![]() |
| Source: http://apumpkinandaprincess.com |
Dari banyaknya menu
minuman yang tersedia, di sini aku hanya memesan satu minuman sejak pertama
mengunjungi tempat ini. Bang Jun menamakannya Kopi Gulali. Gerobak Jenggo
miliknya menjadi tempat meditasiku setiap minggu. Kalau tidak salah, ini adalah
minggu ketujuhku di Jenggo.
“Sorry,
Nona Calon Penulis. Jadi nunggu lama gara-gara kehabisan es batu.”
Suara Bang Jun menarik
perhatianku dari laptop yang baru saja dinyalakan. “Oh, tidak masalah, Bang”,
kataku sambil memberinya seutas senyuman.
“Katanya mau bawa
teman? Kursi di depanmu masih kosong, Ed.”
“Dia sudah bilang akan
sedikit terlambat.”
Namun, kenyataannya
tidak sedikit waktu yang terbuang karena keterlambatannya. Sudah kupastikan
setelah keluar dari Jenggo jantungku akan berdetak lebih cepat akibat meneguk
dua gelas kafein. Menunggu tidak pernah jadi hal yang menyenangkan.
“Edlise.”
Aku menoleh ke belakang
dan mendapati Bastian berdiri dengan bulir-bulir air di wajahnya berkat diguyur
hujan. Dengan sigap ia mengambil tempat duduk di depanku. Dia datang.
“Kau harus bayar lima
puluh menit waktuku yang terbuang.”
“Lima puluh menit itu
sia-sia bagimu? Bukankah kau sendiri yang selalu bilang: di bumi ini tidak ada
yang berlalu sia-sia?”
Aku tidak pernah
menyangka Bastian akan mengingat kata-kata itu. Baginya, petuah apapun cuma
sampah yang berkedok emas. Petuah-petuah yang ada kebanyakan sindiran saja yang
dikemas menjadi terlihat kalimat bijak. Persetan,
begitu katanya.
“Aku kan tidak bilang
ini sia-sia. Sewot melulu, Bas. Santai sedikit bisa, kan?”
“Aku juga tidak bilang
aku sewot.”
Bastian selalu pandai
membuatku memutar bola mata. Tapi, dia tidak pernah sadar bahwa aku senang memperhatikannya
merapikan rambut panjangnya seperti yang sekarang sedang ia lakukan. Ia punya
rambut hitam sebahu, sama sepertiku. Matanya sipit seperti keturunan Tionghoa.
Walau pada kenyataannya dia keturunan Sunda. Dan, tinggi badannya lebih dari
seratus tujuh puluh lima senti. Ia juga punya gigi yang menarik
perhatianku—selain rambut panjangnya. Gigi atasnya sempat patah sewaktu ia
kecil. Tapi itu malah membuatnya semakin menarik. Kalau ia tertawa, siapapun
akan selalu ingat dengan deretan giginya yang khas.
“Tidak bisakah kita
bertemu tanpa ada perdebatan?”
“Kau yang mulai.”
“Aku memulai apa?”
“Perdebatan. Seperti
katamu tadi.”
“Aku tidak ada niat
untuk berdebat.”
“Cukup, Ed. Sekarang
malah kau benar-benar ingin kita berdebat. Apa sih maumu?”
Rahang Bastian tampak
mengeras. Ia berhenti merapikan rambutnya, lalu menarik napas panjang dan
kemudian membanting punggungnya ke sandaran sofa. “Maaf.”
“Kau tahu apa mauku.”
Aku menunduk. Mataku menatap lurus ke arah laptop di atas meja. Meski kutahu
pikiranku tidak akan sepenuhnya tertuju pada laptop itu.
***
Aku mencoba mengatur
napas untuk menetralkan diriku sendiri. Berbeda dengan Bastian yang selalu
terlihat tenang dan santai, sekalipun sedang berselisih paham atau bertengkar
dengan orang lain. Aku lebih mudah panik dan gelisah. Tapi, bukan berarti aku
juga ceroboh. Setidaknya otakku masih bisa berjalan dengan baik saat sedang
panik.
Setelah Bang Jun
mengantarkan Alpucindo pesanan Bastian, aku berniat memulai pembicaraan.
Meskipun aku tidak yakin kalau obrolan kami tidak akan menimbulkan
perselisihan. Kami sama-sama orang yang tidak ingin kalah dalam berbicara.
Terlebih ketika bertukar paham tentang cara pandang masing-masing. Kadang
Bastian tidak setuju denganku dan bersikeras membenarkan argumennya. Begitupun
aku yang bisa lebih menegaskan kalau cara pandang punyaku lebih akurat
kebenarannya.
“Kopi dan karamel itu
menarik. Sudah terpikir untuk mengangkatnya jadi topik di deadline minggu depan?” tanya Bastian.
“Hm, belum. Aku hanya
mencatat Matcha Lava, Chick n Choc, dan KeBarb. Beberapa teman-temanku yang
merekomendasikannya. Tapi aku belum memilih satupun.”
“Sebagai penulis kolom
pemula, aku sarankan kau menulis sesuatu yang memang pernah kau rasakan
sendiri. Dari ketiga menu yang kau sebutkan tadi, apa sudah ada yang kau cicipi
sendiri?”
“Belum.”
“Aku sudah tahu. Turuti
saja. Kopi dan karamel cocok untukmu.”
Bastian ada benarnya.
Untuk menulis artikel dengan tema yang tidak kurasakan sendiri akan lebih
merepotkan. Belum lagi riset-riset yang harus dilakukan agar nilai
keakuratannya tinggi. Akhirnya, aku menuruti Bastian.
Topik mengenai
keserasian kopi dengan karamel memang lebih cocok denganku. Mengingat selama
berkunjung ke Jenggo aku hanya mau meminum Kopi Gulali. Espresso dengan
campuran karamel dan susu kental manis vanila yang dimix bersama es batu. Sederhana. Tapi rasa kopinya selalu rumit
untuk dijelaskan.
“Kopi itu pahit.
Karamel itu manis. Keduanya memiliki perbedaan sifat. Tapi, ketika mereka
dipadukan dalam satu gelas, kenapa hasilnya bisa membuat orang-orang jatuh
cinta pada mereka?” tanya Bastian. Ia mulai mengetesku dengan
pertanyaan-pertanyaan yang biasanya berfungsi untuk mengarahkanku pada apa yang
akan kutulis.
“Perbedaan tidak
selamanya berdampak negatif. Persamaan pun jika disatukan tidak selamanya
berdampak positif. Terlalu pahit tidak begitu menyenangkan. Begitu juga sebaliknya,
kalau terlalu manis itu tidak baik. Keduanya butuh penyeimbang untuk menjadi
satuan yang lebih menarik. Seorang barista adalah pencipta keduanya. Ia
memiliki aturan takaran yang pas agar kopi dan karamel tersebut menjadi selaras
satu sama lain. Jika kopi dan karamel itu sudah selaras, orang-orang pun
menjadi senang menikmatinya.”
Aku meneguk air mineral
untuk membasahkan tenggorokkan. Lalu aku melanjutkan, “Sama halnya seperti
sepasang manusia. Pada awalnya Tuhan menciptakan perbedaan diantara perempuan
dan laki-lakinya. Tapi dengan dipersatukannya mereka dalam sebuah ikatan suci
atas dasar takdir, maka mereka menjadi seimbang. Kalau mereka harmonis,
orang-orang yang melihatnya akan ikut merasa senang, kan?”
Bas tampak
memandangiku dengan seksama. Dengan tubuh yang condong ke depan dan siku
kanannya bertumpu di atas paha. Telapak tangannya menopang dagu dengan jari
telunjuk yang menyentuh bibir cokelatnya.
“Bagaimana kalau mereka
tidak harmonis?”
“Sudah kukatakan tadi,
barista memiliki aturan takaran yang pas. Dan, Tuhan memiliki aturan main yang
sempurna. Barista dan Tuhan adalah pemegang kendali sebuah keseimbangan yang
pastinya akan menimbulkan dampak yang baik. Tapi, Bas, aku tidak sedang
menyamakan Tuhan dengan seorang barista. Ini hanya sebuah perumpamaan. Kuharap
kau tidak salah paham.”
“Aku mengerti. Dan,
bagaimana jika sepasang manusia itu adalah kita? Kau dan aku?”
Bastian menatap lurus
padaku sambil meminum Alpucindo miliknya. Ia tetap tenang, sementara aku
berubah gusar. “Kita punya banyak perbedaan, bukan?”
Sial. “Seperti yang pernah kau ucapkan tempo
hari: kita adalah dua materi yang punya banyak perbedaan, tapi Tuhan sepertinya
tidak membuat resep untuk meracik kita menjadi satuan yang seimbang. Jadi,
kupikir kata sepasang tidaklah pas
untuk kita.”
Kuharap kalimatku
barusan bisa membuat Bastian memikirkan sesuatu.
Bastian kembali
bersandar di sofanya dengan satu kali hembusan napas. Matanya menerawang di
langit-langit kedai Jenggo yang banyak digantungi chandelier.
“Kau tampak menyesal,
Ed,” kata Bastian.
“Menyesal karena
seperti telah membenarkan apa katamu.”
“Sayangnya, tangan
barista dan tangan Tuhan membuat dua takdir yang berbeda.”
Tanpa terasa pipiku
basah berkat air mata yang turun begitu saja.
Bastian meneguk
minumannya dengan tenang. “Tolong jangan mengeluarkan air mata.”
Aku memberanikan mataku
beradu dengan mata Bastian. Kami bertatapan cukup lama. Aku berharap menemukan keinginan di bola matanya. Keinginan
untuk tetap bersama-sama denganku. Tapi, aku selalu sulit menemukan pikiran dan
perasaannya. Ia materi yang tidak mudah untuk diurai.
Kita punya banyak
perbedaan. Tapi, sayangnya kita tidak bisa seperti Kopi Gulali.
“Mungkin Tuhan punya resepnya. Hanya saja aku
bersikeras untuk keluar dari aturan main-Nya. Maaf, Ed.”
Aku masih ingin
berusaha agar tangisanku tidak semakin menjadi. Bertahan meskipun sesak. Menguatkan
hati
sendiri meskipun aku sadar ini adalah titik kelemahanku.
“Seorang barista membuat takdir mereka menjadi produk yang
memanjakan manusia lain,” lanjut Bastian. “Tapi, barista itu tidak pernah tahu apakah kopi dan gula cair itu
senang dipersatukan atau tidak. Berbeda
dengan Tuhan. Selain
menulis takdir, Dia juga membuat
nasib yang bisa diubah
oleh manusia-Nya. Semacam peluang. Mungkin inilah nasib kita. Kau
berasal dari keluarga ningrat, sementara aku berasal dari keluarga yang
identitasnya tidak pernah kuketahui. Tapi, mungkin saja ini takdir bahwa kita
memang tidak akan pernah menjadi satuan yang seimbang, seperti katamu. Manusia
tidak bisa melawan takdir, Ed.”
Dadaku tegang. Memandang
ke jendela
sambil mendengarkan Bastian. Tentu saja air mataku menetes satu persatu, namun
tidak begitu deras.
“Bas,” panggilku lirih.
Bastian terdiam
sejenak. Sampai akhirnya ia menjawab, “Aku menyayangimu. Bukan cuma cinta yang
didasari nafsu untuk memiliki. Setelah ini aku sadar, bahwa kita tidak bisa
disamakan dengan kopi dan karamel. Kita masih punya tangan dan kaki untuk
merubah nasib. Tapi kopi dan karamel, mereka tidak bisa mengelak dari takdir
yang mengubah mereka menjadi Kopi Gulali.”
“Kau lupa bahwa
aku tidak pernah mempermasalahkan keadaanmu, latarbelakangmu, statusmu.”
Bastian kini
terdiam lebih lama setelah tadi ia yang begitu mendominasi pertemuan kami kali
ini.
Setelah lima
menit berlalu dengan kekosongan, Bastian angkat bicara. “Aku benar-benar tidak
bisa.”
Namun aku merasa
sudah cukup tergores untuk mendengar penjelasannya. Khawatir pertahananku
rusak, aku mengalihkan pembicaraan kami pada topik lain. “Aku sudah mendapat
titik terang untuk kolom yang akan kutulis,” kataku sambil mengusap mata dan
pipi. “Sekarang aku tuliskan dulu poin-poinnya. Sampai di rumah akan
kukembangkan dan malam ini juga segera kukirimkan via email.”
Aku mendengar
suara parauku sendiri. Kini pandanganku kembali tertuju pada laptop dan mulai
sibuk memainkan jari di atas tuts hitamnya.
“Ed,”
“Nanti malam kau
bisa stay dengan inbox emailmu?” aku mencoba menghindari Bas yang tampak masih ingin
memperpanjang tentang kami. Ini sudah
cukup, Bas. Gumamku dalam hati.
Bastian mengangguk
lalu take a breath panjang. Wajahnya menoleh
ke kaca besar yang membatasi kafe dengan dunia luar. Ia sedang memperhatikan
orang-orang yang berjalan di trotoar. Diam-diam aku mengamatinya. Yang benar
saja, mana mungkin aku bisa fokus menulis dengan suasana hati yang tidak
teratur.

0 komentar:
Posting Komentar