![]() |
| Source: http://www.monitorday.com |
Kami memang sering mendebat hal-hal yang
kami definisikan sendiri. Tidak ada yang rela kalah dalam setiap perdebatan
kami. Aku dan Bastian sama-sama kuat dan berpegang teguh pada prinsip
masing-masing. Sifat kami sama-sama keras dan sering berbenturan. Kukira begitu
adanya. Karena itu hubunganku dengan Bastian tidaklah bertahan lama.
Perdebatan kami tadi sore tidak seperti
biasanya membuatku sakit kepala. Aku mengambil aspirin di laci nakas samping
tempat tidur. Mungkin rebahan beberapa menit bisa meredakan rasa sakit di
kepalaku. Tentu malam ini aku harus segera membuat draft artikel untuk mengisi kolom majalah yang sudah kujanjikan
pada Bastian. Kupikir hanya mengembangkan poin-poin yang sudah kutulis tadi
sore tidak butuh waktu banyak.
Mataku terpejam sambil membayangkan
poin-poin yang tadi kutulis. Aku merebahkan tubuh dengan meninggikan bagian
kepala dengan dua lapis bantal. Sementara laptopku kusimpan di atas perut.
Sepertinya aku tertidur selama sepuluh
menit. Aku tersadar ketika merasakan hawa dingin menjalar ke seluruh tubuh. Malam
yang lebih dingin dari biasanya sampai menggigil. Rasa peningku pun masih
berdenyut di ubun-ubun. Aku mencari remote AC untuk mematikan AC kamar. Kakiku mencoba
menyentuh lantai sebelum benar-benar berdiri. Aku duduk di tepi ranjang dengan
tubuh melengkung ke depan. Dingin. Dingin sekali.
Bersusah payah aku mendekati lemari
untuk mengambil jaket. Aku tahu ada yang tidak beres dengan tubuhku. Sayangnya aspirin
yang kuminum tidak menimbulkan reaksi apapun. Cara pencegahan lain yang
kulakukan adalah memasang sugesti untuk tetap sehat.
Setelah mengenakan jaket dan mematikan
AC, aku mencoba duduk tegap di atas ranjang dan menghadap laptop. Membuka file berisi poin-poin inti yang akan
kukembangkan menjadi sebuah artikel. Namun, ketika mataku menangkap cahaya
layar laptop di depanku, sakit kepala yang kurasakan makin bertambah dahsyat. Bahkan
aku tidak dapat membaca tulisan di layar. Semua muncul bayangan. Sampai akhirnya
gelap tanpa cahaya.
***
“Siapa yang tidak heran, Ed? Masih jam
tujuh kau sudah susah dihubungi. Teleponku tidak kau angkat, SMS juga tidak ada
balasan. Untung aku langsung inisiatif ke rumahmu.”
Suara Tiv yang nyaring sudah terdengar saat
aku pertama kali membuka mata dan bertanya kenapa ia sudah ada di rumahku
pagi-pagi sekali. Menurutnya, ia menemukanku tak sadarkan diri tadi malam. Suhu
badanku tinggi. Benar, aku demam. Aku menemukan handuk kecil basah menempel di
dahiku pagi ini.
“Kalau kau tidak kepepet pinjam kamera,
kau tidak akan ada di sini sekarang, kan? Itu ada di meja. Tapi baterainya
kosong.” Aku bergerak mengubah posisi tubuhku yang rasanya tidak ada energi yang
tersisa.
“Jadi, mau berterimakasih atau tidak?” tanya
Tiv sambil melipat tangan di depan dadanya.
“Apa aku juga akan dapat ‘terimakasih’
darimu?”
“Untuk apa?”
“Kameraku, Sayang.”
Kami berdua terkekeh.
Namun, tawaku langsung surut saat
melirik laptop yang terbuka di atas nakas. Laptop itu mengingatkanku pada
artikel yang belum kubuat tadi malam.
“Astaga! Bencana!” kataku sambil menepuk
jidat.
“Apa?”
Pertanyaan Tiv tidak kuhiraukan. Laptop di
atas nakas kuambil dan langsung kuhidupkan dari mode sleep. Kubuka situs Yahoo dan mengecek inbox email. Ternyata di sana berderet tiga surel dari Bastian. Surel
pertama isinya:
From : coco.bastian@yahoo.co.id
To : edlised.liyuanita@yahoo.co.id
Subject : Reminder
To : edlised.liyuanita@yahoo.co.id
Subject : Reminder
Jangan
lupa draftnya.
BUZZ
To infinity and beyond.
To infinity and beyond.
Surel pertama dikirim pukul 20.45.
sementara surel kedua dan ketiga isinya kosong. Bastian hanya menulis di kolom
subjeknya. Dikirim dengan jarak satu jam dari surel sebelumnya.
From : coco.bastian@yahoo.co.id
To : edlised.liyuanita@yahoo.co.id
Subject : Second Reminder
To : edlised.liyuanita@yahoo.co.id
Subject : Second Reminder
BUZZ
To infinity and beyond.
To infinity and beyond.
From : coco.bastian@yahoo.co.id
To : edlised.liyuanita@yahoo.co.id
Subject : Third Reminder
To : edlised.liyuanita@yahoo.co.id
Subject : Third Reminder
BUZZ
To infinity and beyond.
To infinity and beyond.
Sudah terbayang bagaimana raut wajah
Bastian ketika kesal menunggu email dariku. Aku menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya dengan sentakan. Dengan cepat aku meraih ponsel yang masih
tersimpan di bawah bantal.
Sebelum mencari kontak Bastian, namanya
sudah muncul lebih dulu di layar sebagai penelepon tak terjawab. Hanya satu
kali di tengah malam. Jantungku berdetak makin cepat. Dengan hati was-was, aku
menelepon lelaki itu.
“Ya?”
tanpa menunggu lama seseorang sudah menjawab teleponku. Suaranya yang dingin
membuat bayanganku tentang wajah datarnya makin jelas.
“Apa kau akan menerima permintaan
maafku?” kataku dengan sedikit hati-hati. Tiv menoleh ke arahku dari meja
kerjaku ketika sedang memeriksa kamera.
Sementara aku menggigit bibir menunggu
jawaban dari Bastian. Dia tidak akan meledak-ledak. Namun, satu kata yang
keluar dari mulutnya akan terdengar sangat tajam ketika suasana hatinya sedang
buruk. Aku jadi sibuk menata mentalku untuk menerima hardikannya.
“Aku cuma mengingtakan.” ujarnya singkat.
“Pagi ini aku baru siuman. Semalam tidak
sadarkan diri, begitu kata Tiv.” Kini giliranku yang menoleh ke arah Tiv.
“Kambuh?
Jangan memaksakan kalau begitu.”
Aku membenci hal ini. Kalimatnya
terdengar bernada lain saat sejak tadi aku mengkhawatirkan kata-kata tajam yang
keluar dari mulutnya. Ia terdengar hangat meskipun sebenarnya dingin. Hatiku merasakan lain. Sial. “Cuma sebentar, Bas. Nanti siang juga baikan. Hari ini akan
kuselesaikan.”
“Jangan
salahkan aku jika terjadi sesuatu.”
“Aku mengerti.”
Telepon tertutup. Tanpa sadar aku
mendesah. Entah senang karena mendapat sedikit perhatian, atau kecewa karena
kebiasaan Bastian yang selalu menutup telepon lebih dulu tanpa kata penutup. Dulu
Bastian tidak begitu, saat aku dan ia masih menjalin suatu hubungan. Astaga. Tidak
disangka aku mengingat-ingat hal itu lagi. Ini sama saja menyiksa diriku
sendiri. Sementara Bastian belum tentu juga masih mengenangnya.
“Bastian, Ed?” tanya Tiv sambil berjalan
mendekatiku dengan kamera di tangannya.
Aku menjawabnya dengan dua kali anggukan
kepala.
“Kukira kalian sudah tidak berhubungan
lagi.” Tiv duduk di sebelahku.
“Dia yang menghubungiku duluan. Dia menawarkanku
untuk menulis kolom di majalah terbitannya minggu lalu. Aku dan Bas memang
masih keep contact. Tanya kabar Oma
dan Wina. Bahkan sebelum kemarin bertemu pun kami memang sudah pernah bertemu
beberapa kali di pameran foto Desta dan studionya Sakti. Tapi hanya bertemu
sekilas. Tidak ada obrolan yang panjang.”
“Jadi kau bertemu dia kemarin? Bagaimana
dia sekarang? Setelah wisuda aku belum pernah melihatnya lagi. Masih sipit?”
Aku tertawa pahit. “Rambutnya kembali
seperti semula.”
“Akhirnya ia kembali memanjangkan
rambutnya. Apa yang terjadi setelah kalian bertemu?” Tiv memajukan posisi
duduknya sehingga kami saling berhadapan dengan jaraknya yang cukup dekat.
“Maksudmu?”
“Hatimu, Ed. Apa yang kau rasakan
setelah pertemuan kalian?” matanya berkedip-kedip. Aku tahu ia sedang
mencoba menggodaku.
“Kau tahu aku tidak pernah merasa biasa
saja kalau bertemu dengan dia. Hanya saja…” aku menggantungkan kalimatku dan
melihat reaksi Tiv yang tampak penasaran. “…aku tidak tahu bagaimana dengannya.”
lanjutku dengan menundukkan kepala setelahnya.
Tiv mendesah dengan satu kali hembusan
napas panjang. Ia menatapku prihatin. Tiv tahu banyak tentang perjalanan
kisahku dengan Bastian. Dia tahu asam-manisnya kami dulu sewaktu kuliah. Sampai
mungkin ia sudah kehabisan kata-kata untuk meladeniku saat menceritakan
Bastian.

0 komentar:
Posting Komentar