Dia tidak pernah menyukai hujan. Aku ingat sekali saat ia menggerutu karena ujung jinsnya basah. Tidak hanya sekadar basah, bahkan ada bercak lumpur bekas cipratan dari mobil yang sebelumnya melewati kami. Aku tertawa melihatnya cemberut. Ia berusaha membersihkannya dengan kanebo. Namun, usahanya malah membuat lumpur itu makin meresap ke serat jinsnya.
"Tawamu menyebalkan sekali, Kat."
Aku makin tertawa keras. Sam betul-betul membenci hujan.
Itu sekitar tiga tahun yang lalu.
Di tahun yang sama, aku teringat satu orang lagi. Dia kebalikan dari Sam. Dia menyukai hujan walau tidak terlalu fanatik sepertiku. Tetapi, setidaknya dia tidak membenci hujan.
Hal yang sangat berharga bagiku saat bersamanya adalah ketika aku dan dia berteduh di depan sebuah toko kelontong yang sudah tutup. Pukul sembilan malam, saat itu kami baru dari rumah Jojo. Aku dan dia satu motor. Hujan tidak tiba-tiba turun. Aku sudah mengingatkannya bahwa malam itu akan hujan lebat. Aku juga sebaiknya menyarankan untuk menginap di rumah Jojo karena khawatir hujan lebat turun sampai tengah malam. Tetapi, ia tidak menggubris.
Rumahku masih sekitar lima ratus meter lagi. Hujan sudah tidak sabar membasahi kami. Dan, hanya ada satu toko kelontong yang pendar lampunya sangat terang dibanding tempat berteduh lainnya. Kami berdua berdiri di sana sambil mendekap tubuh masing-masing.
"Aku bilang apa tadi?" kataku.
"Baiklah. Kuakui instingmu cukup kuat."
"Sangat kuat."
Kami bergeming. Tidak ada yang bicara dalam tiga menit. Aku meliriknya. Ia mengusap-usap lengannya. Bibir hitamnya juga terlihat bergetar. Aku mencoba menghadap ke arahnya.
"Kau kedinginan, Blue."
Blue mengarahkan pandangannya ke arahku. "Apa? Tidak. Emm, maksudku sedikit."
"Kenapa kau ini? Sudah jelas-jelas kau menggigil. Begitu saja tidak mau mengaku."
"Aku tidak menggigil, Kat. Aku sedang bersenandung."
Tidak lama kemudian, ia melepas jaketnya dan menitipkannya padaku. Aku bertanya mau apa dia. Lalu, ia menjawabnya dengan turun dari foyer dan menjauh beberapa langkah dariku.
"Blue!"
Ia berdiri tidak jauh dari tempatku. Tangannya direnggangkan lebar-lebar. Kaus abu-abu miliknya berubah warna jadi abu-abu gelap membentuk lekuk tubuhnya. Kepalanya menengadah seolah-olah menantang langit hitam pekat di atasnya. Namun, matanya tidak terbuka.
"Aku tidak kedinginan. Aku sangat menikmatinya, Kat."
Aku memiringkan kepala dan tersenyum geli. Ia lucu sekali malam itu.
Tidak begitu lama Blue membiarkan tubuhnya kehujanan. Dia kembali ke foyer tempat kami berteduh. "Bagaimana?"
"Apanya?"
"Aku. Barusan."
Aku memiringkan kepalaku lagi. Bergumam sebentar. "Berhasil."
Blue mengangkat satu alisnya. "Well I am."
"Pakai jaketmu lagi."
Tanganku mengulurkan jaketnya. Ia mengambil jaketnya. Namun, bukan untuk ia pakai. Dia memakaikannya di bahuku. Tangannya terulur dan menempel di punggungku. "Untukmu saja."
Mata merahnya menatapku. Bibirnya masih bergetar. Namun, aku tahu ia berusaha menahannya. Detik selanjutnya, aku menyadari sesuatu. Ia tidak ingin terlihat payah di depanku. Usahanya di bawah hujan tadi. Tangannya yang melingkar di belakang tubuhku.
Hujan tidak mendatangkan hawa dingin. Malam itu, kami begitu hangat.
"Katya!"
Suara menggelegar datang dari balik pintu kamarku. Membuyarkan semua hal yang sedang kuputar kembali malam ini. Sial.
Tetapi, ibu hanya memanggilku satu kali. Mungkin tidak jadi.
Aku kembali melemparkan pandanganku. Mengulang lagi apa yang tadi sedang kuingat. Hujan di toko kelontong dengan pendar lampu yang lebih terang dari tempat lainnya di sekitar kami --aku dan Blue.
Sesuatu yang hangat waktu itu benar-benar datang kepadaku saat ini juga. Lama-lama dadaku sesak. Mataku berkaca menatap bulan sabit di atasku. Blue. Aku tahu ini akan jadi rindu yang paling menyakitkan.
0 komentar:
Posting Komentar