft Word. Pandangnya kosong ke depan monitor. Kepalanya sedikit miring ke kanan. Menerawang cahaya monitor yang tersirat gurat-gurat kisah yang dikata kelam olehnya.

Bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar