Partikel Gayo
Joy hafal betul pesananku. Ketika aku datang dia sudah melempar senyum dan menghampiri mejaku. Entah kenapa aku menyukai senyumnya. Joy cantik walaupun badannya agak gemuk. Bahkan ia sampai tidak memakai celemeknya dengan alasan talinya kurang panjang sehingga tidak bisa terikat di pinggangnya.
“Kali ini roti gandum dambaanmu ready, Gris. Kalau sepuluh menit lagi kau tidak datang, kau kehilangan kesempatan lagi.”
“Sayang sekali, Joy. Kali ini aku sedang tidak ingin makan roti gandum.”
“Hm,” Joy mendengus. “Giliran ada barang, selera menghilang. Baiklah, satu Affogato akan segera datang.” Joy buru-buru menjauh dari mejaku. Tapi, kemudian tanganku keburu mencegahnya.
“Tunggu dulu. Aku mau pesan beberapa. Nanti kupanggil kau, ya.”
Joy tersenyum dengan berkerut dahi. Kebingungan. “Oke.”
Aku melirik ke luar. Rendra sudah selesai memarkirkan motornya. Dia tidak tahu kalau aku sedang memperhatikan caranya berjalan. Masih sama dengan beberapa bulan yang lalu. Gaya berpakaiannya pun tidak berubah. Tapi, caranya menyisir rambut sepertinya telah berevolusi. Belah samping dan disisir ke belakang. Sedikit mengkilap berkat gel yang dipolesnya. Tidak banyak, tapi cukup berpengaruh. Rambutnya berwarna hitam legam. Panjangnya masih sama—segitu aja. Kalau dulu aku lebih suka rambutnya yang sedikit panjang tapi tidak gondrong. Tidak suka rambut cepak apalagi botak. Aku pernah melarangnya bercukur. Tapi, akhirnya dia tidak nurut.
Masih ada status hubungan atau tidak, aku tidak pernah berhak mengaturnya. Karena aku sendiri pun tidak begitu senang diatur. Seingatku, aku tidak pernah menuntut apapun darinya. Dia bisa bebas melakukan apa saja bahkan tanpa seizinku. Aku pernah berkata padanya, ‘bertindaklah dengan hati saat bersamaku, tidak akan ada tali yang kubawa untuk mengekangmu, kecuali tali yang mengikatmu untuk tetap menjadi kita’.
“Ini menunya.”
“Sepertinya tidak ada tanda-tanda akan hujan. Padahal bulan depan sudah musimnya.”
“Oktober masih empat hari lagi. Bisa saja tahu-tahu tanggal satu langsung hujan lebat. Cepat pesan sesuatu.”
Rendra membaca satu per satu menu yang tertera di karton hitam berlapis mika yang sudah dipres. Hidungku mengendus sesuatu yang berbau wangi. Calvin Klein. Rupanya dia mengganti Bvlgari Aqua yang dulu jadi parfum idolanya. Dua poin yang berubah dalam dirinya. Dan, diam-diam aku menerka sesuatu yang sedikit sensitif. How about him feelings?
“Pesan saja yang recomended menurutmu.”
“Mau ice atau hot?”
“Menurutmu apa yang cocok di siang bolong begini? Matahari lagi sombong-sombongnya di langit, tuh.”
Aku melambai pada Joy yang sedang berdiri di belakang mesin kasir. Dia menoleh, lalu bergegas menghampiriku dengan membawa bloknot dan pulpen. Lagi-lagi dia berjalan sambil tersenyum. Dan, tiba-tiba ada kekhawatiran yang menyelundup. Joy bisa saja menarik Rendra untuk masuk dalam hidupnya detik ini juga, jika ia terus tersenyum seperti itu. Sial. Ketakutan ini harusnya tidak perlu ada.
“Satu Affogato, satu Vanilla Ice, dan dua Spaghetti Aglio Olio.”
“Noted. Who’s the guy, Gris?”
“He’s a man in the past,” kataku sambil berbisik.
Joy memberi tatapan menggoda sebelum pergi.
***
Sudah terbayang apa yang akan menjadi topik di pertemuan ini. Pekerjaan, kuliah, kesibukkan terbaru, dan segala pertanyaan basa-basi lainnya. Sebisa mungkin aku bersikap easy di depannya. Tapi, sama saja. Melihat bola matanya beberapa detik tetap tidak bisa membuatku tenang.
“Grisel, kau tidak bilang kalau pasta ini pedas.”
Rendra terlihat meremas perutnya. Dan, mendadak rasa bersalah menyergap. Ternyata selama ini aku tidak pernah tahu kalau dia anti cabai.
“Kau tidak pernah bilang, Ren.” Aku masih saja begini. Tidak pernah memperlihatkan rasa bersalah sekecil apapun padanya. Ya, memang benar, kan? Dia sendiri yang tidak pernah bilang hal ini sejak dulu. Kalau ditanya, ‘kenapa kau tidak tanya dulu, Gris?’, jawabannya, ‘karena aku hanya ingat kalau laki-laki kebanyakan lebih suka cabai dibanding perempuan.’
“Mau coba Affogato punyaku? Es krimnya bisa bikin pedas di lidahmu sedikit menghilang.”
“Itu dicampur apa?”
“Ini espresso. Rasanya sedikit pahit.”
Rendra menyendok ‘kuah’ Affogato ke dalam mulutnya. Tidak butuh satu menit, ia langsung bergidik dan menyingkirkan mangkuk Affogato dari hadapannya. “Bukan sedikit, Gris. Ini terlalu.”
“Makan bareng es krimnya, dong!”
“Kenapa pesananmu tidak ada yang memuaskan, sih?”
“Lidahmu saja yang terlalu manja. Kau mau jamurnya? Aku tidak suka jamur.”
“Aku baru tahu kau tidak suka jamur.”
Kalimatnya menyadarkanku sekali lagi, bahwa kita memang tidak pernah saling mengenal satu sama lain. Selama kami menjadi sepasang kekasih, dulu, aku tidak benar-benar tahu tentang dirinya. Begitupun sebaliknya. Hubungan kita memang terlalu singkat. Pertemuan kami pun tidak membuahkan pengetahuan yang banyak. Aku tahu nama panjangnya, alamat rumahnya, merk motornya, dan nomor ponselnya. Di luar itu, semua tampak seperti rahasia tanpa mengundang rasa penasaran.
Ini sama saja aku menghabiskan dua piring pasta. Rendra hanya memasukkan satu suapan Aglio Olio ke dalam mulutnya. Sementara jamur yang bercampur di pasta itu menjadi jatah untuknya.
“Mau pesan lagi? Aku masih punya banyak waktu di sini.” Rendra mengambil kembali daftar menu dan membacanya satu per satu.
“Gayo.”
Rendra melirik padaku.
“Itu kopi Sumatera. Tepatnya dari Aceh. Jangan tanya rasanya karena aku tidak tahu.”
“Kenapa Gayo? Kenapa tidak coba Papua Coffee, Florest Coffee,”
“Penulis favoritku yang merekomendasikannya di salah satu novelnya.”
***
Aku mencoba menikmati setiap detik yang kami lewatkan. Kuakui, ada sedikit kerinduan, memang. Ia menguar bersama kepulan dari cangkir Gayo di tengah-tengah kami. Jika aku dengan mudah mengecap jenis kopi baru, untuk sebuah rindu, tidak mudah dikecap untuk sampai pada kesimpulan. Buktinya, sejak awal aku duduk berhadapan dengannya di Kopi Kayu ini, baru beberapa menit kemudian aku menyimpulkan bahwa aku disergap rindu.
“Kenapa kau suka pahitnya kopi?”
“Simple. Ini lebih nikmat dibanding pahitnya kehidupan.”
Rendra tertawa. “Apakah kadar pahit kopi yang diminum seseorang, menggambarkan kalau pahit kehidupannya berkadar sama?”
“Aku tidak tahu soal itu. Tapi, kalau itu benar, berarti orang yang suka sekali minum susu, hidupnya selalu manis. Begitu? Ah, not sense. Bagaimana dengan aku yang tidak terlalu suka susu? Apa aku akan dianggap orang yang hidupnya pahit dan kelam?”
Rendra tertawa lagi. Kali ini lebih keras sampai mengundang perhatian pengunjung Kopi Kayu lainnya.
“Kopi hitam? Kita mendadak jadi dukun.”
Gayo di tengah-tengah kami telah sedikit menurun suhunya. Aku menyendoki sedikit dan memasukkannya ke dalam mulut. Mencoba meresapi partikel-partikel pahit bercampur asam yang membasahi lidah. Menyendokkannya sekali lagi, lalu berkata, “Ini lebih pahit dari hidupku.”
Joy menyediakan sebungkus brown sugar dan delapan gram gula pasir. Aku memasukkan keduanya sekaligus tanpa berpikir panjang. Lalu, menyendokkan lagi air hitam di cangkir porselin itu ke dalam mulut. Masih dengan cara yang sama untuk meresapi rasanya.
“Katakan sesuatu, Gris!”
Aku membuka mata dan melihat Rendra yang tidak sabar menunggu pernyataan dariku. Dengan tenang aku menjawab, “Kau tidak akan tahu seberapa pahitnya kopi, kalau tidak mencicipinya sendiri. Sama seperti hidup. Cicipilah sendiri!”
Rendra merebut sendok kecil di tanganku dan mulai memasukkan Gayo ke dalam mulutnya. Seketika ia bergidik lebih keras daripada saat dia menyicip Affogato milikku tadi.
“Aneh. Ada asam-asamnya. Kau berani habiskan ini?”
Awalnya aku ragu. Jujur, rasanya memang aneh. Dan, selamanya mungkin aku tidak akan menyukai Gayo. Mendadak mulutku berkata, “Siapa takut!”
Dalam hitungan detik, aku berhasil meneguk setengah cangkir Gayo tanpa bernapas. Cairan hitam itu masuk begitu saja melewati tenggorokkan tanpa aku izinkan mengalir lambat melewatinya agar tidak terlalu terasa. Tapi, sia-sia saja. Rasa asamnya tetap tersisa di sela-sela gigi.
“Mau bilang aku jagoan?”
Sebisa mungkin kutahan ekspresi wajahku yang bisa saja mendadak terlihat payah setelah meminum kopi khas Aceh tersebut.
“Aku tahu kau orang yang kuat.”
Dan, muncul rasa hangat tiba-tiba yang menghilangkan pahit bercampur asam di lidahku. Menggelitik perut bagian terdalam. Mempercepat pacu jantung tanpa ritme yang teratur. Entah bergetar karena kafein Gayo yang tidak cocok dengan tubuhku, atau karenanya yang diam-diam menghangatkanku kembali.

0 komentar:
Posting Komentar