Jumat, 04 November 2016

Terlampau Liberal



 Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Halo, readers. Sudah lama aku nggak posting di blog ini. Pura-pura sibuk, sih.
Berhubungan dengan tanggal 4 November ini, aku ditantang sama diri sendiri. “Re, kamu kan anak HI, anak politik, anak ilmu sosial, nggak mau gitu menyampaikan aspirasi atau berpendapat soal isu-isu yang ada di sekitar kamu?” kataku dalam hati.
Sebenarnya bukan nggak mau. Tapi, takut salah bicara dan muncul anggapan sok tahu. Tapinya lagi, aku sadar bahwa aku lahir dan dibesarkan di negara demokrasi. Anggapan-anggapan apapun pasti akan ada dan akan selalu ada. Ya, ketika kita membuat status di media sosial pun pasti ada yang komentar, kan? (kecuali kalau akunnya belum terlalu eksis, hehe).
Aku berpendapat berdasarkan ilmu yang aku tahu ya. Sebelumnya mohon maaf jika ada pendapatku yang kurang berkenan. Santai saja. Silakan menyanggah jika memang kurang pas. Tapi, menyanggahlah dengan bijak dan memperhatikan etika, ya :)
Pada dasarnya, Indonesia adalah negara demokrasi. Sebelumnya kita perlu tahu makna demokrasi itu seperti apa. Demokrasi adalah sistem sosial dan sistem politik pemerintahan di mana kekuasaannya berada di tangan rakyat, dalam artian penyelenggaraan pemerintahannya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi memungkinkan terjadinya kebebasan praktek politik dari seluruh aspek masyarakat dan menjadikan masyarakat bebas mengeluarkan aspirasinya pada pemerintah negaranya. Masyarakat bahkan bisa berpartisipasi langsung dalam melakukan perumusan hukum, pengembangan serta pembuatan hukum atau boleh juga diwakilkan oleh perwakilan rakyat. Salah satu contoh bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat adalah pelaksanaan pemilihan umum atau Pemilu. Di mana seluruh warga negara memiliki hak suara dalam menentukan pimpinan suatu daerah atau wilayah.
Indonesia juga menganut liberalisme. Prinsip liberalisme didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak merupakan nilai politik yang utama. Oleh karena itu, tidak heran jika negara-negara yang menganut aliran liberalis ini membebaskan masyarakatnya untuk berpikir dan bertindak. Sebagian negara ada yang membatasinya dengan hukum atau konstitusi, bahkan ada yang menolak untuk dibatasi oleh pemerintah maupun agama.
Nah, apakah negara mengatur tentang jalannya demokrasi? Demontrasi memang telah diatur dalam undang-undang, artinya kegiatan ini boleh dilakukan selama tidak melanggar hukum. Namun, tidak sedikit demonstrasi ini menjurus kepada anarkisme. Anarkisme inilah yang tidak diperbolehkan, baik dalam negara maupun agama.
Mengenai kasus penistaan agama yang dilakukan oleh salah satu tokoh, ya aku memang tidak setuju dengan statement yang ia keluarkan. Sebagai umat beragama yang agamanya bahkan kitabnya dianggap bohong, tentu tidak hanya aku bahkan semua pun pasti akan bergetar hatinya. Dalam Islam, kita tidak boleh mencampuri urusan agama lain. Seperti yang disebutkan dalam Surah Al-Kaafiruun ayat 6: Lakum diinukum waliyadiin. Artinya: Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.
Kita tentunya tidak boleh berlaku melampaui batas-batas yang seharusnya. Seperti yang dikatakan oleh Aa Gym (yang kulihat di salah satu stasiun TV) beliau berkata yang intinya: kita tidak bisa memilih mau menjadi orang bersuku apa ketika lahir di dunia, sementara agama yang kita anut itu merupakan pilihan (bukan takdir). Namun, bagi penganut agama lain alangkah baiknya untuk tidak berbicara atau bertindak di luar kewenangannya seperti kasus yang sedang marak saat ini dan mengundang kaum muslim yang merasa tidak berkenan dengan hal tersebut turun ke jalan melakukan demonstrasi.
Apakah mereka benar-benar berdemo? Seperti apa demo itu? Bersorak-sorak dengan lantang namun yang dikeluarkan adalah kalimat-kalimat kasar dan kotor? Bukan kalimat tauhid  atau takbir? Kalau iya mereka bertakbir, bertashbih, dan bersholawat, apakah semuanya dilakukan dengan hati dan semata-mata karena Allah Ta’ala? Atau itu hanya latah di depan kamera wartawan? Apakah niat mereka murni karena untuk membela agamanya? Membela kitabnya? Apakah mereka berbondong-bondong ke ibu kota dengan emosi yang tersulut? Mampukah mereka menahan emosi mereka? Itu emosi pasti bercampur hawa nafsu, benar? Bagaimana jika emosi dan hawa nafsu tersebut tidak dapat diredamkan? Malah akan menimbulkan anarkisme, bukan? Jadi, apakah Islam mengajarkan untuk membela agamanya dengan anarki? Aa Gym berkata: kita boleh membela, tapi tidak boleh menzhalimi bahkan dalam pertempuran sekalipun. Dan penisbatan pada Umar Bin Khattab bahwa beliau melakukan demo dalam berjihad adalah salah besar.
Mari kita renungkan sebentar.
Aku pribadi memang tidak terima dengan statement yang mengatakan bahwa surah Al-Maidah ayat 51 itu bohong adanya. Namun, aku tidak setuju dengan aksi demo yag ditunjukkan oleh kaum muslim belakangan ini. Demonstrasi yang dilakukan tersebut malah akan menimbulkan judgment bahwa umat Islam senang melakukan anarkisme, umat Islam itu kasar, emosional, dan tidak mencerminkan sifat Rasulnya yang sering dijadikan dalil kaum muslim dalam menyanggah umat agama lain. Right?
Kemudian yang aku takutkan lagi, bukan hanya sekadar ayat dalam surah Al-Maidah tersebut, melainkan Islam akan sepenuhnya dianggap agama yang bohong karena tidak mengajarkan perdamaian seperti yang sering disuarakan oleh para ulama-ulama muslim di seluruh dunia. Lagi-lagi aku bertanya, apakah umat yang pada tanggal 4 November berlari ke ibu kota itu bersungguh-sungguh melakukan pembelaan atas agamanya? Aku pikir, alangkah baiknya umat sebanyak itu selagi mereka bersatu padu dalam kekompakkan melakukan do’a bersama atau istighatsah (memohon pertolongan di waktu genting), seperti yang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan sebelum perang badar seperti yang tersurat dalam surah Al-Anfaal ayat 9 yang artinya: “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (Al-Anfaal:9)
Readers, aku sih lihatnya ini semacam propaganda terhadap umat Islam. Kita tidak boleh mudah mengambil kesimpulan terhadap sesuatu. Perlu pemikiran yang jernih dan ilmu yang cukup dalam menyikapi sebuah kasus. Agama Islam adalah agama yang damai, agama yang sempurna. Apapun yang terjadi di negara kita, tidak akan terlepas dari kepentingan politik di dalamnya. Terbayangkah diantara kalian? Jika kaum muslim yang adem ayem, tadinya, jadi tersulut karena beberapa oknum yang memanas-manasi? Oknum yang basicly memang tidak menyukai orang yang sedang berkasus tersebut. Lalu, Islam dijadikan sebagai senjata, ras dan suku juga dijadikan pemantik sampai menjadi kasus yang serius.
Ini dampak dari negara yang demokrasi, yang membebaskan masyarakatnya mengeluarkann aspirasi. Bahkan, saking demokrasinya (masyarakat Indonesia), mau menginjak-injak gambar presiden pun sah-sah saja, sepertinya. Kita coba lirik ke Thailand sebagai negara monarki. Masyarakat Thailand manut-manut saja atas kebijakan yang dikeluarkan raja. Bahkan masyarakatnya dilarang berkomentar negatif atau bahkan melakukan penghinaan dan ancaman terhadap raja mereka (raja Thailand memiliki hak Lese Majeste).
Jangan sampai perang saudara ini menjadi benih terjadinya perang dunia ketiga (yang didesiskan akan segera terjadi). Konspirasi dan propaganda di mana-mana, readers. Jika kita tidak memiliki ilmu yang luas, maka kita akan dengan mudah hanyut dalam kehidupan yang terlampau liberal ini.
Semoga bermanfaat.
Wassalam.

0 komentar:

Posting Komentar