Kamis, 01 Oktober 2015

Partikel Gayo






     Joy hafal betul pesananku. Ketika aku datang dia sudah melempar senyum dan menghampiri mejaku. Entah kenapa aku menyukai senyumnya. Joy cantik walaupun badannya agak gemuk. Bahkan ia sampai tidak memakai celemeknya dengan alasan talinya kurang panjang sehingga tidak bisa terikat di pinggangnya.

     “Kali ini roti gandum dambaanmu ready, Gris. Kalau sepuluh menit lagi kau tidak datang, kau kehilangan kesempatan lagi.”
     “Sayang sekali, Joy. Kali ini aku sedang tidak ingin makan roti gandum.”
     “Hm,” Joy mendengus. “Giliran ada barang, selera menghilang. Baiklah, satu Affogato akan segera datang.” Joy buru-buru menjauh dari mejaku. Tapi, kemudian tanganku keburu mencegahnya.
     “Tunggu dulu. Aku mau pesan beberapa. Nanti kupanggil kau, ya.”
Joy tersenyum dengan berkerut dahi. Kebingungan. “Oke.”
     Aku melirik ke luar. Rendra sudah selesai memarkirkan motornya. Dia tidak tahu kalau aku sedang memperhatikan caranya berjalan. Masih sama dengan beberapa bulan yang lalu. Gaya berpakaiannya pun tidak berubah. Tapi, caranya menyisir rambut sepertinya telah berevolusi. Belah samping dan disisir ke belakang. Sedikit mengkilap berkat gel yang dipolesnya. Tidak banyak, tapi cukup berpengaruh. Rambutnya berwarna hitam legam. Panjangnya masih sama—segitu aja. Kalau dulu aku lebih suka rambutnya yang sedikit panjang tapi tidak gondrong. Tidak suka rambut cepak apalagi botak. Aku pernah melarangnya bercukur. Tapi, akhirnya dia tidak nurut.
     Masih ada status hubungan atau tidak, aku tidak pernah berhak mengaturnya. Karena aku sendiri pun tidak begitu senang diatur. Seingatku, aku tidak pernah menuntut apapun darinya. Dia bisa bebas melakukan apa saja bahkan tanpa seizinku. Aku pernah berkata padanya, ‘bertindaklah dengan hati saat bersamaku, tidak akan ada tali yang kubawa untuk mengekangmu, kecuali tali yang mengikatmu untuk tetap menjadi kita’.
     “Ini menunya.”
     “Sepertinya tidak ada tanda-tanda akan hujan. Padahal bulan depan sudah musimnya.”
    “Oktober masih empat hari lagi. Bisa saja tahu-tahu tanggal satu langsung hujan lebat. Cepat pesan sesuatu.”
Rendra membaca satu per satu menu yang tertera di karton hitam berlapis mika yang sudah dipres. Hidungku mengendus sesuatu yang berbau wangi. Calvin Klein. Rupanya dia mengganti Bvlgari Aqua yang dulu jadi parfum idolanya. Dua poin yang berubah dalam dirinya. Dan, diam-diam aku menerka sesuatu yang sedikit sensitif. How about him feelings?
     “Pesan saja yang recomended menurutmu.”
     “Mau ice atau hot?”
     “Menurutmu apa yang cocok di siang bolong begini? Matahari lagi sombong-sombongnya di langit, tuh.”
     Aku melambai pada Joy yang sedang berdiri di belakang mesin kasir. Dia menoleh, lalu bergegas menghampiriku dengan membawa bloknot dan pulpen. Lagi-lagi dia berjalan sambil tersenyum. Dan, tiba-tiba ada kekhawatiran yang menyelundup. Joy bisa saja menarik Rendra untuk masuk dalam hidupnya detik ini juga, jika ia terus tersenyum seperti itu. Sial. Ketakutan ini harusnya tidak perlu ada.
     “Satu Affogato, satu Vanilla Ice, dan dua Spaghetti Aglio Olio.”
     “Noted. Who’s the guy, Gris?”
     “He’s a man in the past,” kataku sambil berbisik.
     Joy memberi tatapan menggoda sebelum pergi.
***
     Sudah terbayang apa yang akan menjadi topik di pertemuan ini. Pekerjaan, kuliah, kesibukkan terbaru, dan segala pertanyaan basa-basi lainnya. Sebisa mungkin aku bersikap easy di depannya. Tapi, sama saja. Melihat bola matanya beberapa detik tetap tidak bisa membuatku tenang.
     “Grisel, kau tidak bilang kalau pasta ini pedas.”
     Rendra terlihat meremas perutnya. Dan, mendadak rasa bersalah menyergap. Ternyata selama ini aku tidak pernah tahu kalau dia anti cabai.
     “Kau tidak pernah bilang, Ren.” Aku masih saja begini. Tidak pernah memperlihatkan rasa bersalah sekecil apapun padanya. Ya, memang benar, kan? Dia sendiri yang tidak pernah bilang hal ini sejak dulu. Kalau ditanya, ‘kenapa kau tidak tanya dulu, Gris?’, jawabannya, ‘karena aku hanya ingat kalau laki-laki kebanyakan lebih suka cabai dibanding perempuan.’
     “Mau coba Affogato punyaku? Es krimnya bisa bikin pedas di lidahmu sedikit menghilang.”
     “Itu dicampur apa?”
     “Ini espresso. Rasanya sedikit pahit.”
Rendra menyendok ‘kuah’ Affogato ke dalam mulutnya. Tidak butuh satu menit, ia langsung bergidik dan menyingkirkan mangkuk Affogato dari hadapannya. “Bukan sedikit, Gris. Ini terlalu.”
     “Makan bareng es krimnya, dong!”
     “Kenapa pesananmu tidak ada yang memuaskan, sih?”
     “Lidahmu saja yang terlalu manja. Kau mau jamurnya? Aku tidak suka jamur.”
     “Aku baru tahu kau tidak suka jamur.”
     Kalimatnya menyadarkanku sekali lagi, bahwa kita memang tidak pernah saling mengenal satu sama lain. Selama kami menjadi sepasang kekasih, dulu, aku tidak benar-benar tahu tentang dirinya. Begitupun sebaliknya. Hubungan kita memang terlalu singkat. Pertemuan kami pun tidak membuahkan pengetahuan yang banyak. Aku tahu nama panjangnya, alamat rumahnya, merk motornya, dan nomor ponselnya. Di luar itu, semua tampak seperti rahasia tanpa mengundang rasa penasaran.
Ini sama saja aku menghabiskan dua piring pasta. Rendra hanya memasukkan satu suapan Aglio Olio ke dalam mulutnya. Sementara jamur yang bercampur di pasta itu menjadi jatah untuknya.
     “Mau pesan lagi? Aku masih punya banyak waktu di sini.” Rendra mengambil kembali daftar menu dan membacanya satu per satu.
     “Gayo.”
     Rendra melirik padaku.
     “Itu kopi Sumatera. Tepatnya dari Aceh. Jangan tanya rasanya karena aku tidak tahu.”
     “Kenapa Gayo? Kenapa tidak coba Papua Coffee, Florest Coffee,”
     “Penulis favoritku yang merekomendasikannya di salah satu novelnya.”
***
     Aku mencoba menikmati setiap detik yang kami lewatkan. Kuakui, ada sedikit kerinduan, memang. Ia menguar bersama kepulan dari cangkir Gayo di tengah-tengah kami. Jika aku dengan mudah mengecap jenis kopi baru, untuk sebuah rindu, tidak mudah dikecap untuk sampai pada kesimpulan. Buktinya, sejak awal aku duduk berhadapan dengannya di Kopi Kayu ini, baru beberapa menit kemudian aku menyimpulkan bahwa aku disergap rindu.
     “Kenapa kau suka pahitnya kopi?”
     “Simple. Ini lebih nikmat dibanding pahitnya kehidupan.”
     Rendra tertawa. “Apakah kadar pahit kopi yang diminum seseorang, menggambarkan kalau pahit kehidupannya berkadar sama?”
     “Aku tidak tahu soal itu. Tapi, kalau itu benar, berarti orang yang suka sekali minum susu, hidupnya selalu manis. Begitu? Ah, not sense. Bagaimana dengan aku yang tidak terlalu suka susu? Apa aku akan dianggap orang yang hidupnya pahit dan kelam?”
     Rendra tertawa lagi. Kali ini lebih keras sampai mengundang perhatian pengunjung Kopi Kayu lainnya.
     “Kopi hitam? Kita mendadak jadi dukun.”
     Gayo di tengah-tengah kami telah sedikit menurun suhunya. Aku menyendoki sedikit dan memasukkannya ke dalam mulut. Mencoba meresapi partikel-partikel pahit bercampur asam yang membasahi lidah. Menyendokkannya sekali lagi, lalu berkata, “Ini lebih pahit dari hidupku.”
     Joy menyediakan sebungkus brown sugar dan delapan gram gula pasir. Aku memasukkan keduanya sekaligus tanpa berpikir panjang. Lalu, menyendokkan lagi air hitam di cangkir porselin itu ke dalam mulut. Masih dengan cara yang sama untuk meresapi rasanya.
     “Katakan sesuatu, Gris!”
Aku membuka mata dan melihat Rendra yang tidak sabar menunggu pernyataan dariku. Dengan tenang aku menjawab, “Kau tidak akan tahu seberapa pahitnya kopi, kalau tidak mencicipinya sendiri. Sama seperti hidup. Cicipilah sendiri!”
     Rendra merebut sendok kecil di tanganku dan mulai memasukkan Gayo ke dalam mulutnya. Seketika ia bergidik lebih keras daripada saat dia menyicip Affogato milikku tadi.
     “Aneh. Ada asam-asamnya. Kau berani habiskan ini?”
     Awalnya aku ragu. Jujur, rasanya memang aneh. Dan, selamanya mungkin aku tidak akan menyukai Gayo. Mendadak mulutku berkata, “Siapa takut!”
     Dalam hitungan detik, aku berhasil meneguk setengah cangkir Gayo tanpa bernapas. Cairan hitam itu masuk begitu saja melewati tenggorokkan tanpa aku izinkan mengalir lambat melewatinya agar tidak terlalu terasa. Tapi, sia-sia saja. Rasa asamnya tetap tersisa di sela-sela gigi.
     “Mau bilang aku jagoan?”
     Sebisa mungkin kutahan ekspresi wajahku yang bisa saja mendadak terlihat payah setelah meminum kopi khas Aceh tersebut.
     “Aku tahu kau orang yang kuat.”
     Dan, muncul rasa hangat tiba-tiba yang menghilangkan pahit bercampur asam di lidahku. Menggelitik perut bagian terdalam. Mempercepat pacu jantung tanpa ritme yang teratur. Entah bergetar karena kafein Gayo yang tidak cocok dengan tubuhku, atau karenanya yang diam-diam menghangatkanku kembali.

Adam Yang Terakhir

Source: www.hipwee.com


     Aku mencintainya bukan berdasar pada rasa kasihan. Meski Adam sempat menuduhku demikian, apapun caranya kulakukan untuk membuktikan bahwa aku punya rasa ikhlas dan tulus. Kupikir sampai detik ini ia telah percaya dengan segala upayaku meyakinkannya. Tiap selasa sampai kamis, saat malam, ia selalu datang ke rumah untuk sekadar menemaniku mengecat kanvas di studio pribadiku. Kami bercerita, tertawa, kadang juga bercinta. Hingga saat aku mencium bibirnya, kuharap ia bisa merasakan ketulusan yang kupunya.
     Setiap minggu pagi ia rajin membawakanku panekuk untuk di makan berdua. Di atas meja makan yang sama, dengan isi piring yang sama, aku bisa merasakan ia memperhatikanku sejak duduk di seberangku. Aku menyirami dua lembar panekuk yang bertumpuk dengan saus stoberi—favoritku. ‘Mau juga?’ kataku sambil mengacungkan botol saus. Adam mengangguk, diikuti dengan tanganku yang bergoyang di atas panekuk miliknya. ‘Kenapa kau ini?’ tanyaku. ‘Kenapa apanya?’ Aku memutar bola mata karena Adam malah balik bertanya.
     Sampai panekuk itu habis, Adam tidak berkata apa-apa lagi. Ia pun tidak memperhatikanku atau bahkan melirik ke depan barang sekejap. Giliran aku yang memperhatikannya mengelap sudut-sudut bibirnya yang sedikit berlumur saus stoberi. ‘Jehan, berhenti menatapku seperti itu.’ Akhirnya Adam mau membuka mulutnya. Kurasa, ia tidak pernah mempermasalahkan berbicara saat makan. Kadang kami tertawa terbahak-bahan saat makan panekuk yang sama, sampai salah satu diantara kami tersedak lalu berhenti makan. Tapi minggu pagi kali ini Adam tampak lain.
‘Tidak ada yang ingin kau katakan padaku?’
     Adam kembali menatapku—lebih dalam. Ia beranjak dan memutari meja makan. Berlutut di depanku yang masih memperhatikan gerak-geriknya di atas kursi. Adam mengecup bibirku.
Tidak. Dia melumatnya dengan serakah. Makin memburu dan menuntut sambil menggiringku ke kamar dengan gemetaran. Aku tidak mengerti dengan apa yang sedang dipikirkannya, hingga aku dikalahkan oleh napsunya.
***
     Sekali lagi, Adam mengecup keningku dengan lembut. Sampai pada detik itu, aku belum menemukan alasan di balik kenikmatan yang terkesan tiba-tiba. Aku tidak bertanya pada Tuhan. Memang kuakui dalam keadaan seperti itu jarang sekali mengingat-Nya. Aku lupa dengan segala hal termasuk perubahan Adam sejak tadi pagi. Dia keluar, mungkin pergi ke toilet di samping kamar. Aku masih terbaring menghadap chandelier yang menggantung di langit-langit. Dan, entah kenapa mendadak aku ingat Tuhan. Lalu aku berbisik dalam hati, ‘I love him, God.’
     Kaus yang tadi kutanggalkan terlempar tidak jauh dari ranjang. Aku kembali ke meja makan. Menunggu Adam keluar dari toilet. Lalu, aku sadar ada sebuah amplop cokelat ukuran F4 di ujung meja. Tidak ada tulisan apapun di amplop itu. Seingatku tidak ada amplop di meja saat aku dan Adam sarapan panekuk, aku mencari isinya karena penasaran. Dan, kemudian tanganku menemukan benda agak keras saat merogoh ke dalamnya.
     Entah terbuat dari apa, kutahu itu sebuah undangan. Bentuknya persegi sama sisi, sekitar lima belas kali lima belas. Berwarna dasar magenta dan terdapat ukiran nama berwarna emas; Adam dan Grace.
***
     “Jehan, Sayangku. Kau boleh membenciku setelah ini. But, in fact, i’ve left you. Kau juga boleh tidak datang pada pernikahanku minggu depan. Untuk alasannya, ini menyangkut keluargaku. Tentang Grace, dia berasal dari keluarga konglomerat. Hampir setengah hartanya akan jadi milikku. Bisa kuberikan untuk orang tuaku—setidaknya begitulah isi dalam surat perjanjian keluargaku dan keluarganya. Orang tuaku butuh uang, dan kau tahu papaku tidak pernah setuju dengan hubungan kita. Dia tidak mengharapkan seorang pengecat kanvas yang belum pernah tembus pameran berskala nasional sekalipun. Aku tahu, aku tak pantas berkata ini mengingat aku lebih miskin darimu, Sayang. Dan, kau pun selalu meyakinkanku bahwa kau punya rasa ikhlas dan tulus. Kuharap kau membenciku atas ucapanku ini. Karena dengan begitu kau bisa benar-benar melepaskan aku. Lupakan saja apa yang telah kita lakukan, terutama hal yang baru saja terjadi tadi pagi.
Aku Adam Reksa. Yang telah berakhir di atas ranjang bersamamu. Lelaki yang—pernah—mencintaimu. Selamat tinggal, Jehan.”
     Tulisan tangannya memang selalu rapi. Kuduga Adam telah mempersiapkan surat ini jauh-jauh hari. Apakah ia tahu kalau tanganku akan gemetar saat membacanya? Tidak hanya itu, dia harusnya tahu reaksi apa yang akan terjadi setelah suratnya sampai padaku. Selama ini tidak pernah terlihat tidak baik-baik saja. Hatiku juga tidak pernah disergap kekhawatiran akan kehilangan Adam. Hari-hariku, akhir pekanku, selalu berjalan dengan baik tanpa terlihat gelagat akan dilupakan—atau sebutan kasarnya adalah dicampakkan—dengan ritual perpisahan semacam ini.
     Memang aku hanyalah pengecat kanvas yang belum punya nilai jual tinggi. Papanya benar, atau mungkin Adam juga berpikir demikian. Siapalah aku ini? Meskipun punya studio melukis pribadi, tetap saja kanvas-kanvas bergambar yang berjejer di dalamnya belum pernah ada yang bisa kupamerkan di segala macam exhibition. Lukisanku tidak berkelas, tidak ada nilai apapun. Begitukah yang kau dan papamu pikirkan, Adam?
     Kukira, mungkin ketulusan tidaklah cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan. Materi pun ikut berperan sebagai komposisi. Ya, memangnya siapa yang butuh cinta? Sampai mati sekalipun, lagi-lagi materi dan kelas sosial lebih penting untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam sebuah hubungan. Anak cucu manusia selanjutnya tidak akan mengenal apa itu cinta—dalam konteks yang sejati dan abadi. Semesta perlahan menenggelamkan moral dan kebajikkan, lalu seiring bergantinya waktu, ia mengenalkan kembali paham-paham Marxis, Leninisme, sampai Machiavelli untuk menghalalkan segala cara. Manusia akan lebih agresif dalam mengejar kelas tertinggi dan kembali terbelah antara borjuis dan proletar. Tidak tahu apa itu kasihan, apa itu kasih sayang, apa itu ketulusan. Zaman akan membuat manusia baru lupa dengan apa yang benar-benar kekal dan abadi.
     Tuhan. Aku jadi lebih sering mengingat Penciptaku di saat aku melihat Adam yang terakhir. Mungkin aku tidak akan lagi melihat Adam selamanya. Percuma jika mulutku mengucap serapah, atau mengisolasi diri dan memilih berlipat kaki di dalam kamar. Dia tidak akan kembali. Oh, aku baru sadar bahwa aku adalah seorang pengecat kanvas yang jarang sekali mengingat apalagi patuh pada penciptanya.
     Aku menangis. Aku membatu.