PROLOG
Khayalannya semakin
jauh. Mulan merasakan otaknya sesak, oksigen tak bisa masuk karena penuh oleh imajinasinya
yang hampir membeludak. Untunglah sekarang ia punya satu komputer pribadi dan
satu laptop. Sebenarnya laptop itu adalah pemberian orang lain. Tepatnya
hadiah. Tapi sekarang ia jarang menggunakannya. Atau tidak pernah.
Mulan
memainkan keyboard komputernya.
Jari-jari panjang lentik itu sudah lihai dan hafal letak alphabet dan tanda
baca meski letaknya berantakkan. Sesekali jari telunjuknya diletakkan diantara
hidung dan mulutnya. Dan jari-jarinya yang lain menutupi bibirnya.
Berfikir.
Kata yang mana yang cocok untuk tulisannya.
Lalu
ia melanjutkan.
“Laaan…!”
Sarah meneriakkinya dari balik pintu kamarnya.
Sarah
menjenguk dengan sekantong roti bakar coklat kacang. Ia dan Mulan biasa
membelinya di kedai roti bakar Mas Brodin. Tempatnya hanya berjarak dua rumah
dari rumah mereka.
“Kali
ini, apa project-mu?” Sarah mencuil
sedikit roti bakar yang ia beli untuk Mulan.
“Sekarang
cuma menuliskan apa yang terpintas di otakku saja. Mereka berbeda-beda. Tapi
mungkin nanti bisa dipadukan. Jadi akupun belum tahu bagaimana alurnya.”
”Otakmu
penuh kata-kata. Macam kamus. Tapi tak bisa tersalurkan lewat mulutmu.”
“Apa
maksudmu?” Mulan menggigit roti bakarnya.
“Kau
masih tak bisa mengatakannya? Tentang kondisimu sekarang. Hati, jiwa, raga dan
pikiranmu. Hahaha…”
“Lebih
tepatnya aku enggan.”
Sarah memutar bola
matanya.
***
Mulan
merutuki musim penghujan kali ini. Genangan air di mana-mana. Ia menyayangkan
kursi rodanya jika terbalut lumpur. Terpaksa harus mengeram di rumah. Dan
kembali intim dengan komputernya.
Notifikasi
di akun facebook-nya muncul angka
satu, yang menandakan ada satu pemberitahuan. Salah satu akun yang bernama Karima
Widyasari mengirimkan pesan dinding untuknya. Dia sedikit tersentak dengan nama
itu. Dibukanya pemberitahuan itu dan membacanya.
Halo,
Mulan. Bagaimana kabarmu? Kau masih ingat aku? Pastinya kau ingat.
Ternyata
kau sudah sukses dengan impianmu sebagai penulis. Aku sudah baca beberapa
karyamu.
Aku
suka.
Mulan
tersenyum samar membaca pesan dindingnya. Dan ia mengomentari.
Halo juga, Kar. Aku baik. Bagaimana
denganmu?
Alhamdulillah..Aku juga senang aku bisa
mewjudkan cita-citaku, Kar.
Terimakasih pujiannnya. Apa kau perlu
tanda tanganku? Hehehe
Beberapa
menit tak ada balasan dari Karima. Dia sudah off line.
Sesaat
sebelum Mulan menutup akun facebook-nya,
ada seseorang mengirim pesan di inbox-nya.
Dari akun yang bernama Mr. Buf.
Karena aku menganggap semuanya indah.
Teruslah melahirkan karya-karya cantikmu, Nona.
Mulan
tercengang melihat akun Mr. Buf. Siapa
dia? Nama itu…Mengapa? Mulan yakin, ia tak pernah memberitahu siapapun
tentang julukan Mr. Buf. Ya. Dia amat yakin. Lalu, bagaimana bisa ada orang
yang menggunakan nama julukan yang sama? Satu hal lagi. Apa maksud pesannya?
Terlebih kalimat “Tapi juga tak sekedar
karyamu”.
Pikirannya
melayang sampai beberapa waktu kebelakang. Ia seperti tersedot dalam mesin
waktu yang membawanya ke masa lalu. Mulan memejamkan mata. Semua gelap. Hanya
ada satu cahaya. Raut wajah Mr. Buf.
Mulan
memaksa membuka dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Menutup akun facebook-nya. Dan memainkan game online. Cuma itu yang saat ini bisa
mengalihkan pikirannya dari hal yang enggan untuk dipikirkan. Itu terlalu
mengusik. Seolah kembali mengundang gejolak yang sudah padam sekarang ini. Rasa
bersalah, kecewa, dan nafsu untuk menyalahkan. Untunglah ia berhasil menahannya
agar tidak muncul.
Jika
tidak, ia harus kembali berperang batin dalam waktu yang lama. Dan itu bisa
memakan semua kesenangannya. Meskipun ada secuil rindu, dan masih ada
berkas-berkas harapan. Ah, semua begitu mengusik.
“Laaan…Ada
salah satu penggemarmu meminta untuk bertemu besok sore”, seru Sarah setengah
berteriak dari luar kamar.
“Siapa?
Untuk apa? Bagaimana jika aku tidak mau?”
“Datanglah.
Dia masih anak-anak. Kasihan.” Mulan bingung.
Starbucks,
17 Desember 2017…
“Menurutmu,
apa yang salah dariku?”
“Untuk
apa kau bertanya seperti itu, Sar? Kau pasti punya salah”, Mulan menyesap moccachino sedikit-sedikit.
“Sejak
pasca wisuda tempo lalu, belum ada satupun panggilan pekerjaan yang menelepon”,
Sarah mengaduk-aduk moccachino-nya
tak berselera.
“Oooh…Ayolah…Siapa
yang ada di depanku sekarang ini? Kau seperti bukan Sarah. Sekarang kau
terlihat buruk. Lemah. Tak bersemangat.”
“Kau
tahu apa yang aku lakukan setiap hari di rumah. Tidak ada yang menarik. Aku
ingin cepat-cepat bekerja, Lan.”
Mulan
mengangkat kepala Sarah dengan paksa. Mmebuat Sarah meringis.
“Hey!
Tak ada yang lebih indah daripada buah kesabaran!” Mulan mengacak-acak rambut
Sarah.
Sarah
melihat orang yang membuat janji dengan mereka sudah tiba. Ia ada di belakang
punggung Mulan.
“Permisi
kakak-kakak cantik”, sapa orang itu
Mulan
menoleh ke belakang. Matanya sedikit menyipit. Mengingat-ingat siapa anak
remaja itu. Wajahnya sedikit familiar.
“Halo,
adik. Kau Rena, bukan?” tanya Sarah.
“Iya,
kak. Boleh aku duduk?” kata anak remaja itu sambil tersenyum manis.
“Pastinya
dong.”
Setelah
dipastikan duduknya nyaman, anak itu memperkenalkan diri. “Hai, Kak Mulan. Aku
Rena.”
“Oh,
iya. Aku Mulan”, ia membalasnya, masih menebak-nebak.
Hampir
ia mengingatnya. Pipi tembem itu, matanya yang sipit. “Kau jago menari
tradisional?”
Sarah
bingung, mengapa Mulan menanyakan hal itu.
“Tentu.
Kakak masih saja tidak ingat aku? Memang sih, kita hanya beberapa kali bertemu.
Ini novelnya, kak. Tolong tanda tangannya ya. Aku mohon. Tuliskan juga nama
kakak”, Rena menyodorkan novel karangan Mulan yang terbaru.
Dengan pikiran yang masih mencari sosok Rena dalam memorinya, Mulan membuat corat-coret yang ia sebut tanda tangan, serta nama penanya, Mulan Karenina.
Dengan pikiran yang masih mencari sosok Rena dalam memorinya, Mulan membuat corat-coret yang ia sebut tanda tangan, serta nama penanya, Mulan Karenina.
“Terimakasih,
Kak Mulan. Oh iya, ada salam dari kakakku”, Rena berdiri dan pamit pulang.
Bandung, 18 Desember
2017…
Beberapa
hari ini Mulan merasakan kejanggalan. Ia seperti masuk dalam distorsi waktu
yang tak asing. Tapi apa? Rena. Penggemar kecilnya. Wajahnya sangat ia kenal.
Tapi Mulan masih belum tahu siapa dia. Ia kemarin bertanya pada Rena, apa kau jago menari? Ia pun heran.
Mengapa ia menanyakan hal itu? Terlebih saat Rena menyampaikan salam dari
kakaknya. Mungkin untuk orang lain itu biasa. Tapi bagi Mulan, tentang Rena dan
kakaknya. Ini semacam puzzle.
Mulan
membuka akun facebook-nya. Ada pesan
dari Mr. Buf, lagi. Ia dekatkan kursi rodanya sedikit mendekat ke monitor.
Nona cantik…Parasmu layaknya bidadari.
Kau cantik. Kau pintar.
Bisakah kita bertemu? Kau punya tugas
mencoret-coret namamu dibeberapa bukuku.
Desember 20, pukul empat sore di Stasiun Bandung.
Desember 20, pukul empat sore di Stasiun Bandung.
Mulan membalas:
Pujianmu berlebihan. Tapi, terimakasih.
Okey, saya akan siapkan banyak pulpen.
Semua
masih tampak absurd. Tapi keadaan ini tampaknya membuat Mulan melihat bayangan
beberapa tahun lalu. Di masa-masa SMAnya. Masa ketika ia hampir melebur dalam
gelap.
Ketika
api hampir sukses membakar impiannya. Ketika ia harus menunggu, mengerang,
mengemis, dan mengikhlaskan.
Apa di depan akan ada cerita yang sama? Atau
cerita itu kelanjutan dari yang lalu? Yang menggantung tanpa akhir, karena
kita, atau mungkin kau. Menelantarkan cerita ini tanpa jejak. Tanpa sebab.
Jangan salahkan. Ku mohon jangan salahkan aku.
Jujur.
Aku terhantui.
Mulan
menulisnya di dalam Microsoft Word. Pandangnya kosong ke depan monitor.
Kepalanya sedikit miring ke kanan. Menerawang cahaya monitor yang tersirat
gurat-gurat kisah yang dikata kelam olehnya.
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar