Minggu, 15 Juni 2014

Happy Father's Day: Panggil Dia Bapak



Bapak.
Begitu panggilan untuk sosok bersahaja dalam keluargaku. Yang bertugas memimpin keluarganya menjadi sakinah, mawaddah dan warahmah. Yang selalu setia pada anak dan istrinya.

Bapak.
Seringkali aku meneteskan air mata ketika memperhatikan tirus wajahnya. Tulang yang menonjol tanpa daging dipipi dan dagu, mata yang mulai sayu, dan helai-helai rambut yang tak lagi hitam. Padahal usianya terus bertambah, tapi beliau masih rela banting tulang kesana-kemari. Bahunya begitu kokoh menopang beban. Tangan dan kakinya sangat kuat membawa sebongkah harapan keluarganya, dan hatinya, terlalu naif untuk  mengeluhkan semua kepahitan hidupnya.

Aku tahu dalam hati ia berkata: Aku sudah lelah. Tapi tentu ia kembali melihat anak dan istrinya. Jika beliau menyerah lalu berhenti, lantas siapa yang akan memimpin keluarga ini?
Meski terkadang ia sangat menyebalkan, bahkan sampai aku berani bertindak tak sopan, ia masih saja sudi mengasihiku. Padahal aku sering membuatnya kesal, marah, jengkel, tapi ia tak pernah menyerah menasihatiku dari kecil hingga saat ini.

Delapan belas tahun lamanya hidup bersama. Semua keburukkanku sangat ia hafal tentunya. Tapi bodoh! Mengapa aku tidak pernah meminta maaf padanya? Yang aku lakukan cuma merasa bersalah dalam diam, lalu menganggap ia telah memaafkanku.

Bapak.
Orang yang selalu mendukungku dalam bidang agama. Yang selalu mendorong untuk lebih sukses darinya dengan memaksaku bekerja di kantoran. Ia tak ingin aku menderita dalam pabrik seperti dirinya. Ia menginginkan aku  agar bisa dipandang orang, bukan dikucilkan atau tak dianggap. Ia ingin agar semua orang melihatku sukses menjadi orang besar.

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menggambarkan kecintaanku ini. Mungkin tidak sebesar cintanya padaku. Sebab aku masih saja mendustakan kasih sayangnya yang sudah jelas-jelas semua tercurahkan untukku.

Bapak.
Lelaki dengan perannya yang luar biasa hebat dalam kisah hidupku. Tanpa tangan dan kakinya, tanpa usaha dan do’anya, aku tak akan bisa bernapas panjang di dunia. Bahkan menulis surat ini pun tidak akan berhasil tanpa sosoknya yang menjadi inspirasi disetiap kalimatku.

Terimakasih, Bapak. Maafkan aku yang belum mampu membalas kebaikkanmu. Selebihnya, biar Tuhan yang mengaturnya. Aku sayang padamu...

Sabtu, 14 Juni 2014

CERPEN: Kita Bukan Lagi "Kita"



                Beberapa minggu ini Yessa kehilangan jejak Radit. Tak ada kabar apapun tentangnya. Bahkan ia tidak juga melihat nama Radit di beranda facebook-nya. Sesekali ia mengintip kronologi kekasihnya itu ketika online. Harap-harap ada sebuah status yang tercantum di sana dalam waktu yang baru-baru ini. Kendati matanya hanya melihat aktivitasnya pada waktu tiga minggu yang lalu.
                Status itu Radit buat ketika akan melaksanakan tes kerja. Yessa ingat saat Radit meminta doa sebelum masuk ruangan. Ia setia menunggu di lobby perusahaan hingga tiga jam lamanya. Sampai akhirnya, hasilnya pun berhasil. Radit lolos semua tahapan dalam tes pekerjaannya itu.
                “Mungkin pekerjaannya banyak, jadi dia tidak sempat menghubungimu”, ujar Puri mencoba menenangkan sahabatnya.
                “Apa dalam waktu dua puluh empat jam, tidak ada satu menit pun untuk sekedar menyapa lewat SMS?” Yessa masih menatap lurus ke arah laptopnya.
                “Coba berpikir positif, Sa.”
                “Ini sudah terlihat negatif, Pur. Ini aneh. Ke mana dia? Sudah tiga minggu aku tidak tahu bagaimana kabarnya”, suara Yessa terdengar berat menahan tangis. Puri tahu bagaimana perasaan Yessa sekarang ini. Mungkin semacam ‘digantung’ dalam hubungannya dengan Radit. Yessa sendiri bertanya-tanya. Apa ada yang salah denganku?
***
                Belakangan ini Yessa sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya di unit kemahasiswaan INKOM. Setidaknya pikirannya sedikit bisa beralih dari kegalauan yang sedang melandanya saat ini.
                Berhubung ini tahun ajaran baru, Yessa disibukkan dengan proses penerimaan anggota INKOM baru. Wajah-wajah polos para calon anggota yang terlihat masih sangat belum pantas menjadi seorang mahasiswa membuatnya tertawa geli. Yessa dan Puri sering membicarakan adik-adik barunya yang kerap bertingkah aneh saat ospek dan pelantikkan anggota.
                Yes. Kau tahu Balon baru yang bernama Michaell Chad?” Tanya Puri sambil menyodorkan tropical float.
                “Hm…” Yessa bergumam sambil berlagak berpikir. “Mahasiswa baru yang bule itu, ya?”
                “Iya. Bagaimana menurutmu?” Puri menyesap float-nya.
                “Hm…” Yessa kembali bergumam. “Lumayan. Lumayan tampan. Baru saja aku mau bertanya padamu. Dan sepertinya, aku tertarik dengan bocah bule itu.”
                “He? Kau menyukainya? Bersiaplah, kau akan punya saingan banyak. Kakak-kakak senior kita pun menyukai Chad.”
                “Nama panggilannya Chad? Aha! Untuk mendekatinya sangat mudah, Pur. Aku ini personalia INKOM. Dia terdaftar sebagai calon anggota. Jadi…kau mengerti maksudku, kan?” Yessa mengerlingkan mata penuh arti.
                “Ah, ya! Modus!”
                Keduanya tergelak.
***
                Michaell Chad – biasa dipanggil Chad – memasuki basecamp INKOM. Di dalamnya sedang duduk Yessa, Puri dan Anggi – bakal calon anggota baru, sama seperti Chad – sedang menyusun beberapa kertas.
                “Puri. Lihat itu. Ada Chad”, Yessa berbisik pada Puri yang masih sibuk menyusun kertas-kertas di atas meja. Kemudian Puri melirik ke arah pintu.
                “Ya, silakan jalankan misimu, Nona”, Puri beranjak dari kursinya dan masuk ke ruangan sebelah bersama Balon (Bakal Calon) yang bernama Anggi itu.
                “Permisi, Kak. Boleh masuk?”
                “Ah, ya! Tentu boleh”, Yessa gelagapan.
                “Aku mau masuk INKOM.”
                Tentu saja aku tahu itu. Jelas-jelas ini basecamp INKOM, bukan basecamp pendaki gunung. Kata Yessa dalam hati.
                “Bukannya kau sudah pernah mendaftar?”
                “Benarkah?” Chad mengingat-ingat. “Oh, iya. Mungkin formulir minggu lalu yang kuisi itu, ya. Aku kira itu formulir pendaki gunung.”
                Ck! Anak bodoh. “Begini. Lusa akan ada pertemuan Bakal Calon anggota baru. Dan kau wajib mengikutinya. Semacam pengenalan tentang INKOM.”
                “Baiklah. Terimakasih atas informasinya, Kakak cantik”, Chad melempar senyum. Yessa merasakan lututnya lemas. Hatinya berteriak “Horeeee!!! Dia memanggilku cantik.”
***
                Yessa berpikir bahwa Radit benar-benar telah melupakannya. Satu bulan ini sama sekali tidak ada kabar apapun tentang lelaki jangkung kurus itu. Mungkin memang sekarang sudah saatnya untuk ia melupakan Radit. Tidak akan butuh waktu lama untuk melupakannya. Sebab ia punya perasaan baru. Chad.
                Yessa meraih ponselnya yang terlihat ada dua pesan di layarnya. Yang satu dari Puri.

From: Puri Winaswara
Yes, di dekat kolam air mancur ada Chad. Sini!

                Yessa girang dan cepat-cepat mengambil ranselnya. Tapi kemudian, ia teringat satu pesan yang belum ia buka.

From: Michaell Chad
Hey, Kakak cantik. Bisa kita bertemu? Aku di dekat kolam air mancur.

                Yessa bersorak makin kegirangan. Tanpa menunggu lagi ia langsung menuju kolam air mancur. Sepanjang koridor, bibirnya terus menyunggingkan senyum lebar. Hatinya berbunga-bunga.
***
                “Kak, boleh aku bicara sesuatu?”
                Di pinggir kolam air mancur itu, hanya ada Yessa dan Chad. Chad tampak memegang sesuatu dibalik jaketnya yang ia gantung di lengan kirinya, menutupi sebagian tangannya.
                “Kau ini bukan mau bicara tentang resep rahasia Krabby Petty, kan? Kalau bukan, tidak perlu formal dan sok rahasia gini, deh”, Yessa terkekeh geli.
                “Ya, memang bukan. Tapi ini lebih penting daripada membicarakan tentang resep roti isi milik kepiting pelit itu.”
                Yessa berhenti tertawa. Wajahnya mulai tenang ketika melihat tatapan Chad yang tampaknya sangat serius. Chad menunjukkan sesuatu yang dipegangnya sedari tadi. Voala! It’s a chocolate.
                “Aku menyukai Kakak. Sejak pertama melihat Kakak di ospek tempo lalu. Kakak mengenakan kemeja hitam merah, seragam INKOM, kan? Dengan jilbab biru donker, senada dengan rok yang Kakak pakai. Itu manis sekali.”
                Perut Yessa rasanya berdesir dan menggelitik. Pipinya tampak memerah semu. Ia mencoba tetap menampakkan wajah tenang meskipun sebenarnya ia ingin menjerit. Bocah bule itu meraih tangan Yessa dan meletakkan cokelat di atas telapak tangannya.
                “Mengapa diam, Kak?”
                “He?” Yessa kembali sadar dari lamunannya. “A-aku…”
                “Ya?”
                “Dia juga menyukaimu, Chad!” Puri tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka. Persis. Seperti jin milik Om Jun dalam sinetron Jin dan Jun. Yessa sempat menganga ketika Puri datang sambil berkata: “Dia juga menyukaimu.” Ah, hatinya mencelos.
                “Benar yang dikatakan Kak Puri, Kak? Ayolah, katakan sesuatu.”
                “A-aku…Aku juga suka padamu.”
                “Sungguh?”
                You can see it.” Yessa membalas genggaman Chad.
                “Ya! Dan akhirnya sang putri menemukan pengganti pangeran yang telah menghilang.”
                “He?” Chad tampak kebingungan. “Maksud Kak Puri?”
                Yessa membelalakkan mata ke arah Puri. Ia tahu yang dimaksud Puri adalah tentangnya dan Radit. “Jangan dengarkan Puri. Dia pendongeng yang hebat!” Yessa mengacungkan ibu jari ke depan hidung Puri. Dan ia berhasil membuat Puri meringis.
***
                Dalam kamarnya yang mini, di atas single bed berbungkus kain hijau bergambar Thinker Bell (kartun favoritnya). Yessa tengkurap sambil memankan granit pensil di atas bloknot. Melukiskan gadis bersayap dan bergaun hijau kecil kesukaannya. Sekarang ia bisa merasakan kembali hati yang sedang berbunga-bunga.
Kini hadir Chad, seseorang sebagai pengganti Radit. Dan setidaknya saat ini ia tidak lagi merasakan kegalauan yang mengganggu kesehariannya. Mungkin hubungannya dengan Radit benar-benar telah berakhir. Walaupun tanpa ada kata “putus” yang terlontar dari masing-masing pihak. Tapi dengan situasi seperti ini, ia yakin bahwa dirinya bukan lagi milik Radit, atau sebaliknya.
***
                “Yes, kau tahu Anggi?”
                Yessa menggeleng. Matanya tidak beranjak dari layar laptop. Mereka sedang disibukkan dengan tugas makalah yang menumpuk di semester tiga ini. Belum lagi kegiatan-kegiatan yang cukup padat di INKOM sebab tahun ajaran baru.
                “Tadi pagi, Anggi meminta pertemanan di facebook.”
                Yessa masih terpaku pada laptopnya.
                “Dan aku melihat di akunnya tercantum bahwa ia menjalin hubungan dengan…Michaell Chad.”
                Yessa menghentikan jari-jarinya yang semula sibuk menekan toots hitam yang tidak beraturan. Akan tetapi, matanya masih tetap lurus ke layar laptop. Dalam hatinya seperti ada petasan kecil yang meledak hingga seluruh tubuhnya seperti mati.
                “Tapi tenang dulu, Yes. Tanyakan saja dulu pada Chad yang sesungguhnya. Aku sangat yakin akun bernama ‘Michaell Chad’ yang dijadikan pasangan dalam akun Anggi itu adalah Chad-mu.” Puri menelan ludah. “Aku membuka akun itu.”
                Yessa akhirnya bergerak. Kepalanya menoleh ke arah sahabatnya yang menatap iba. Mulanya Puri pikir Yessa akan meledak-ledak setelah mendengar kabar buruk darinya. Wajahnya terlihat memerah sebab menahan geram. Matanya membulat lebar-lebar tidak percaya.
                “Nanti akan kutanyakan pada Chad.”
                Puri tidak menyangka sahabatnya akan bicara setenang itu. Yessa adalah orang yang paling tidak bisa diam. Dan tingkahnya sangat kekanak-kanakkan. Tapi Yessa yang saat ini? Puri berpikir beberapa kali.
***
                “Hai, Kakak cantik. Kita jadi, kan, makan eskrim berdua?” Chad menghampiri Yessa dari belakang yang sedang berjalan di koridor Fakultas Ekonomi. Seketika Yessa menghentikan langkahnya dan menatap Chad, kemudian mengulas senyum samar-samar.
                “Tentu. Kau bawa motor? Jangan bilang tidak. Karena aku sengaja tidak membawanya hari ini.”
                “Untungnya aku bawa.” Yessa terhenyak saat Chad menggandeng tangannya.
                Sepanjang jalan, Yessa diganggu oleh pikiran tentang Chad dan Anggi.
                Hingga tiba di Campina House di pertigaan jalan Gatot Subroto, Cimahi. Yessa berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan dan lelucon kecil yang ditawarkan Chad dengan tampang biasa. Dan ia berjanji pada dirinya, sepulang ini ia akan menanyakannya pada Chad.
***
                “Chad.”
                “Iya, Kak?” Chad menoleh saat akan meninggalkan rumah Yessa.
                “Aku mau bicara sesuatu.”
                “Tentang?
                “Putuskan Yessa!”
                Lagi-lagi Puri datang tiba-tiba diantara mereka seperti jin milik Om Jun. Tapi kali ini ia tidak sendirian. Anggi turut di belakangnya.
                Terlihat air muka Chad yang terkejut saat melihat Anggi ada diantara mereka.
                “Aku sudah menanyakannya pada Anggi. Ternyata benar, mereka berdua sudah punya hubungan. Artinya, kau ditipu bocah bule ini, Yes. Dan artinya lagi, kalian harus putus.” Suara Puri cukup keras untuk membangunkan warga malam-malam begini. Bisa dikira ada KDRT dalam rumah Yessa.
                “Benar itu, Anggi?” Tanya Yessa pada Anggi.
                “Iya, Kak. Aku sendiri juga tidak tahu kalau Chad sama Kakak. Aku diduakan, Kak”, Anggi menunduk.
                “Yes, sudah jelas, kan?”
                Yessa tampak berpikir. Ia menatap Puri dan beralih menatap Chad. “Baiklah, ini cukup jelas. Terimakasi, Chad. Terimakasih atas kebohonganmu!” Yessa masih menahan suaranya agar tetap rendah dan tidak membuat gaduh. Namun tajam.
                Chad tidak berkata apa-apa. Ia bergeming. Ia tahu dirinya salah. Dan ia pikir, ia akan memilih Yessa dibanding Anggi.
                “Kalau begitu, aku akan memilih Kakak daripada Anggi.” Anggi tersentak. Wajahnya memanas dan menatap Chad dengan tajam.
                “Semudah itu? Kau kira aku memintamu untuk memilih? Yang aku mau, kita putus!” Yessa berlari masuk ke rumahnya dan membanting pintu. Meninggalkan Puri, Anggi dan bocah bule itu.
***
                Malam bergeming dengan tenangnya. Tiupan angina kencang masuk melalui fentilasi kamar dan sela-sela jendela. Membuat gordyn ungu kamar Yessa menari lembut.
                Yessa masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya saat ini. Dan lagi-lagi, ia harus merasakan kegalauan. Hatinya kembali gelisah yang berakibat tidak ingin melakukan apa-apa. Beralaskan bantal Pororo Yessa terisak. Tak bersuara. Air matanya deras.
                Niatnya yang semula ingin menjadikan Chad sebagai pengobat masa lalunya, tidak dapat ia wujudkan. Chad benar-benar keterlaluan. Bisa-bisanya ia menduakan Anggi. Dan lebih parahnya Yessa yang dijadikan madunya. Ck!
                Ponselnya berkali-kali berdering, dan dering terakir terpaksa ia angkat untuk mengetahui siapa yang mengusiknya malam ini.
                “Halo…” Seorang lelaki di seberang sana. Yessa lupa tidak melihat nama dilayar ponselnya. “Yessa Agatha Purnami?”
                Yessa tercengang mendengar suara dari ponselnya. Ia sangat mengenal suara itu. Dan hanya dia yang selalu repot menyebut nama kepanjangannya.
                Radit?”
                “Are you okay? Suaramu terdengar parau.”
                Yessa tidak mungkin menceritakan hal ini pada Radit. Setidaknya, ia jangan dulu tahu. “Aku baik-baik saja. Hanya sedang flu.”
                “Oh. Pasti karena terlalu lelah oleh tugas-tugas di semester tiga, ya? Kau pasti sangat sibuk sekali.”
                Yessa tertegun. Memikirkan sesuatu yang semula membuatnya gelisah sebelum mengenal Chad. Mengapa Radit tiba-tiba menghubungiku? Di saat keadaanku seperti ini. Selepasnya aku dari Chad. Hatinya berbicara.
                “Sa?” Radit memanggilnya ketika keduanya saling diam.
                “Ah, ya. Mengapa kau menelefonku?” itu yang ingin ia tanyakan sejak lama setelah Radit menghilang tanpa jejak. Lalu lihat sekarang, ia kembali menghubunginya.
                “Hm. Aku tahu kau pasti akan menanyakan hal ini. Kau belum mau tidur, kan? Aku mau bicara.”
                “Akan kudengarkan.”
                “Baiklah, katakan saja jika kau mulai mengantuk. Begini...” Radit berhenti sejenak. “Aku ingin kita akhiri hubungan kita.”
                Yessa jadi bertambah lemas. Tubuhnya seperti tidak berdaya.
                Ini yang terbaik untukmu dan untukku. Kemarin-kemarin aku memang sangat sibuk dengan perkerjaan yang la-lama kurasa sangat mengekangku. Tapi ketika aku dapat jatah libur, dan aku berniat menghubungimu, di saat itulah aku tahu bahwa kau berubah.”
                “Aku berubah? Bukankah kau yang berubah?”
                “Tampaknya kau sedang menyukai seseorang. Aku tahu aku salah. Tapi kupikir, kau akan memahami.” Radit menelan ludah. “Tapi ya sudah, Yessa. Aku memang salah karena telah menghilang. Maafkan aku...”
                “Radit, perubahan yang seperti apa maksudmu? Demi apapun aku tidak ingin kita putus”, Yessa tidak bisa membendung lama air matanya.
                “Jangan menangis. Karena itu membuatku tidak tega melepasmu. Oh, ayolah...Seseorang yang ada bersamamu saat ini mungkin lebih baik dariku.”
                “Seseorang siapa maksudmu?”
                “Chad.”
                Yessa berhenti terisak dan menarik napas panjang. Jantungnya berdebar tak karuan. Hatinya seolah dipecut berpuluh-puluh kali tanpa henti. Radit tahu kedekatannya dengan Chad. Mungkin itu yang membuatnya ingin mengakhiri hubungan mereka.
                “Ketahuilah, aku demikian karena kupikir kau telah lupakan aku. Dengan tidak adanya kabar darimu selama satu bulan. Kau pikir aku tidak merana?”
                “Iya, Yessa. Aku sangat mengerti itu. Makanya aku meminta maaf. Semua kesalahanku. Dan mulai sekarang, aku ingin kau lepas dariku.”
                Yessa kembali membasahi pipinya. Kepalanya terasa ringan dan semua darahnya seperti membeku. Radit mendengar desahan napas Yessa yang memburu akibat tangisannya.
                “Jangan menangis, cantik. Kau akan temukan kebahagiaanmu tanpa aku. You always in my heart and my dream...”
***
                Dunia seakan ikut bungkam atas nasib yang ada pada Yessa saat ini. Alam seperti menartap iba meski Yessa tidak memintanya. Radit sudah benar-benar meninggalkannya. Tidak lagi dengan status ‘digantungkan’. Dan yang terpenting, tidak ada lagi Radit. Lalu Chad? Bocah bule bodoh. Yessa berhasil dikerjai anak baru lahir kemarin. Ah, kalian para pria buat rumit saja! Gumam Yessa dalam hati.
                Lupakan Chad.
                Sekarang permasalahannya ada pada dirinya sendiri dengan Radit. Ia masih belum rela untuk diputuskan. Bahkan ia tidak ingin move on dari lelaki jangkung kurus itu yang telah memberinya warna selama dua tahun lebih itu.
                Beberapa kali Yessa mencoba menghubungi Radit terlebih dahulu. Radit memang membalas tiap SMS-nya. Akan tetapi, sepertinya respon lelaki itu tidak terlalu hangat seperti dulu. Sikapnya berubah jadi sedikit dingin. Yessa masih berusaha untuk melunakkan kembali hati Radit. Tapi sepertinya semua sia-sia hingga saat ini.
***
                “Sudahlah, Yessa. Aku bukan yang terbaik untukmu. Jangan lagi kau harapkan aku.” Begitu bunyi e-mail dari Radit tadi sore. Yessa terus membacanya, padahal hatinya menangis ketika membaca surel dari Radit itu.

Subject:     Isi Hatiku
To:        Raditya Hidayat

Radit, aku tidak pernah membayangkan sebelumnya kita akan benar-benar berpisah. Sungguh, aku belum bisa melupakanmu, atau istilah kerennya move on darimu. Maafkan aku juga kemarin sempat berpaling darimu. Tapi kau tahu, kan, itu karena menghilangnya dirimu yang tak jelas arahnya. Dan kau mendiamkan aku selama satu bulan. Itu menyakitkan, Dit. Dan kini aku lebih sakit :’(
               
Yessa membalas surel dari Radit dengan derai air mata yang lagi-lagi membuat matanya bengkak dan menghitam karena terlalu banyak menangis.
                “Sudahlah, Yes. Diamkan saja dulu. Biarkan Radit menentukan jalannya sendiri, sekalipun tanpamu. Aku yakin dia masih sangat mencintaimu.”
                Yessa membuka aku facebook-nya. Dalam beranda, yang muncul pertama kali adalah status terbaru Radit. Sekejap ia mendekatkan wajahnya ke layar laptop dan mengeja kata demi kata status Radit yang menjadi urutan pertama itu.

Hai, kakak cantik. Semalam aku bermimpi kalau kita berdua menikah :D
               
Jemarinya terasa lemas sekali. Ia tidak lagi mampu menggerakkannya. Dalam diam, terbentuk dua buah sungai kecil dipipinya. Puri yang juga melihat status terbaru Radit, ikut terhenyak seperti ikut merasakan sakit hati sahabatnya.
                “Dia seperti mengusirku secara perlahan.”
                “Aku pikir...emm...Radit sengaja memasang status itu. Supaya kau membencinya. Lalu menjauh dan benar-benar merelakannya. It’s just my opinion”, Puri kembali menatap layar laptop.
                “Aku juga merasakan demikian, Pur.”
                Puri memutar lagi kepalanya menghadap Yessa. Ia sangat terharu dengan kisah sahabatnya. Setelah dibodohi oleh Chad, kini Radit benar-benar melepaskannya.
***
                Yang harus dilakukan saat ini adalah hanya berjalan megikuti arah angin takdir masing-masing. Masalah di titik mana kita akan berhenti, jangan pernah kau pikirkan. Biar waktu mengindahkannya dan kau tinggal berterimakasih saat sang waktu mempertemukanmu dengan kebahagiaan.

THE END

Kamis, 05 Juni 2014

Kehangatan di Tiga Juni

Aku berusaha mematikan bayangmu. Mungkin sudah saatnya untuk mundur dan beranjak dari tempat penantian ini. Berdiri menunggumu sudah kulakukan hingga tujuh belas bulan lamanya. Tapi apa perubahan yang kudapat?
Tampaknya aku putus asa,
Lalu, mulailah aku melangkah ke belakang walau ada sedikit keraguan yang membelai niatku kali ini.
Tapi tunggu!
Ketika aku mundur, ketika aku akan move darimu, kenapa kau menoleh dan kembali menyapaku. Kau bersikap seolah diantara kita tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal kau sendiri tersangkanya atas kegalauan yang terjadi dalam hidupku selama lebih dari satu tahun ini.
Aku benci mengatakan ini - nyaman adalah hal yang aku rasakan ketika berkomunikasi denganmu.

Lalu malamnya ketika aku tertidur, aku menemukanmu lagi.
Kau hadir dengan sikap yang sama seperti dulu - manis. Dalam mimpi itu, kau seperti menyampaikan pesan tersirat bahwa aku harus menunggumu. Jangan mundur...Tetaplah disitu. Aku akan kembali membawa sesuatu. Itu katamu dalam mimpiku.

Ah, apa-apaan? Aku tahu ini bukan efek dari komunikasiku denganmu sebelumnya, hingga aku larut dan terbawa mimpi.
Aku berpikir, Tuhan memberi jawaban atas menyerahnya aku.
Aku berpikir: Tuhan membuka jalan ketika hamba-Nya putus asa lalu menyerah. Karena Dia sedang mengujimu, sampai diwaktu yang mana kau bertahan.

Apakah pemikiranku yang terakhir itu salah? Tapi kurasa tidak.

Ada lagi serpihan puzzle yang masih sulit dipahami selepas menyerahnya aku.

Besoknya, setelah mimpi itu, kita bertemu, bukan? Kita duduk berdua di kedai kue balok pada malam hari sepulangnya aku dari kantor. Awalnya saling diam, sibuk dengan gadget masing-masing. Setelah salah satu pelayan mengantarkan pesanan, kita baru bisa berbincang. Makin lama makin asyik. Malam itu aku yang lebih banyak bercerita, bukan? Ah, ya! Aku sengaja supaya suasana malam itu tidak sia-sia. Sambil aku bercerita, diam-diam aku memperhatikan matamu. Ck! Kau juga memperhatikanku dengan seksama? Ya Tuhan, aku senang kau perhatikan seperti itu.

Jujur, aku merindukan bentuk matamu, almond eyes.
Bentuk matamu yang teduh dan hangat jika dipandang. Mata yang membuatku seperti tersihir hingga tujuh belas bulan lamanya. Mata yang diam-diam mencuri perhatianku. Ah, matamu terlalu indah.

Lantas, setelah itu, apa?
Kau memberiku bunga. Dua puluh tangkai mawar merah muda. Awalnya aku bingung dengan maksudmu. Sebab kau memberinya seperti memberi koran pada mobil-mobil yang lewat di perempatan jalan. Tidak ada kesan romantisnya.
Tapi aku tidak melihat itu. Ketika kau bertanya: Suka nggak?
Aku sadar kalau kau memang memberikan itu untukku. Kau bilang cuma sekedar ingin memberi? Oh, tapi aku tahu maksud hatimu.

Saat diperjalanan pulang, kau membawaku ke jembatan yang ada disekitar Pemkot. Kau juga bilang akan menunjukkan suasana malam di jembatan itu.
Takjub bukan main...Saat melewati jembatan yang kau maksud.
Mencolok. Banyak lampu warna-warni menerangi bahu jalan. Melingkar disepanjang pembatas jembatan yang diantaranya ada yang kerlap-kerlip genit.
Angin malam membelai wajahku lembut. Tapi bukan dingin yang kurasa. Wajahku malah menghangat ketika kau menunjukkan sesuatu yang...romantis.
Dan disitulah aku yakin, masih ada rasa cinta yang kau simpan...

Ini mawar darimu, dan foto suasana malam di jembatan Raden Demang Harjakusumah...Aku simpan ini sebagai kenangan...