![]() |
| Source: http://bookcity.co.il |
Aku suka keajaiban. Tapi sayang, datangnya
hanya satu semester. Ia turun bersama hujan yang membasahi tanah kotaku enam
bulan sekali.
Kadang aku tak ingin punya rumah
singgah, agar ketika hujan turun aku bisa terus menari di bawah rintiknya. Bergumul
dengan bulir-bulirnya yang dingin tapi menghangatkan hati. Namun, aku sadar tentang
satu hal. Semesta tidak selamanya berpayung kelabu. Ia hanya sementara, tapi
sederhana. Bahagiaku yang sederhana.
Jangan cari aku saat mentari meninggi
dengan teriknya. Juga ketika tak ada air di sungai dekat rumahmu, atau ketika
tak ada ilalang yang berdiri melambai di tengah ladang. Aku bersembunyi – kau
tak perlu tahu di mana tempatnya. Tapi, akankah kau rindukan aku saat kemarau?
Mungkinkah kau rindukan aku di bawah terik mentari? Tidak tahu.
Aku layaknya hujan. Datang dan
menghilang bersamanya. Seperti hujan pula, ada yang mengharapkanku, ada yang
menginginkanku. Kau termasuk yang mana?
Hm, aku tidak memaksamu untuk
memilih. Tapi, maukah kau sama-sama menari di bawah hujan? Kau ketukkan kakimu
ke bumi dan menengadah ke arah langit. Jangan di kota. Kita harus sedikit
menjauh darinya. Berlarilah ke ladang belakang rumahku.
Aku tahu kau sedikit ragu. Mungkin
kau perlu melihatku menari terlebih dahulu. Biar kutunjukkan seperti apa
bahagianya menari di bawah rintik hujan di tengah ladang. Sungguh, kupastikan
kau tak bisa temukan ekspresi ini pada gadis lain.
Hujan turun lebih deras. Lihat!
Sekarang aku benar-benar menari di hadapanmu dan aku bahagia.
-Pluviophile

