Jumat, 29 April 2016

Beda: Fragmen 2


Source: http://www.monitorday.com

Kami memang sering mendebat hal-hal yang kami definisikan sendiri. Tidak ada yang rela kalah dalam setiap perdebatan kami. Aku dan Bastian sama-sama kuat dan berpegang teguh pada prinsip masing-masing. Sifat kami sama-sama keras dan sering berbenturan. Kukira begitu adanya. Karena itu hubunganku dengan Bastian tidaklah bertahan lama.
Perdebatan kami tadi sore tidak seperti biasanya membuatku sakit kepala. Aku mengambil aspirin di laci nakas samping tempat tidur. Mungkin rebahan beberapa menit bisa meredakan rasa sakit di kepalaku. Tentu malam ini aku harus segera membuat draft artikel untuk mengisi kolom majalah yang sudah kujanjikan pada Bastian. Kupikir hanya mengembangkan poin-poin yang sudah kutulis tadi sore tidak butuh waktu banyak.
Mataku terpejam sambil membayangkan poin-poin yang tadi kutulis. Aku merebahkan tubuh dengan meninggikan bagian kepala dengan dua lapis bantal. Sementara laptopku kusimpan di atas perut.
Sepertinya aku tertidur selama sepuluh menit. Aku tersadar ketika merasakan hawa dingin menjalar ke seluruh tubuh. Malam yang lebih dingin dari biasanya sampai menggigil. Rasa peningku pun masih berdenyut di ubun-ubun. Aku mencari remote AC untuk mematikan AC kamar. Kakiku mencoba menyentuh lantai sebelum benar-benar berdiri. Aku duduk di tepi ranjang dengan tubuh melengkung ke depan. Dingin. Dingin sekali.
Bersusah payah aku mendekati lemari untuk mengambil jaket. Aku tahu ada yang tidak beres dengan tubuhku. Sayangnya aspirin yang kuminum tidak menimbulkan reaksi apapun. Cara pencegahan lain yang kulakukan adalah memasang sugesti untuk tetap sehat.
Setelah mengenakan jaket dan mematikan AC, aku mencoba duduk tegap di atas ranjang dan menghadap laptop. Membuka file berisi poin-poin inti yang akan kukembangkan menjadi sebuah artikel. Namun, ketika mataku menangkap cahaya layar laptop di depanku, sakit kepala yang kurasakan makin bertambah dahsyat. Bahkan aku tidak dapat membaca tulisan di layar. Semua muncul bayangan. Sampai akhirnya gelap tanpa cahaya.
***
“Siapa yang tidak heran, Ed? Masih jam tujuh kau sudah susah dihubungi. Teleponku tidak kau angkat, SMS juga tidak ada balasan. Untung aku langsung inisiatif ke rumahmu.”
Suara Tiv yang nyaring sudah terdengar saat aku pertama kali membuka mata dan bertanya kenapa ia sudah ada di rumahku pagi-pagi sekali. Menurutnya, ia menemukanku tak sadarkan diri tadi malam. Suhu badanku tinggi. Benar, aku demam. Aku menemukan handuk kecil basah menempel di dahiku pagi ini.
“Kalau kau tidak kepepet pinjam kamera, kau tidak akan ada di sini sekarang, kan? Itu ada di meja. Tapi baterainya kosong.” Aku bergerak mengubah posisi tubuhku yang rasanya tidak ada energi yang tersisa.
“Jadi, mau berterimakasih atau tidak?” tanya Tiv sambil melipat tangan di depan dadanya.
“Apa aku juga akan dapat ‘terimakasih’ darimu?”
“Untuk apa?”
“Kameraku, Sayang.”
Kami berdua terkekeh.
Namun, tawaku langsung surut saat melirik laptop yang terbuka di atas nakas. Laptop itu mengingatkanku pada artikel yang belum kubuat tadi malam.
“Astaga! Bencana!” kataku sambil menepuk jidat.
“Apa?”
Pertanyaan Tiv tidak kuhiraukan. Laptop di atas nakas kuambil dan langsung kuhidupkan dari mode sleep. Kubuka situs Yahoo dan mengecek inbox email. Ternyata di sana berderet tiga surel dari Bastian. Surel pertama isinya:

From    : coco.bastian@yahoo.co.id
To        : edlised.liyuanita@yahoo.co.id
Subject : Reminder

Jangan lupa draftnya.
BUZZ
To infinity and beyond.

Surel pertama dikirim pukul 20.45. sementara surel kedua dan ketiga isinya kosong. Bastian hanya menulis di kolom subjeknya. Dikirim dengan jarak satu jam dari surel sebelumnya.

From    : coco.bastian@yahoo.co.id
To      : edlised.liyuanita@yahoo.co.id
Subject : Second Reminder

BUZZ
To infinity and beyond.


From    : coco.bastian@yahoo.co.id
To      : edlised.liyuanita@yahoo.co.id
Subject : Third Reminder

BUZZ
To infinity and beyond.


Sudah terbayang bagaimana raut wajah Bastian ketika kesal menunggu email dariku. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan sentakan. Dengan cepat aku meraih ponsel yang masih tersimpan di bawah bantal.
Sebelum mencari kontak Bastian, namanya sudah muncul lebih dulu di layar sebagai penelepon tak terjawab. Hanya satu kali di tengah malam. Jantungku berdetak makin cepat. Dengan hati was-was, aku menelepon lelaki itu.
Ya?” tanpa menunggu lama seseorang sudah menjawab teleponku. Suaranya yang dingin membuat bayanganku tentang wajah datarnya makin jelas.
“Apa kau akan menerima permintaan maafku?” kataku dengan sedikit hati-hati. Tiv menoleh ke arahku dari meja kerjaku ketika sedang memeriksa kamera.
Sementara aku menggigit bibir menunggu jawaban dari Bastian. Dia tidak akan meledak-ledak. Namun, satu kata yang keluar dari mulutnya akan terdengar sangat tajam ketika suasana hatinya sedang buruk. Aku jadi sibuk menata mentalku untuk menerima hardikannya.
Aku cuma mengingtakan.” ujarnya singkat.
“Pagi ini aku baru siuman. Semalam tidak sadarkan diri, begitu kata Tiv.” Kini giliranku yang menoleh ke arah Tiv.
Kambuh? Jangan memaksakan kalau begitu.
Aku membenci hal ini. Kalimatnya terdengar bernada lain saat sejak tadi aku mengkhawatirkan kata-kata tajam yang keluar dari mulutnya. Ia terdengar hangat meskipun sebenarnya dingin. Hatiku merasakan lain. Sial. “Cuma sebentar, Bas. Nanti siang juga baikan. Hari ini akan kuselesaikan.”
Jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu.”
“Aku mengerti.”
Telepon tertutup. Tanpa sadar aku mendesah. Entah senang karena mendapat sedikit perhatian, atau kecewa karena kebiasaan Bastian yang selalu menutup telepon lebih dulu tanpa kata penutup. Dulu Bastian tidak begitu, saat aku dan ia masih menjalin suatu hubungan. Astaga. Tidak disangka aku mengingat-ingat hal itu lagi. Ini sama saja menyiksa diriku sendiri. Sementara Bastian belum tentu juga masih mengenangnya.
“Bastian, Ed?” tanya Tiv sambil berjalan mendekatiku dengan kamera di tangannya.
Aku menjawabnya dengan dua kali anggukan kepala.
“Kukira kalian sudah tidak berhubungan lagi.” Tiv duduk di sebelahku.
“Dia yang menghubungiku duluan. Dia menawarkanku untuk menulis kolom di majalah terbitannya minggu lalu. Aku dan Bas memang masih keep contact. Tanya kabar Oma dan Wina. Bahkan sebelum kemarin bertemu pun kami memang sudah pernah bertemu beberapa kali di pameran foto Desta dan studionya Sakti. Tapi hanya bertemu sekilas. Tidak ada obrolan yang panjang.”
“Jadi kau bertemu dia kemarin? Bagaimana dia sekarang? Setelah wisuda aku belum pernah melihatnya lagi. Masih sipit?”
Aku tertawa pahit. “Rambutnya kembali seperti semula.”
“Akhirnya ia kembali memanjangkan rambutnya. Apa yang terjadi setelah kalian bertemu?” Tiv memajukan posisi duduknya sehingga kami saling berhadapan dengan jaraknya yang cukup dekat.
“Maksudmu?”
“Hatimu, Ed. Apa yang kau rasakan setelah pertemuan kalian?” matanya berkedip-kedip. Aku tahu ia sedang mencoba menggodaku.
“Kau tahu aku tidak pernah merasa biasa saja kalau bertemu dengan dia. Hanya saja…” aku menggantungkan kalimatku dan melihat reaksi Tiv yang tampak penasaran. “…aku tidak tahu bagaimana dengannya.” lanjutku dengan menundukkan kepala setelahnya.
Tiv mendesah dengan satu kali hembusan napas panjang. Ia menatapku prihatin. Tiv tahu banyak tentang perjalanan kisahku dengan Bastian. Dia tahu asam-manisnya kami dulu sewaktu kuliah. Sampai mungkin ia sudah kehabisan kata-kata untuk meladeniku saat menceritakan Bastian.

0 komentar:

Posting Komentar