Aku
nggak tahu mau menulis apa. Tapi malam ini aku benar-benar ingin menulis! Kayak
semacam habis dapat uang dan ingin langsung dibagi-bagi. Hehe.
Aku
punya banyak banget teman. Saking banyaknya, suka bingung mau main sama teman
yang mana. Dan, kadang diantara mereka ada yang sampai marah karena nggak
diajak main. Ya sialnya aku main pas dia lagi PMS kayaknya. Serius. Kalau bisa
aku ingin ajak mereka semua main bareng. Tapi buatku pribadi, main dengan lebih
dari satu komunitas itu susah! Aku belum tentu bisa membagi diri aku sendiri
diantara dua komunitas itu. Belum tentu juga mereka saling cocok satu sama
lain. Jadi ya mainnya dibagi-bagi waktu dan tempatnya, dan aku yang paling
tekor. Tapi aku suka mereka semua, nggak ada yang diistimewakan. Mereka
orang-orang baik dan bisa menyesuaikan dengan kepribadianku. Terimakasih
semuanya…..! Dan, aku bersyukur banget punya mereka.
Punya
banyak teman nggak menutup kemungkinan untuk punya masalah juga ya. Beberapa
kali lah, kalau aku pribadi, cekcok besar dengan beberapa orang. Sisanya nggak
pernah tengkar sama sekali. Nggak heran juga seumuranku begini lagi
panas-panasnya kepala dan hati. Proses pendewasaan kali ya.
Arti
teman buatku adalah dia yang merasa bosan dan lelah karena terlalu sering
menasihati. Dia yang hapal betul gelagat dan alur pemikiranku. Dia yang bisa
membuatku betah berhari-hari. Dia yang bisa menjadikan dirinya tujuan untuk aku
menghilangkan rasa sepi. Dia yang tidak harus selalu ada, tapi selalu memahami.
Dia pengusir gulana dan kesedihan, walaupun tidak bisa mengucapkan kata-kata
mutiara.
Suatu
hari aku mengalami kontradiksi yang cukup hebat. Di situ aku diuji bagaimana
caraku menghargai teman, bagaimana caraku memaknai kehadiran mereka, dan
bagaimana caraku memposisikan diri di samping mereka. Proses berpikir di sana memakan
waktu panjang. Bermula dari zona nyaman, sebuah komunitas yang menyenangkan dan
hubungan yang begitu indah. Aku mencintai mereka, dan mereka pun mencintai aku.
Betapa bersyukurnya aku sampai saat ini, walaupun kami retak pada akhirnya.
Sungguh,
kami murni berteman. Cuma cinta persahabatan, bukan cinta yang lain. Hanya saja
kedekatan kami memang memiliki gradasi warna yang berbeda. Tergantung dari
berapa lama satu sama lain berkenalan lebih dulu. Kemudian waktu berperan
banyak dan berpihak penuh pada kami, hingga aku dan mereka menjadi tak terpisahkan.
Aku yakin mereka juga sadar soal ini, nggak bisa dipungkiri.
Aku
sering merasa bahwa aku cukup hebat dalam mengendalikan emosi. Itu pun dibantu
teman-temanku yang selalu bilang: “udah, cuekin aja”. Dan, itu memang
berpengaruh banget. Tapi hari itu aku nggak bisa tahan semua emosi yang
dipendam berbulan-bulan. Alasannya, ada kabar yang nggak mengenakan untuk di
dengar. Kabar tentang diri aku sendiri dari orang lain. Kemudian tangisku pecah
dan sialnya teman-temanku selalu tahu kalau ada yang tidak beres dari diri aku.
Aku terdesak dan semua terbongkar.
Untuk
mengetahui kebenaran tidak cukup dengan dua mata dan dua telinga. Kemudian aku
terngiang dengan ketidak-setujuanku sendiri pada statement: don’t judge book by the cover. Iya, dari dulu aku nggak pernah
setuju sama kalimat itu. Kenapa? Karena sampul luar buatku adalah jaminan atas
isi bukunya. Dan, aku sadar bahwa aku ada di posisi yang tidak disetujui oleh
diriku sendiri.
Aku
lebih dekat dengan satu orang teman laki-laki. Dan ini adalah sampulnya. Isinya,
nggak lebih dari persahabatan. Jika aku ingin orang lain melihat isi yang
sesungguhnya, maka aku harus memainkan sampul itu sesuai dengan isinya. Jadi,
aku nggak semestinya terlalu lengket dengan temanku itu. Salahku, menjadikan
persamaan aku dan dia sebagai satu-satunya alasan. Kami memang sangat mirip. Salahku,
nggak bisa percaya dengan teman yang lain untuk tahu cerita-cerita burukku. Salahku
lagi, nggak ada keinginan untuk keluar dari zona nyaman itu.
Tapi
aku pernah bertanya, “apa ini akan baik-baik saja, kalau kita berteman seperti
ini?” Dia menjawab, “santai saja”. Dan, kami pun tetap tidak berjarak. Kemudian
lama-kelamaan aku mulai membuka diri dengan yang lain, dengan menjadikan
teman-teman selain dia sebagai partner
hidup aku. Jadilah kami komunitas yang menyenangkan yang kusebut tadi. Akibat
dari kenyamanan ini membuat kami semua terlena. Sampai pada hari itu yang
menjadi peristiwa kelam buatku. Sedih, marah, kesal, dan muak.
Aku
bersikeras menyatakan bahwa kami murni berteman. Teman-temanku yang lain,
syukurnya, percaya dengan hubungan kami. Tidak ada hal aneh, semua normal atas
apa yang aku lakukan. Mereka yakin bahwa aku nggak ada niat sama sekali untuk ‘mencuri’
siapapun. Konyol sih. Tapi, lagi-lagi aku berkaca dan melihat posisi diriku
dalam titik yang tidak kusetujui sendiri.
Aku
mengalami beberapa keretakan setelahnya. Ya Tuhan, aku berani bersumpah bahwa
keretakan ini sangat menyedihkan! Renggang dengan temanku yang lain. Kami berjarak.
Seperti kakiku tetap maju dan ingin mengabaikan semuanya, sementara dia mundur
perlahan. Menjauh. Bicara sekadarnya. Mungkin faktor keras hati dalam diriku
sendiri karena saking ingin membuktikan bahwa aku dan teman laki-lakiku itu
tidak ada apa-apa. Iya, hatiku menjadi keras setelahnya. Terhadap apapun yang
tidak sesuai dengan teori-teori yang kupelajari.
Kemudian
aku masih membiarkan diriku menikmati proses berpikir yang melelahkan ini. Apa saja
yang sudah kulakukan, apa saja dampaknya, dan bagaimana kira-kira penilaian
orang lain.
Temanku,
jika keretakan pertemananku dengan mereka membuatmu merasa lebih baik, aku akan
membiarkannya. Tidak ada obat, tidak ada perekat. Mungkin aku dan teman
laki-laki itu—atau kekasihmu, akan lebih baik jika berjarak lebih cepat. Meskipun
rencananya aku baru akan menjauh setelah lulus nanti. Tapi, aku minta sesuatu
darimu. Tolong berpikir lebih jernih lagi tentang apa yang sudah dan akan kamu
lakukan. Semua akan menjadikanmu lebih ringan.
Sedih.
Sesak. Temanku yang lain juga sama. Tapi, mereka sedih lebih parah. Sebab ereka
tidak tahu apa-apa. Sementara aku telah tahu satu hal kebenaran yang
sebenar-benarnya, dan aku mulai memahamimu lebih jauh.
Aku
mundur dari dunia yang berkaitan denganmu. Maafkan aku untuk kesekian kalinya.
0 komentar:
Posting Komentar