Bercermin ia pilu sendiri. Bercerita ia lebih terhina.
Semesta menyiratkan suara Tuhan; marah dalam kewibawaan. Menghukum keputusan
yang salah—hukum alam.
Cangkir teh miliknya kosong setiap pagi. Hampa dalam satu
semester. Terbakar ambisinya sendiri atas nama perasaan. Dan, pada masa ini
bisu serta pilunya juga mengatasnamakan perasaan.
Ia menilai dosanya. Sementara Tuhan telah memaafkan, hanya ia
tidak mendengar. Akibat asa yang putus buatnya membiarkan diri tertutup
terhadap apapun yang menyinggung. Ia perlu diskusi dengan Tuhan. Dia
sebaik-baiknya kawan untuk bernegosiasi, menerima jaminan apapun yang bisa
membayar kekeliruan tempo hari. Tapi, walaupun Tuhan lebih bisa menjamin apa
yang akan ia lakukan di masa depan, Tuhan Maha Pemaaf.
“Semoga kamu tidak merasakan ini juga”, katanya padaku suatu
pagi. Kuputar ulang waktu kapan kami berkenalan sampai tiba kesedihannya. Hatiku bergerak takjub. Semua berjalan dengan sebab dan akibat yang berdampingan.
Ia belajar, kami belajar, Tuhan mengajari. Maha Suci Allah atas segala apa yang
terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar