Selasa, 26 April 2016

Beda: Fragmen 1



Source: http://apumpkinandaprincess.com


Dari banyaknya menu minuman yang tersedia, di sini aku hanya memesan satu minuman sejak pertama mengunjungi tempat ini. Bang Jun menamakannya Kopi Gulali. Gerobak Jenggo miliknya menjadi tempat meditasiku setiap minggu. Kalau tidak salah, ini adalah minggu ketujuhku di Jenggo.
 Sorry, Nona Calon Penulis. Jadi nunggu lama gara-gara kehabisan es batu.”
Suara Bang Jun menarik perhatianku dari laptop yang baru saja dinyalakan. “Oh, tidak masalah, Bang”, kataku sambil memberinya seutas senyuman.
“Katanya mau bawa teman? Kursi di depanmu masih kosong, Ed.”
“Dia sudah bilang akan sedikit terlambat.”
Namun, kenyataannya tidak sedikit waktu yang terbuang karena keterlambatannya. Sudah kupastikan setelah keluar dari Jenggo jantungku akan berdetak lebih cepat akibat meneguk dua gelas kafein. Menunggu tidak pernah jadi hal yang menyenangkan.
“Edlise.”
Aku menoleh ke belakang dan mendapati Bastian berdiri dengan bulir-bulir air di wajahnya berkat diguyur hujan. Dengan sigap ia mengambil tempat duduk di depanku. Dia datang.
“Kau harus bayar lima puluh menit waktuku yang terbuang.”
“Lima puluh menit itu sia-sia bagimu? Bukankah kau sendiri yang selalu bilang: di bumi ini tidak ada yang berlalu sia-sia?”
Aku tidak pernah menyangka Bastian akan mengingat kata-kata itu. Baginya, petuah apapun cuma sampah yang berkedok emas. Petuah-petuah yang ada kebanyakan sindiran saja yang dikemas menjadi terlihat kalimat bijak. Persetan, begitu katanya.
“Aku kan tidak bilang ini sia-sia. Sewot melulu, Bas. Santai sedikit bisa, kan?”
“Aku juga tidak bilang aku sewot.”
Bastian selalu pandai membuatku memutar bola mata. Tapi, dia tidak pernah sadar bahwa aku senang memperhatikannya merapikan rambut panjangnya seperti yang sekarang sedang ia lakukan. Ia punya rambut hitam sebahu, sama sepertiku. Matanya sipit seperti keturunan Tionghoa. Walau pada kenyataannya dia keturunan Sunda. Dan, tinggi badannya lebih dari seratus tujuh puluh lima senti. Ia juga punya gigi yang menarik perhatianku—selain rambut panjangnya. Gigi atasnya sempat patah sewaktu ia kecil. Tapi itu malah membuatnya semakin menarik. Kalau ia tertawa, siapapun akan selalu ingat dengan deretan giginya yang khas.
“Tidak bisakah kita bertemu tanpa ada perdebatan?”
“Kau yang mulai.”
“Aku memulai apa?”
“Perdebatan. Seperti katamu tadi.”
“Aku tidak ada niat untuk berdebat.”
“Cukup, Ed. Sekarang malah kau benar-benar ingin kita berdebat. Apa sih maumu?”
Rahang Bastian tampak mengeras. Ia berhenti merapikan rambutnya, lalu menarik napas panjang dan kemudian membanting punggungnya ke sandaran sofa. “Maaf.”
“Kau tahu apa mauku.” Aku menunduk. Mataku menatap lurus ke arah laptop di atas meja. Meski kutahu pikiranku tidak akan sepenuhnya tertuju pada laptop itu.
***
Aku mencoba mengatur napas untuk menetralkan diriku sendiri. Berbeda dengan Bastian yang selalu terlihat tenang dan santai, sekalipun sedang berselisih paham atau bertengkar dengan orang lain. Aku lebih mudah panik dan gelisah. Tapi, bukan berarti aku juga ceroboh. Setidaknya otakku masih bisa berjalan dengan baik saat sedang panik.
Setelah Bang Jun mengantarkan Alpucindo pesanan Bastian, aku berniat memulai pembicaraan. Meskipun aku tidak yakin kalau obrolan kami tidak akan menimbulkan perselisihan. Kami sama-sama orang yang tidak ingin kalah dalam berbicara. Terlebih ketika bertukar paham tentang cara pandang masing-masing. Kadang Bastian tidak setuju denganku dan bersikeras membenarkan argumennya. Begitupun aku yang bisa lebih menegaskan kalau cara pandang punyaku lebih akurat kebenarannya.
“Kopi dan karamel itu menarik. Sudah terpikir untuk mengangkatnya jadi topik di deadline minggu depan?” tanya Bastian.
“Hm, belum. Aku hanya mencatat Matcha Lava, Chick n Choc, dan KeBarb. Beberapa teman-temanku yang merekomendasikannya. Tapi aku belum memilih satupun.”
“Sebagai penulis kolom pemula, aku sarankan kau menulis sesuatu yang memang pernah kau rasakan sendiri. Dari ketiga menu yang kau sebutkan tadi, apa sudah ada yang kau cicipi sendiri?”
“Belum.”
“Aku sudah tahu. Turuti saja. Kopi dan karamel cocok untukmu.”
Bastian ada benarnya. Untuk menulis artikel dengan tema yang tidak kurasakan sendiri akan lebih merepotkan. Belum lagi riset-riset yang harus dilakukan agar nilai keakuratannya tinggi. Akhirnya, aku menuruti Bastian.
Topik mengenai keserasian kopi dengan karamel memang lebih cocok denganku. Mengingat selama berkunjung ke Jenggo aku hanya mau meminum Kopi Gulali. Espresso dengan campuran karamel dan susu kental manis vanila yang dimix bersama es batu. Sederhana. Tapi rasa kopinya selalu rumit untuk dijelaskan.
“Kopi itu pahit. Karamel itu manis. Keduanya memiliki perbedaan sifat. Tapi, ketika mereka dipadukan dalam satu gelas, kenapa hasilnya bisa membuat orang-orang jatuh cinta pada mereka?” tanya Bastian. Ia mulai mengetesku dengan pertanyaan-pertanyaan yang biasanya berfungsi untuk mengarahkanku pada apa yang akan kutulis.
“Perbedaan tidak selamanya berdampak negatif. Persamaan pun jika disatukan tidak selamanya berdampak positif. Terlalu pahit tidak begitu menyenangkan. Begitu juga sebaliknya, kalau terlalu manis itu tidak baik. Keduanya butuh penyeimbang untuk menjadi satuan yang lebih menarik. Seorang barista adalah pencipta keduanya. Ia memiliki aturan takaran yang pas agar kopi dan karamel tersebut menjadi selaras satu sama lain. Jika kopi dan karamel itu sudah selaras, orang-orang pun menjadi senang menikmatinya.”
Aku meneguk air mineral untuk membasahkan tenggorokkan. Lalu aku melanjutkan, “Sama halnya seperti sepasang manusia. Pada awalnya Tuhan menciptakan perbedaan diantara perempuan dan laki-lakinya. Tapi dengan dipersatukannya mereka dalam sebuah ikatan suci atas dasar takdir, maka mereka menjadi seimbang. Kalau mereka harmonis, orang-orang yang melihatnya akan ikut merasa senang, kan?”
Bas tampak memandangiku dengan seksama. Dengan tubuh yang condong ke depan dan siku kanannya bertumpu di atas paha. Telapak tangannya menopang dagu dengan jari telunjuk yang menyentuh bibir cokelatnya.
“Bagaimana kalau mereka tidak harmonis?”
“Sudah kukatakan tadi, barista memiliki aturan takaran yang pas. Dan, Tuhan memiliki aturan main yang sempurna. Barista dan Tuhan adalah pemegang kendali sebuah keseimbangan yang pastinya akan menimbulkan dampak yang baik. Tapi, Bas, aku tidak sedang menyamakan Tuhan dengan seorang barista. Ini hanya sebuah perumpamaan. Kuharap kau tidak salah paham.”
“Aku mengerti. Dan, bagaimana jika sepasang manusia itu adalah kita? Kau dan aku?”
Bastian menatap lurus padaku sambil meminum Alpucindo miliknya. Ia tetap tenang, sementara aku berubah gusar. “Kita punya banyak perbedaan, bukan?”
Sial. “Seperti yang pernah kau ucapkan tempo hari: kita adalah dua materi yang punya banyak perbedaan, tapi Tuhan sepertinya tidak membuat resep untuk meracik kita menjadi satuan yang seimbang. Jadi, kupikir kata sepasang tidaklah pas untuk kita.”
Kuharap kalimatku barusan bisa membuat Bastian memikirkan sesuatu.
Bastian kembali bersandar di sofanya dengan satu kali hembusan napas. Matanya menerawang di langit-langit kedai Jenggo yang banyak digantungi chandelier.
“Kau tampak menyesal, Ed,” kata Bastian.
“Menyesal karena seperti telah membenarkan apa katamu.”
“Sayangnya, tangan barista dan tangan Tuhan membuat dua takdir yang berbeda.”
Tanpa terasa pipiku basah berkat air mata yang turun begitu saja.
Bastian meneguk minumannya dengan tenang. “Tolong jangan mengeluarkan air mata.”
Aku memberanikan mataku beradu dengan mata Bastian. Kami bertatapan cukup lama. Aku berharap menemukan keinginan di bola matanya. Keinginan untuk tetap bersama-sama denganku. Tapi, aku selalu sulit menemukan pikiran dan perasaannya. Ia materi yang tidak mudah untuk diurai.
Kita punya banyak perbedaan. Tapi, sayangnya kita tidak bisa seperti Kopi Gulali.
 “Mungkin Tuhan punya resepnya. Hanya saja aku bersikeras untuk keluar dari aturan main-Nya. Maaf, Ed.”
Aku masih ingin berusaha agar tangisanku tidak semakin menjadi. Bertahan meskipun sesak. Menguatkan hati sendiri meskipun aku sadar ini adalah titik kelemahanku.
Seorang barista membuat takdir mereka menjadi produk yang memanjakan manusia lain,” lanjut Bastian. “Tapi, barista itu tidak pernah tahu apakah kopi dan gula cair itu senang dipersatukan atau tidak. Berbeda dengan Tuhan. Selain menulis takdir, Dia juga membuat nasib yang bisa diubah oleh manusia-Nya. Semacam peluang. Mungkin inilah nasib kita. Kau berasal dari keluarga ningrat, sementara aku berasal dari keluarga yang identitasnya tidak pernah kuketahui. Tapi, mungkin saja ini takdir bahwa kita memang tidak akan pernah menjadi satuan yang seimbang, seperti katamu. Manusia tidak bisa melawan takdir, Ed.”
Dadaku tegang. Memandang ke jendela sambil mendengarkan Bastian. Tentu saja air mataku menetes satu persatu, namun tidak begitu deras.
“Bas,” panggilku lirih.
Bastian terdiam sejenak. Sampai akhirnya ia menjawab, “Aku menyayangimu. Bukan cuma cinta yang didasari nafsu untuk memiliki. Setelah ini aku sadar, bahwa kita tidak bisa disamakan dengan kopi dan karamel. Kita masih punya tangan dan kaki untuk merubah nasib. Tapi kopi dan karamel, mereka tidak bisa mengelak dari takdir yang mengubah mereka menjadi Kopi Gulali.
“Kau lupa bahwa aku tidak pernah mempermasalahkan keadaanmu, latarbelakangmu, statusmu.”
Bastian kini terdiam lebih lama setelah tadi ia yang begitu mendominasi pertemuan kami kali ini.
Setelah lima menit berlalu dengan kekosongan, Bastian angkat bicara. “Aku benar-benar tidak bisa.”
Namun aku merasa sudah cukup tergores untuk mendengar penjelasannya. Khawatir pertahananku rusak, aku mengalihkan pembicaraan kami pada topik lain. “Aku sudah mendapat titik terang untuk kolom yang akan kutulis,” kataku sambil mengusap mata dan pipi. “Sekarang aku tuliskan dulu poin-poinnya. Sampai di rumah akan kukembangkan dan malam ini juga segera kukirimkan via email.”
Aku mendengar suara parauku sendiri. Kini pandanganku kembali tertuju pada laptop dan mulai sibuk memainkan jari di atas tuts hitamnya.
“Ed,”
“Nanti malam kau bisa stay dengan inbox emailmu?” aku mencoba menghindari Bas yang tampak masih ingin memperpanjang tentang kami. Ini sudah cukup, Bas. Gumamku dalam hati.
Bastian mengangguk lalu take a breath panjang. Wajahnya menoleh ke kaca besar yang membatasi kafe dengan dunia luar. Ia sedang memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar. Diam-diam aku mengamatinya. Yang benar saja, mana mungkin aku bisa fokus menulis dengan suasana hati yang tidak teratur.

0 komentar:

Posting Komentar