Selasa, 11 Agustus 2015

Sebuah Nama Di Balik Tralis Berkarat

     Aku adalah sebuah nama. Namun, berdiri di balik tralis yang menghadap tepat ke ruang kamarmu, menyelidik siluet di belakang tirai jendelamu, diri ini seperti jasad tanpa identitas.
     Setiap senja di hari Sabtu, ada sejumput rindu yang menyusup diam-diam. Masih di balik tralis, aku menunggu siluetmu di sana. Pertanda bahwa kau telah pulang dari tanah rantau. Aku memang hanya seorang diri dengan nama yang tak pernah kau sebut. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menggenggam besi-besi tralis yang sedikit berkarat, lalu melempar pandangan ke seberang sana. Namun, setidaknya aku punya sesuatu yang kutunggu setiap satu minggu sekali – siluetmu.
     Adalah malu, ketika tirai yang menutupi jendela kamarmu tersibak tanpa aba-aba. Lalu, tanpa banyak detik berlalu, sepasang mata sipitmu menangkap diri ini yang terpaku di seberang kamarmu. Jarak diantara kita hanyalah sekitar lima sampai enam meter. Kau bisa melihatku dengan jelas. Seperti apa pemilik nama yang rajin menyelidik jendela kamarmu setiap Sabtu sore. Dan, mataku juga menangkap pemilik siluet yang selalu kunantikan selama berbulan-bulan. Kita memang bertatapan, tapi kuharap kau tidak mendengar degup jantungku yang mendadak berpacu lebih cepat.
     Kau si siluet indah itu. Dari balik tralis berkarat ini, ada sebuah nama yang tanpa ragu menunggu kepulanganmu.

Ree K.

0 komentar:

Posting Komentar