Kamis, 01 Oktober 2015

Adam Yang Terakhir

Source: www.hipwee.com


     Aku mencintainya bukan berdasar pada rasa kasihan. Meski Adam sempat menuduhku demikian, apapun caranya kulakukan untuk membuktikan bahwa aku punya rasa ikhlas dan tulus. Kupikir sampai detik ini ia telah percaya dengan segala upayaku meyakinkannya. Tiap selasa sampai kamis, saat malam, ia selalu datang ke rumah untuk sekadar menemaniku mengecat kanvas di studio pribadiku. Kami bercerita, tertawa, kadang juga bercinta. Hingga saat aku mencium bibirnya, kuharap ia bisa merasakan ketulusan yang kupunya.
     Setiap minggu pagi ia rajin membawakanku panekuk untuk di makan berdua. Di atas meja makan yang sama, dengan isi piring yang sama, aku bisa merasakan ia memperhatikanku sejak duduk di seberangku. Aku menyirami dua lembar panekuk yang bertumpuk dengan saus stoberi—favoritku. ‘Mau juga?’ kataku sambil mengacungkan botol saus. Adam mengangguk, diikuti dengan tanganku yang bergoyang di atas panekuk miliknya. ‘Kenapa kau ini?’ tanyaku. ‘Kenapa apanya?’ Aku memutar bola mata karena Adam malah balik bertanya.
     Sampai panekuk itu habis, Adam tidak berkata apa-apa lagi. Ia pun tidak memperhatikanku atau bahkan melirik ke depan barang sekejap. Giliran aku yang memperhatikannya mengelap sudut-sudut bibirnya yang sedikit berlumur saus stoberi. ‘Jehan, berhenti menatapku seperti itu.’ Akhirnya Adam mau membuka mulutnya. Kurasa, ia tidak pernah mempermasalahkan berbicara saat makan. Kadang kami tertawa terbahak-bahan saat makan panekuk yang sama, sampai salah satu diantara kami tersedak lalu berhenti makan. Tapi minggu pagi kali ini Adam tampak lain.
‘Tidak ada yang ingin kau katakan padaku?’
     Adam kembali menatapku—lebih dalam. Ia beranjak dan memutari meja makan. Berlutut di depanku yang masih memperhatikan gerak-geriknya di atas kursi. Adam mengecup bibirku.
Tidak. Dia melumatnya dengan serakah. Makin memburu dan menuntut sambil menggiringku ke kamar dengan gemetaran. Aku tidak mengerti dengan apa yang sedang dipikirkannya, hingga aku dikalahkan oleh napsunya.
***
     Sekali lagi, Adam mengecup keningku dengan lembut. Sampai pada detik itu, aku belum menemukan alasan di balik kenikmatan yang terkesan tiba-tiba. Aku tidak bertanya pada Tuhan. Memang kuakui dalam keadaan seperti itu jarang sekali mengingat-Nya. Aku lupa dengan segala hal termasuk perubahan Adam sejak tadi pagi. Dia keluar, mungkin pergi ke toilet di samping kamar. Aku masih terbaring menghadap chandelier yang menggantung di langit-langit. Dan, entah kenapa mendadak aku ingat Tuhan. Lalu aku berbisik dalam hati, ‘I love him, God.’
     Kaus yang tadi kutanggalkan terlempar tidak jauh dari ranjang. Aku kembali ke meja makan. Menunggu Adam keluar dari toilet. Lalu, aku sadar ada sebuah amplop cokelat ukuran F4 di ujung meja. Tidak ada tulisan apapun di amplop itu. Seingatku tidak ada amplop di meja saat aku dan Adam sarapan panekuk, aku mencari isinya karena penasaran. Dan, kemudian tanganku menemukan benda agak keras saat merogoh ke dalamnya.
     Entah terbuat dari apa, kutahu itu sebuah undangan. Bentuknya persegi sama sisi, sekitar lima belas kali lima belas. Berwarna dasar magenta dan terdapat ukiran nama berwarna emas; Adam dan Grace.
***
     “Jehan, Sayangku. Kau boleh membenciku setelah ini. But, in fact, i’ve left you. Kau juga boleh tidak datang pada pernikahanku minggu depan. Untuk alasannya, ini menyangkut keluargaku. Tentang Grace, dia berasal dari keluarga konglomerat. Hampir setengah hartanya akan jadi milikku. Bisa kuberikan untuk orang tuaku—setidaknya begitulah isi dalam surat perjanjian keluargaku dan keluarganya. Orang tuaku butuh uang, dan kau tahu papaku tidak pernah setuju dengan hubungan kita. Dia tidak mengharapkan seorang pengecat kanvas yang belum pernah tembus pameran berskala nasional sekalipun. Aku tahu, aku tak pantas berkata ini mengingat aku lebih miskin darimu, Sayang. Dan, kau pun selalu meyakinkanku bahwa kau punya rasa ikhlas dan tulus. Kuharap kau membenciku atas ucapanku ini. Karena dengan begitu kau bisa benar-benar melepaskan aku. Lupakan saja apa yang telah kita lakukan, terutama hal yang baru saja terjadi tadi pagi.
Aku Adam Reksa. Yang telah berakhir di atas ranjang bersamamu. Lelaki yang—pernah—mencintaimu. Selamat tinggal, Jehan.”
     Tulisan tangannya memang selalu rapi. Kuduga Adam telah mempersiapkan surat ini jauh-jauh hari. Apakah ia tahu kalau tanganku akan gemetar saat membacanya? Tidak hanya itu, dia harusnya tahu reaksi apa yang akan terjadi setelah suratnya sampai padaku. Selama ini tidak pernah terlihat tidak baik-baik saja. Hatiku juga tidak pernah disergap kekhawatiran akan kehilangan Adam. Hari-hariku, akhir pekanku, selalu berjalan dengan baik tanpa terlihat gelagat akan dilupakan—atau sebutan kasarnya adalah dicampakkan—dengan ritual perpisahan semacam ini.
     Memang aku hanyalah pengecat kanvas yang belum punya nilai jual tinggi. Papanya benar, atau mungkin Adam juga berpikir demikian. Siapalah aku ini? Meskipun punya studio melukis pribadi, tetap saja kanvas-kanvas bergambar yang berjejer di dalamnya belum pernah ada yang bisa kupamerkan di segala macam exhibition. Lukisanku tidak berkelas, tidak ada nilai apapun. Begitukah yang kau dan papamu pikirkan, Adam?
     Kukira, mungkin ketulusan tidaklah cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan. Materi pun ikut berperan sebagai komposisi. Ya, memangnya siapa yang butuh cinta? Sampai mati sekalipun, lagi-lagi materi dan kelas sosial lebih penting untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam sebuah hubungan. Anak cucu manusia selanjutnya tidak akan mengenal apa itu cinta—dalam konteks yang sejati dan abadi. Semesta perlahan menenggelamkan moral dan kebajikkan, lalu seiring bergantinya waktu, ia mengenalkan kembali paham-paham Marxis, Leninisme, sampai Machiavelli untuk menghalalkan segala cara. Manusia akan lebih agresif dalam mengejar kelas tertinggi dan kembali terbelah antara borjuis dan proletar. Tidak tahu apa itu kasihan, apa itu kasih sayang, apa itu ketulusan. Zaman akan membuat manusia baru lupa dengan apa yang benar-benar kekal dan abadi.
     Tuhan. Aku jadi lebih sering mengingat Penciptaku di saat aku melihat Adam yang terakhir. Mungkin aku tidak akan lagi melihat Adam selamanya. Percuma jika mulutku mengucap serapah, atau mengisolasi diri dan memilih berlipat kaki di dalam kamar. Dia tidak akan kembali. Oh, aku baru sadar bahwa aku adalah seorang pengecat kanvas yang jarang sekali mengingat apalagi patuh pada penciptanya.
     Aku menangis. Aku membatu.

0 komentar:

Posting Komentar