Bapak.
Begitu panggilan untuk sosok bersahaja dalam keluargaku.
Yang bertugas memimpin keluarganya menjadi sakinah, mawaddah dan warahmah. Yang
selalu setia pada anak dan istrinya.
Bapak.
Seringkali aku meneteskan air mata ketika memperhatikan
tirus wajahnya. Tulang yang menonjol tanpa daging dipipi dan dagu, mata yang
mulai sayu, dan helai-helai rambut yang tak lagi hitam. Padahal usianya terus
bertambah, tapi beliau masih rela banting tulang kesana-kemari. Bahunya begitu
kokoh menopang beban. Tangan dan kakinya sangat kuat membawa sebongkah harapan
keluarganya, dan hatinya, terlalu naif untuk
mengeluhkan semua kepahitan hidupnya.
Aku tahu dalam hati ia berkata: Aku sudah lelah. Tapi tentu ia kembali melihat anak dan istrinya.
Jika beliau menyerah lalu berhenti, lantas siapa yang akan memimpin keluarga ini?
Meski terkadang ia sangat menyebalkan, bahkan sampai aku
berani bertindak tak sopan, ia masih saja sudi mengasihiku. Padahal aku sering
membuatnya kesal, marah, jengkel, tapi ia tak pernah menyerah menasihatiku dari
kecil hingga saat ini.
Delapan belas tahun lamanya hidup bersama. Semua
keburukkanku sangat ia hafal tentunya. Tapi bodoh! Mengapa aku tidak pernah
meminta maaf padanya? Yang aku lakukan cuma merasa bersalah dalam diam, lalu
menganggap ia telah memaafkanku.
Bapak.
Orang yang selalu mendukungku dalam bidang agama. Yang
selalu mendorong untuk lebih sukses darinya dengan memaksaku bekerja di
kantoran. Ia tak ingin aku menderita dalam pabrik seperti dirinya. Ia
menginginkan aku agar bisa dipandang
orang, bukan dikucilkan atau tak dianggap. Ia ingin agar semua orang melihatku
sukses menjadi orang besar.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk
menggambarkan kecintaanku ini. Mungkin tidak sebesar cintanya padaku. Sebab aku
masih saja mendustakan kasih sayangnya yang sudah jelas-jelas semua tercurahkan
untukku.
Bapak.
Lelaki dengan perannya yang luar biasa hebat dalam kisah
hidupku. Tanpa tangan dan kakinya, tanpa usaha dan do’anya, aku tak akan bisa
bernapas panjang di dunia. Bahkan menulis surat ini pun tidak akan berhasil
tanpa sosoknya yang menjadi inspirasi disetiap kalimatku.
Terimakasih, Bapak.
Maafkan aku yang belum mampu membalas kebaikkanmu. Selebihnya, biar Tuhan yang
mengaturnya. Aku sayang padamu...
0 komentar:
Posting Komentar