Kamis, 14 September 2017

Ambau

Related image 
Bercermin ia pilu sendiri. Bercerita ia lebih terhina. Semesta menyiratkan suara Tuhan; marah dalam kewibawaan. Menghukum keputusan yang salah—hukum alam.
Cangkir teh miliknya kosong setiap pagi. Hampa dalam satu semester. Terbakar ambisinya sendiri atas nama perasaan. Dan, pada masa ini bisu serta pilunya juga mengatasnamakan perasaan.
Ia menilai dosanya. Sementara Tuhan telah memaafkan, hanya ia tidak mendengar. Akibat asa yang putus buatnya membiarkan diri tertutup terhadap apapun yang menyinggung. Ia perlu diskusi dengan Tuhan. Dia sebaik-baiknya kawan untuk bernegosiasi, menerima jaminan apapun yang bisa membayar kekeliruan tempo hari. Tapi, walaupun Tuhan lebih bisa menjamin apa yang akan ia lakukan di masa depan, Tuhan Maha Pemaaf.
“Semoga kamu tidak merasakan ini juga”, katanya padaku suatu pagi. Kuputar ulang waktu kapan kami berkenalan sampai tiba kesedihannya. Hatiku bergerak takjub. Semua berjalan dengan sebab dan akibat yang berdampingan. Ia belajar, kami belajar, Tuhan mengajari. Maha Suci Allah atas segala apa yang terjadi.

Jumat, 08 September 2017

Seperti Bukan Pulang




Related image

     Aku mendengar dari kejauhan. Di tempatku yang baru, dengan rindu yang samar dan hati yang lebih sering bungkam. Aku seperti telah kembali pulang, tapi aku asing sendiri. Kau diam karena tidak tahu, atau karena kau punya rindu yang lebih membiru. Anginnya mengarah lain arah, tidak ada bau tubuhmu; parfum yang tidak pernah kau beri tahu namanya.
     Lantas apa yang aku dengar? Jatuhnya hujan di tanah yang sama dengan tempatmu tinggal. Aku kira petirnya lebih menggelegar. Kau tidak pernah sesendu itu, batinku. Apapun kau lakukan untuk bisa bertahan dari kekacauan hidupmu sendiri. Kemudian kau terbang ke dalam mimpi kita; mimpi lama milik kita. Sendiri tanpa aku. Dan, aku berhak marah. Sebab aku telah lebih dulu pulang, meski rumah ini masih terasa asing.
     Kulihat potret terbarumu. Dan, aku menyebutmu Si Rambut Panjang yang Kaku. Atau Si Ijuk. Rambutmu tidak seperti dulu lagi. Berantakan dan tidak kau pedulikan bentuknya. Lalu aku tertawa sendiri melihat perubahanmu. Rautmu makin tua. Guratan di bawah mata itu, aku mampu membaca setiap incinya yang mencitrakan kepedihan. Lalu aku berhenti tertawa.
     Sedihku makin melambung. Bahagiaku menguap separuh. Diri makin rindu. Di sini aku juga merasa perih. Terlebih bukan ini tempat yang kuinginkan 'tuk berdiri. Aku yakin ini bukan rumah yang biasanya aku mendengar dan menatap; bersamamu.
     Nyatanya aku tahu bahwa ini adalah sebuah cerita tentang kehilangan. Tidak lagi aku mengelak, atau meyakinkan diri bahwa aku dalam kondisi baik. Nyatanya lagi, aku tahu bahwa ini tentang kesedihan. Mungkin kau ikut merasakan; atau lebih dari merasakan. Aku tidak tahu namanya. Sungguh, semesta, aku baru bisa berdamai dalam penerimaan hari ini. Mungkin lebih tepatnya aku baru mau.
     Untukmu, daun tidak pernah melawan takdirnya untuk jatuh. 

Senin, 04 September 2017

Empat September: Out and Sorry

Image result for BUNGA MATAHARI 



Aku nggak tahu mau menulis apa. Tapi malam ini aku benar-benar ingin menulis! Kayak semacam habis dapat uang dan ingin langsung dibagi-bagi. Hehe.
Aku punya banyak banget teman. Saking banyaknya, suka bingung mau main sama teman yang mana. Dan, kadang diantara mereka ada yang sampai marah karena nggak diajak main. Ya sialnya aku main pas dia lagi PMS kayaknya. Serius. Kalau bisa aku ingin ajak mereka semua main bareng. Tapi buatku pribadi, main dengan lebih dari satu komunitas itu susah! Aku belum tentu bisa membagi diri aku sendiri diantara dua komunitas itu. Belum tentu juga mereka saling cocok satu sama lain. Jadi ya mainnya dibagi-bagi waktu dan tempatnya, dan aku yang paling tekor. Tapi aku suka mereka semua, nggak ada yang diistimewakan. Mereka orang-orang baik dan bisa menyesuaikan dengan kepribadianku. Terimakasih semuanya…..! Dan, aku bersyukur banget punya mereka.
Punya banyak teman nggak menutup kemungkinan untuk punya masalah juga ya. Beberapa kali lah, kalau aku pribadi, cekcok besar dengan beberapa orang. Sisanya nggak pernah tengkar sama sekali. Nggak heran juga seumuranku begini lagi panas-panasnya kepala dan hati. Proses pendewasaan kali ya.
Arti teman buatku adalah dia yang merasa bosan dan lelah karena terlalu sering menasihati. Dia yang hapal betul gelagat dan alur pemikiranku. Dia yang bisa membuatku betah berhari-hari. Dia yang bisa menjadikan dirinya tujuan untuk aku menghilangkan rasa sepi. Dia yang tidak harus selalu ada, tapi selalu memahami. Dia pengusir gulana dan kesedihan, walaupun tidak bisa mengucapkan kata-kata mutiara.
Suatu hari aku mengalami kontradiksi yang cukup hebat. Di situ aku diuji bagaimana caraku menghargai teman, bagaimana caraku memaknai kehadiran mereka, dan bagaimana caraku memposisikan diri di samping mereka. Proses berpikir di sana memakan waktu panjang. Bermula dari zona nyaman, sebuah komunitas yang menyenangkan dan hubungan yang begitu indah. Aku mencintai mereka, dan mereka pun mencintai aku. Betapa bersyukurnya aku sampai saat ini, walaupun kami retak pada akhirnya.
Sungguh, kami murni berteman. Cuma cinta persahabatan, bukan cinta yang lain. Hanya saja kedekatan kami memang memiliki gradasi warna yang berbeda. Tergantung dari berapa lama satu sama lain berkenalan lebih dulu. Kemudian waktu berperan banyak dan berpihak penuh pada kami, hingga aku dan mereka menjadi tak terpisahkan. Aku yakin mereka juga sadar soal ini, nggak bisa dipungkiri.
Aku sering merasa bahwa aku cukup hebat dalam mengendalikan emosi. Itu pun dibantu teman-temanku yang selalu bilang: “udah, cuekin aja”. Dan, itu memang berpengaruh banget. Tapi hari itu aku nggak bisa tahan semua emosi yang dipendam berbulan-bulan. Alasannya, ada kabar yang nggak mengenakan untuk di dengar. Kabar tentang diri aku sendiri dari orang lain. Kemudian tangisku pecah dan sialnya teman-temanku selalu tahu kalau ada yang tidak beres dari diri aku. Aku terdesak dan semua terbongkar.
Untuk mengetahui kebenaran tidak cukup dengan dua mata dan dua telinga. Kemudian aku terngiang dengan ketidak-setujuanku sendiri pada statement: don’t judge book by the cover. Iya, dari dulu aku nggak pernah setuju sama kalimat itu. Kenapa? Karena sampul luar buatku adalah jaminan atas isi bukunya. Dan, aku sadar bahwa aku ada di posisi yang tidak disetujui oleh diriku sendiri.
Aku lebih dekat dengan satu orang teman laki-laki. Dan ini adalah sampulnya. Isinya, nggak lebih dari persahabatan. Jika aku ingin orang lain melihat isi yang sesungguhnya, maka aku harus memainkan sampul itu sesuai dengan isinya. Jadi, aku nggak semestinya terlalu lengket dengan temanku itu. Salahku, menjadikan persamaan aku dan dia sebagai satu-satunya alasan. Kami memang sangat mirip. Salahku, nggak bisa percaya dengan teman yang lain untuk tahu cerita-cerita burukku. Salahku lagi, nggak ada keinginan untuk keluar dari zona nyaman itu.
Tapi aku pernah bertanya, “apa ini akan baik-baik saja, kalau kita berteman seperti ini?” Dia menjawab, “santai saja”. Dan, kami pun tetap tidak berjarak. Kemudian lama-kelamaan aku mulai membuka diri dengan yang lain, dengan menjadikan teman-teman selain dia sebagai partner hidup aku. Jadilah kami komunitas yang menyenangkan yang kusebut tadi. Akibat dari kenyamanan ini membuat kami semua terlena. Sampai pada hari itu yang menjadi peristiwa kelam buatku. Sedih, marah, kesal, dan muak.
Aku bersikeras menyatakan bahwa kami murni berteman. Teman-temanku yang lain, syukurnya, percaya dengan hubungan kami. Tidak ada hal aneh, semua normal atas apa yang aku lakukan. Mereka yakin bahwa aku nggak ada niat sama sekali untuk ‘mencuri’ siapapun. Konyol sih. Tapi, lagi-lagi aku berkaca dan melihat posisi diriku dalam titik yang tidak kusetujui sendiri.
Aku mengalami beberapa keretakan setelahnya. Ya Tuhan, aku berani bersumpah bahwa keretakan ini sangat menyedihkan! Renggang dengan temanku yang lain. Kami berjarak. Seperti kakiku tetap maju dan ingin mengabaikan semuanya, sementara dia mundur perlahan. Menjauh. Bicara sekadarnya. Mungkin faktor keras hati dalam diriku sendiri karena saking ingin membuktikan bahwa aku dan teman laki-lakiku itu tidak ada apa-apa. Iya, hatiku menjadi keras setelahnya. Terhadap apapun yang tidak sesuai dengan teori-teori yang kupelajari.
Kemudian aku masih membiarkan diriku menikmati proses berpikir yang melelahkan ini. Apa saja yang sudah kulakukan, apa saja dampaknya, dan bagaimana kira-kira penilaian orang lain.
Temanku, jika keretakan pertemananku dengan mereka membuatmu merasa lebih baik, aku akan membiarkannya. Tidak ada obat, tidak ada perekat. Mungkin aku dan teman laki-laki itu—atau kekasihmu, akan lebih baik jika berjarak lebih cepat. Meskipun rencananya aku baru akan menjauh setelah lulus nanti. Tapi, aku minta sesuatu darimu. Tolong berpikir lebih jernih lagi tentang apa yang sudah dan akan kamu lakukan. Semua akan menjadikanmu lebih ringan.
Sedih. Sesak. Temanku yang lain juga sama. Tapi, mereka sedih lebih parah. Sebab ereka tidak tahu apa-apa. Sementara aku telah tahu satu hal kebenaran yang sebenar-benarnya, dan aku mulai memahamimu lebih jauh.
Aku mundur dari dunia yang berkaitan denganmu. Maafkan aku untuk kesekian kalinya.
 

Jumat, 18 Agustus 2017

Pulang Dari Harapan

Related image

Aku senang berada pantai. Aku menyelaminya hingga ke tengah. Bertemu nemo, tapi aku cukup takut menghampiri terlalu jauh. Dan, semenjak hari itu aku berkata: aku menyukai samudra.

Ombak yang kecil. Memandangnya aku tenang. Duduk di dekatnya, menyentuhnya, ada guratan baru yang menutup sembilu. Kemarinnya aku jatuh cinta. Tapi setelah hari itu, aku terbangun karena cinta.

Aku menyukai samudra.

Biru, luas memberi jalan untuk jiwa-jiwa yang ingin damai bersamanya. Dan, aku ingin. Mmerentangkan tangan di atas kapal. Atau memotret, atau sekadar berayun kaki ke dalam air. Jiwaku terasa lebih anggun dari ratusan akhir pekan yang telah berlalu. Turut menjadi berwibawa. Karena aku di dekat samudra.

Beberapa jam yang lalu, aku memikirkannya sebagai ilusi. Tidak nyata dalam garis nasibku. Angan yang tidak pantas dibuai ikhtiar untuk ke sana. Samudra buatku hanya sebatas itu. Karena ia terlalu luas, terlalu jauh, terlalu dalam. Hingga ragu dan malu benar-benar untuk diriku sendiri.

Aku beku. Antara memperjuangkan diri untuk melihatmu lagi, atau kembali  ke kota dengan jiwa yang kehilangan selera. Berani, tidak ada di dalam mataku. Seperti surga, tapi aku tidak punya cukup kebaikan. Pulang dari harapan. Akulah yang meratap di ujung dermaga.