Minggu, 15 Juni 2014

Happy Father's Day: Panggil Dia Bapak



Bapak.
Begitu panggilan untuk sosok bersahaja dalam keluargaku. Yang bertugas memimpin keluarganya menjadi sakinah, mawaddah dan warahmah. Yang selalu setia pada anak dan istrinya.

Bapak.
Seringkali aku meneteskan air mata ketika memperhatikan tirus wajahnya. Tulang yang menonjol tanpa daging dipipi dan dagu, mata yang mulai sayu, dan helai-helai rambut yang tak lagi hitam. Padahal usianya terus bertambah, tapi beliau masih rela banting tulang kesana-kemari. Bahunya begitu kokoh menopang beban. Tangan dan kakinya sangat kuat membawa sebongkah harapan keluarganya, dan hatinya, terlalu naif untuk  mengeluhkan semua kepahitan hidupnya.

Aku tahu dalam hati ia berkata: Aku sudah lelah. Tapi tentu ia kembali melihat anak dan istrinya. Jika beliau menyerah lalu berhenti, lantas siapa yang akan memimpin keluarga ini?
Meski terkadang ia sangat menyebalkan, bahkan sampai aku berani bertindak tak sopan, ia masih saja sudi mengasihiku. Padahal aku sering membuatnya kesal, marah, jengkel, tapi ia tak pernah menyerah menasihatiku dari kecil hingga saat ini.

Delapan belas tahun lamanya hidup bersama. Semua keburukkanku sangat ia hafal tentunya. Tapi bodoh! Mengapa aku tidak pernah meminta maaf padanya? Yang aku lakukan cuma merasa bersalah dalam diam, lalu menganggap ia telah memaafkanku.

Bapak.
Orang yang selalu mendukungku dalam bidang agama. Yang selalu mendorong untuk lebih sukses darinya dengan memaksaku bekerja di kantoran. Ia tak ingin aku menderita dalam pabrik seperti dirinya. Ia menginginkan aku  agar bisa dipandang orang, bukan dikucilkan atau tak dianggap. Ia ingin agar semua orang melihatku sukses menjadi orang besar.

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menggambarkan kecintaanku ini. Mungkin tidak sebesar cintanya padaku. Sebab aku masih saja mendustakan kasih sayangnya yang sudah jelas-jelas semua tercurahkan untukku.

Bapak.
Lelaki dengan perannya yang luar biasa hebat dalam kisah hidupku. Tanpa tangan dan kakinya, tanpa usaha dan do’anya, aku tak akan bisa bernapas panjang di dunia. Bahkan menulis surat ini pun tidak akan berhasil tanpa sosoknya yang menjadi inspirasi disetiap kalimatku.

Terimakasih, Bapak. Maafkan aku yang belum mampu membalas kebaikkanmu. Selebihnya, biar Tuhan yang mengaturnya. Aku sayang padamu...

0 komentar:

Posting Komentar