Aku berusaha mematikan bayangmu. Mungkin sudah saatnya untuk mundur dan beranjak dari tempat penantian ini. Berdiri menunggumu sudah kulakukan hingga tujuh belas bulan lamanya. Tapi apa perubahan yang kudapat?
Tampaknya aku putus asa,
Lalu, mulailah aku melangkah ke belakang walau ada sedikit keraguan yang membelai niatku kali ini.
Tapi tunggu!
Ketika aku mundur, ketika aku akan move darimu, kenapa kau menoleh dan kembali menyapaku. Kau bersikap seolah diantara kita tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal kau sendiri tersangkanya atas kegalauan yang terjadi dalam hidupku selama lebih dari satu tahun ini.
Aku benci mengatakan ini - nyaman adalah hal yang aku rasakan ketika berkomunikasi denganmu.
Lalu malamnya ketika aku tertidur, aku menemukanmu lagi.
Kau hadir dengan sikap yang sama seperti dulu - manis. Dalam mimpi itu, kau seperti menyampaikan pesan tersirat bahwa aku harus menunggumu. Jangan mundur...Tetaplah disitu. Aku akan kembali membawa sesuatu. Itu katamu dalam mimpiku.
Ah, apa-apaan? Aku tahu ini bukan efek dari komunikasiku denganmu sebelumnya, hingga aku larut dan terbawa mimpi.
Aku berpikir, Tuhan memberi jawaban atas menyerahnya aku.
Aku berpikir: Tuhan membuka jalan ketika hamba-Nya putus asa lalu menyerah. Karena Dia sedang mengujimu, sampai diwaktu yang mana kau bertahan.
Apakah pemikiranku yang terakhir itu salah? Tapi kurasa tidak.
Ada lagi serpihan puzzle yang masih sulit dipahami selepas menyerahnya aku.
Besoknya, setelah mimpi itu, kita bertemu, bukan? Kita duduk berdua di kedai kue balok pada malam hari sepulangnya aku dari kantor. Awalnya saling diam, sibuk dengan gadget masing-masing. Setelah salah satu pelayan mengantarkan pesanan, kita baru bisa berbincang. Makin lama makin asyik. Malam itu aku yang lebih banyak bercerita, bukan? Ah, ya! Aku sengaja supaya suasana malam itu tidak sia-sia. Sambil aku bercerita, diam-diam aku memperhatikan matamu. Ck! Kau juga memperhatikanku dengan seksama? Ya Tuhan, aku senang kau perhatikan seperti itu.
Jujur, aku merindukan bentuk matamu, almond eyes.
Bentuk matamu yang teduh dan hangat jika dipandang. Mata yang membuatku seperti tersihir hingga tujuh belas bulan lamanya. Mata yang diam-diam mencuri perhatianku. Ah, matamu terlalu indah.
Lantas, setelah itu, apa?
Kau memberiku bunga. Dua puluh tangkai mawar merah muda. Awalnya aku bingung dengan maksudmu. Sebab kau memberinya seperti memberi koran pada mobil-mobil yang lewat di perempatan jalan. Tidak ada kesan romantisnya.
Tapi aku tidak melihat itu. Ketika kau bertanya: Suka nggak?
Aku sadar kalau kau memang memberikan itu untukku. Kau bilang cuma sekedar ingin memberi? Oh, tapi aku tahu maksud hatimu.
Saat diperjalanan pulang, kau membawaku ke jembatan yang ada disekitar Pemkot. Kau juga bilang akan menunjukkan suasana malam di jembatan itu.
Takjub bukan main...Saat melewati jembatan yang kau maksud.
Mencolok. Banyak lampu warna-warni menerangi bahu jalan. Melingkar disepanjang pembatas jembatan yang diantaranya ada yang kerlap-kerlip genit.
Angin malam membelai wajahku lembut. Tapi bukan dingin yang kurasa. Wajahku malah menghangat ketika kau menunjukkan sesuatu yang...romantis.
Dan disitulah aku yakin, masih ada rasa cinta yang kau simpan...
Ini mawar darimu, dan foto suasana malam di jembatan Raden Demang Harjakusumah...Aku simpan ini sebagai kenangan...



0 komentar:
Posting Komentar