Jumat, 04 April 2014

Cerpen: Menunggu Pagi



                Sejenak aku meniti butiran debu pada jendelaku. Sekitar lima milimeter tebalnya. Karena aku jarang sekali mengurus kamar beserta perkakasnya. Buku-buku berserakan di mana-mana bekas kubaca. Dan terkadang ada gerombolan semut di kolong lemari. “Jangan kau sapu kamar ini. Jangan kau usir kami.” Aku mencoba menebak-nebak semut itu berkata apa ketika melihat langkah kakiku masuk ke kamar membawa sapu. Ya sudah, mungkin mereka senang di kamarku. Mungkin mereka menyukai kamarku. Begitu aku bicara pada mama sebagai alasan penutup malasku untuk tidak membersihkan kamar ini.
                ”Run, sini turun! Teman mama sudah datang.”
                Akhirnya mama memanggilku juga. Bukannya aku tidak sabar menunggu teman mama dan anaknya itu datang. Malah aku enggan.  Kemarin mama sudah bilang bahwa akan ada temannya bersama anaknya datang bertamu. Dan mama ingin aku berkenalan dengan anaknya. Pertemanan yang direncanakan. Sepertinya akan tidak menyenangkan. Sebab anak teman mama yang satu ini kalau tidak salah sangat fashionable. Mama pernah, bahkan sering, bercerita ketika mama dan anak temannya ini sering berbelanja berdua. Beli ini, beli itu. Hobi perempuan yang paling tidak aku sukai.
                Belum selesai anak tangga kulewati, sudah terlihat tamu yang duduk di ruang tamu. Seorang perempuan tua – teman mama – dan seorang laki-laki muda. Aku tidak melihat ada anak perempuan. Yang ada perempuan tua, teman mama itu.
                Ketika aku sampai dekat sofa, laki-laki itu mengangkat kepala ke arahku. Sekilas terlihat mata bulat dan bibirnya sedikit kecoklatan. Aku tahu itu bukan bibir perokok.
                “Nah, ini dia putri semata wayangku. Mbak Yen, Mas, kenalkan ini anakku.”
                “Seruni. Panggil saja Runi,” aku sunggingkan senyum setulus mungkin ketika memperkenalkan diri di depan Tante Yeni dan...siapa nama anaknya?
                “Dimas.”
                Laki-laki itu menyebut namanya. Meraih tanganku dan melempar senyuman kecil.
                “Cantik ya, manis juga. Sederhana lagi. Nggak kayak Disa, segala dipakai. Dikit-dikit dandan. Kemayu gitu deh,” Tante Yeni menertawakan anaknya sendiri. Mama juga ikut tertawa. Aku mencari-cari sisi mana yang lucunya.
                “Tapi Disa itu hebat. Sudah pintar mempercantik diri. Kalau Runi ini paling malas untuk dandan. Baju saja pakainya oblong sama jeans terus. Nggak peernah pakai rok. Sedikit tomboy.”
                Mama tidak sedang menjelek-jelekkan aku. Karena aku memang demikian. Dan aku tidak merasa itu jelek.
                “Nak Dimas kalau tidak salah sekarang sudah semester tiga, ya?”
                “Iya, Tante. Satu kampus dengan Runi juga, kok.”
                Aku membuka mata bulat-bulat. “Apa? Satu kampus?”
                Dimas mengangkat kedua alisnya. Pertanda meng-iya-kan kekagetanku.
                “Oalaaah...masak kamu nggak tahu, Run, kalau kalian satu kampus? Nak Dimas saja sering lihat kamu.”
                “Ya kan bukan berarti Runi lihat dia juga, Ma,” aku melirik ke arah Dimas. “Kamu jurusan apa?”
                “Teknik fisika. Kamu...Arkeolog, kan?”
                “Aha,” singkat jawab dariku.”
***
                Aku sempat menebak pertemuan dengan Tante Yeni dan anaknya siang tadi, ada indikasi perjodohan. Aku dan anak Tante Yeni. Dimas. Ah, jangan gede rasa. Toh aku tidak mau ada embel-embel perjodohan yang diusulkan mama dalam bentuk apapun. Ini cuma perkenalan biasa. Mungkin aku dan Dimas bisa jadi teman atau sahabat. Apalagi dia satu kampus denganku. Tidak diduga.
                Aku mengambil bloknot diantara tumpukkan majalah wanita yang diberikan mama untukku. Majalah-majalah itu diberikan agar aku belajar menjadi wanita “tulen”. Bah! Mamaku sendiri meragukan kepribadianku. Meskipun aku tomboy, sedikitnya aku bisa memoleskan bedak ke wajahku sedikit-sedikit. Mewarnai bibir kecilku dengan lipbalm, dan mencatok rambut. Tidak terlalu tomboy, kan?
                Di lembaran baru, aku membuat puisi baru. Menuangkan kata-kata yang sempat muncul saat menatap jendela tadi siang, sebelum mama memanggil untuk menemui tamunya – Tante Yeni dan Dimas.
Butiran debu di atas jendela
Kasihan
Sebab ia hanya sebatas kotoran sederhana
Tak perlu dilirik, tak perlu disentuh
***
                Hari ini hanya ada satu mata kuliah wajib. Sebenarnya aku malas kuliah di hari Jum’at. Datang ke kampus jauh-jauh hanya demi satu jam mata kuliah yang sangat aku benci. Bahasa Inggris. Ya Tuhan...Bahasa negeri sendiri saja masih belum baik. Ini lagi harus menguasai bahasa negeri orang. Aku saja belum bisa bahkan belum tahu bahasa suku-suku di Indonesia. Bagaimana ini para menteri pendidikan?
                Aku terpaksa naik angkutan umum. Motorku dipinjam Mas Indra – kakak sepupuku – untuk menjemput calon istrinya di terminal. Baru datang dari Solo, sengaja ke Jogja untuk dikenalkan pada keluargaku. Jarak rumahku ke depan gerbang komplek lumayan jauh. Apalagi kalau-kalau bola api di angkasa sedang mengganas. Tiba di kampus bisa basah kuyup oleh keringat.
                “Hey!”
                Langkahku berhenti mendadak ketika sebuah motor berdecit di depanku yang direm mendadak oleh pengendaranya. Dimas.
                “Mau ke kampus, kan? Bareng, yuk!” Dimas membuka kaca helmnya.
                “Eh...iya. Ah, nggak usah. Aku sendiri saja.”
                “Panas-panasan?”
                “Emm...” aku ragu dengan keputusanku yang barusan.
                “Udah, yuk. Cepetan naik. Kalau lama mikir joknya jadi kayak panci panas,” Dimas menyodorkan helm merah yang modelnya sama seperti helm yang ia pakai. Aku luluh oleh paksaan Dimas. Sebab panas yang sedang menyengat kota Jogja ini sangat menyiksaku.
                Ada apa ini? Mengapa aku merasakan hal aneh ketika satu motor dengan Dimas? Mengapa aku seperti merasa nyaman? Oh, tidak. Ini hanya ilusi.
***
                “Di mana ruanganmu?” tanya Dimas setelah memarkirkan motornya.
                “Di belakang perpustakaan FIB.” Aku menyerahkan helm yang tadi kupakai. Kukibaskan rambut setengah panjangku. Gerah. Sayangnya aku lupa tidak mengikatnya.
                “Oh, oke. Ruang kelasku di sebrang ruanganmu. Barangkali nanti mau pulang bareng?”
                “Em...” aku berpikir sejenak. Sebenarnya aku mau menjawab “tidak”. Tapi disengat matahari seharian membuatku berpikir dua kali. “Lihat nanti saja. Kalau mau, aku akan mencarimu.”
                “Baiklah.”
                Aku melihat punggungnya yang tegap menjauhiku. Aku mengikutinya perlahan keluar dari area parkir. Langkahnya agak terburu-buru. Tapi aku tidak berusaha mensejajarkannya.
                Benar ruang kelasnya bersebrangan dengan ruang kelasku. Jadi tidak salah jika aku sedikit mengikutinya.
                “Runi!”
                Aku menoleh pada pemilik suara yang meneriakki namaku.
                “Dewi! Sudah balik kau dari Medan? Katanya mau cuti satu bulan?” Aku memeluk sahabatku.
                “Adikku sudah mendapatkan sumbangan ginjal. Minggu lalu baru selesai operasinya. Di sana sudah banyak keluarga yang menjaga, jadi aku dipaksa balik ke Jogja. Ya lagi pula aku tidak mau ketinggalan mata kuliah. Setidaknya sedikit tenang karena banyak yang menjaganya.”
                “Oh, syukurlah. Semoga lekas sembuh untuk adikmu, Wi.”
                “Aamiin. Oh, iya. Tadi kamu bareng siapa?”
                “Kapan?” Aku membuka buku paket bahasa Inggris yang tebalnya hampir empat sentimeter.
                “Tadi pas kamu datang. Aku lihat kamu turun dari motor di parkiran.”
                “Oh, itu Dimas. Anak teknik fisika.”
                “Kok bisa kenal?”
                “Anaknya teman mamaku.”
                “Hmmm…”
                Runi melirik ke arah Dewi yang hanya berdehem dengan senyum meledek.
***
                Sebelum aku mencari Dimas, ia sudah lewat di depan ruang kelasku. Aku menerima tawarannya untuk pulang bersama. Sebab matahari semakin meninggi dan apinya serasa makin membara. Membakar kota Jogja yang padat oleh manusia-manusia super sibuk dengan urusannya.
                Dimas mengendarai motornya sedikit kencang. Sehingga terasa angin bertiup membelai rambutku yang tidak terikat. Tiupan angin menebarkan aroma parfum bulgari dari tubuh Dimas. Wanginya terkesan mahal. Aku kenal parfum ini. Sama seperti yang dipakai Mas Indra. Tidak sadar aku tersenyum kecil mencium aroma tubuh Dimas yang menyeruak ke dalam indera penciumanku.
                “Runi?” Dimas memanggil namaku.
                “Hm?”
                “Aku mau ambil kwitansi dulu di tempat kakekku. Tidak apa-apa, kan, kita mampir sebentar?”
                “Oke. Di mana?”
                “Di selatan Malioboro.” Aku mengangguk.
***
                Aku dibuat terpana ketika menginjakkan kaki di rumah yang masih kental dengan ciri khas suku Jawa ini. Sangan cantik dengan aksen-aksen kayu yang menempel di dinding depan. Menggambarkan bahwa rumah ini masih sangat tradisional. Sentuhan modernnya hanya terletak di ubinnya. Rumah ini menggunakan granit krem besar berukuran 40 x 40. Rumah yang bersih, sejuk walaupun Jogja sedang dibakar matahari. Beranda rumah ini terdapat empat kursi kayu cendana yang hanya cukup untuk satu orang. Mengelilingi meja kayu, di depan, belakang, kanan dan kiri meja.
                Rapi.
                Saat aku masuk ke dalam, aku tak kalah dibuat takjub. Tidak banyak perabot rumah tangga. Hanya sebatas kursi tamu, tiga rak buku berderet memanjang diseberang pintu utama, dan satu radio tua. Ruangan pertama yang kumasukki ini penuh dengan lukisan-lukisan. Dengan perkakas melukis yang tertata rapi di pinggir rak.
                Aku masuk hingga ruang tengah. Di sanalah aku bertemu kakek Dimas. Beliau sedang melukis rupanya. Karena ruangan tengah digunakan khusus “produksi”, alias tempat membuat lukisan-lukisan yang dipamerkan di ruang depan.
                “Assalamu’alaikum, Mbah.”
                Sang Kakek menyundulkan kepalanya dari balik kanvas.
                “Wa’alaikumussalam. Eh, Dimas. Kebetulan kamu kesini. Lihat!” Aku melihat gambar wajah tua di kanvas yang kakek tunjukkan. “Akhirnya kakek bisa menyelesaikannya. Bagaimana menurutmu?”
                Aku mengikuti Dimas yang sedang memperhatikan lukisan kakek. Kanvas itu penuh dengan gradasi coklat. Mungkin menggambarkan usianya yang tua. Tapi tetap terlihat cantik, dan sepertinya pemilik wajah itu baik hati.
                “Ini sempurna, Kek. Sangat mirip dengan yang aslinya”, ucap Dimas sambil mengembangkan senyumnya. Terlihat kakek juga ikut tersenyum dengan mimik yang sangat bahagia.
                “Nanti lukisan ini akan kakek taruh di kamar. Supaya kakek merasa bahwa almarhumah masih ada”, ujar kakek seraya memeluk lukisan itu. Aku baru sadar, ternyata wajah tua dilukisan itu adalah nenek Dimas. Dan aku jadi tahu bahwa nenek sudah meninggal ketika kakek menyebutnya “almarhumah”. Aku berbalik menatap iba sang kakek. Sepertinya mereka begitu saling mencintai. Sakin lamanya hidup bersama, kakek bisa hafal gurat-gurat tua wajah nenek dengan persis seperti aslinya. Aku meihat foto nenek di atas meja. Hanya saja berbeda gaya dengan yang ada di lukisan. Tapi air mukanya sama persis.
                “Oh iya, gadis ini siapa? Calonmu, Mas?” kakek tiba-tiba menengok ke arahku yang kemudian beliau melempar senyumannya yang ramah.
                “Oh iya, Kek. Ini kenalkan, Seruni. Anak teman mama yang kemarin dikenalkan itu.”
                “Hmm...pilihan yang tepat. Mamamu tidak akan salah pilih.”
                “Maksud kakek?”
                Dimas dan aku saling bertukar pandangan.
***
                Bibir jendela kamarku sedikit terlihat menghitam. Setelah aku mendekat, rupanya karena debu yang lama tidak aku bersihkan. Sudah berapa bulan aku tidak merawat kamar sendiri? Saat ini bahkan lebih pantas disebut gudang. Terpaksalah aku membersihkan debu dan kotoran disekitar kamar.
                Cukup membersihkan debu di bibir jendela, di atas meja, dan membuang sampah bungkus permen dan coklat di kolong tempat tidur. Lumayan rapi. Tidak terlalu buruk seperti sebelumnya. Ku ambil gitar di sebelah lemari, lalu kupetik satu persatu senarnya. Aku hanya mampu memainkan beberapa chord. Enam bulan belajar gitar belum juga berhasil memainkan satu lagu. Payah!
                Aku melirik ke arah iPhone-ku  yang berdering. Alisku berkerut ketika membaca nama Dimas di layarnya. Ah, aku ingat bahwa pertemanan kami sudah berlangsung tiga bulan lamanya. Hingga kami benar-benar menjadi sepasang sahabt. Oh, iya. Aku juga sudah mengenal kakek Dimas lebih dekat bersama lukisan-lukisannya. Karya lukisan favoritku adalah lukisan bunga sakura yang rimbun di musim semi, hasil karya Dimas. Aku percaya jika orang-orang melihat lukisan itu akan menganga karena terhipnotis keindahan lukisan itu.
                “Halo?”
                “Halo, Run. Lagi di mana?”
                “Di rumah. Ada apa, Dim?” Aku tidak mengikuti orang-orang yang memanggilnya dengan kata ‘Mas’. Aku lebih nyaman memanggilnya ‘Dim’.
                “Aku mau ke rumahmu. Ini ada titipan dari mamaku.”
                “Oke.  Tapi mamaku tidak ada di rumah.”
                “Tidak apa-apa. Ini untuk kamu, kok.”
                “Oh, ya sudah. Datang saja.”
***

                “Bagaimana? Kau suka?”
                Mataku terbelalak setelah melihat isi dari kotak berwarna silver dari Dimas. Kulebarkan di depan Dimas, dan kutambahkan ekspresi wajahku dengan mulut terbuka lebar.
                “Luar biasa...Cantik.”
                “Malam ini kamu dan mamamu diundang untuk makan malam di rumah kami. Kalian akan aku jemput nanti malam. Dan kau harus pakai ini.”
                Yang benar saja? Seumur-umur aku tidak pernah memakai gaun. Pakai rok kalau sekolah saja. Ini gaun, bukan rok sekolah. Gaun yang cantik. Mana pantas terpasang ditubuhku yang sama sekali tidak bisa disebut seksi.
                “Tenang, kau tidak akan terlihat seperti badut kalau memakai ini. Yaaa...paling-paling nanti malam aku jadi kenyang duluan gara-gara menertawaimu”, Dimas tergelak puas hingga matanya tertutup rapat sambil memegangi perut. Nanti malam pasti akan lebih parah dari ini. Dimas akan lebih puas jika melihatku memakai gaun ini. Karena aku akan terlihat konyol.
                Aku menjitak kepala Dimas sambil mencibir. Alisku berkerut dan kumajukan bibirku.
                “Tidak! Aku tidak mau memakai ini. Sumpah, aku lebih baik memakai baju badut sungguhan!”
                “Apa kamu mau mamaku benci padamu sebab pemberiannya tidak kau terima?” Dimas berhenti tertawa sambil meringis akibat terlalu keras tertawa.
                Yang dikatakan Dimas ada benarnya. Kalau aku tidak memakai gaun ini, bisa dibilang aku tidak tahu terimakasih. Ya Tuhan, malam ini akan jadi malam terburuk.
                “Dasar perempuan jadi-jadian.”
                Aku kembali memukuli Dimas dengan bantal. Ia kembali tertawa lebar. “Puas kamu!”
                “Hehehe...Bagaimana kalau kita taruhan. Kalau nanti orang tua kita takjub melihatmu, artinya kau menang. Dan aku bersedia menjadi budakmu selama dua minggu.”
                Aku bergumam. “Tapi kalau sebaliknya...” Dimas melanjutkan, “aku yang menang. Dan kau harus jadi budakku selama tiga minggu.
                “Apa? Tiga minggu?”
                “Aha!”
                Otak licik Dimas mulai terlihat. Ia makin terkekeh melihat muka jengkelku. Ia juga tahu taruhan ini tidak adil. Sangat tidak adil. Dan taruhan ini memaksaku untuk kerja keras berdandan secantik dan semenarik mungkin. Sejenak aku bergeming.
                “Oke. Aku setuju. Tapi lihat nanti kalau aku cantik malam ini, kau pasti akan naksir denganku”, kini giliran aku yang terkekeh dengan senyum percaya diri.
                “Apa? Naksir? Sama perempuan jadi-jadian kayak kamu? Ya Tuhan...Yang aku mau itu seperti Lily Allen, atau Taylor Swift. Bukan Seruni Prasasti.”
                “Ya Tuhan...Jika malam ini aku bisa tampil cantik, buat lelaki ini jatuh cinta padaku. Dan buat ia tergila-gila karena aku.” Aku merapatkan jari-jariku, berdo’a. Tawa Dimas perlahan meyurut meninggalkan tatapan yang tertuju padaku. Sialnya aku juga ikut membalas tatapannya. Matanya indah, ujungnya menyipit dan kelopaknya sedikit turun. Mata almond.
                Sial! Tiba-tiba jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Ruang dadaku sesak seperti tak ada oksigen. Beberapa detik berlalu tanpa suara. Aku sadar, kami bertatapan cukup lama setelah aku memanjatkan do’a yang tadinya hanya untuk candaan. Tapi aku, dan Dimas, sama-sama tersentak oleh do’aku. Ya Tuhan, tadi aku hanya bergurau. Kemudian kami berdua salah tingkah.
***
                Kini meja rias di depanku tercecer macam-macam serbuk padat warna-warni. Dengan kuas kecil hingga kuas berbulu lebat untuk mewarnai tulang pipiku dengan warna merah muda. Ku poles bibir mungilku dengan warna yang sama, tidak terlalu tebal. Karena rasanya aneh, basah dan sedikit lengket. Aku menegaskan garis mata menggunakan cairan berwarna hitam pekat. Meruncingkan alis dengan pensil dan menjepit bulu-bulu mataku. Aku mempelajarinya dari majalah wanita dari mama yang menumpuk di sudut kamar da;am waktu tiga jam.
                “Runi?”
                Entah kapan mama datang, yang jelas ia sudah ada di belakangku. Air mukanya tampak tak percaya, seperti habis menerima kabar buruk bahwa kucing kesayangannya terlindas truk molen.
                “Kamu siapa?” Hah? Mama tidak amnesia kan?
                “Apaan sih, Ma? Mama tidak habis terbentur kitchen set lagi, kan? Sampai-sampai lupa anak sendiri?”
                “Bukan begitu. Lihat deh”, mama memperlihatkan sosok perempuan di dalam cermin. Perempuan itu mengenakan gaun v-neck merah marun selutut. Rambutnya tergelung dengan poni menyamping dan sedikit anak rambut teruntai di depan telinga. Ya, itu aku.
                “Coba kamu dari dulu seperti ini, Run. Cantik sekali.”
                Rasanya ingin jingkrak-jingkrakan mendengar pujian mama. Ah, ya. Aku sedang memakai rok.
***
                Aku berjalan Stidak terlalu kaku dengan heels setinggi tiga sentimeter yang kukenakan. Aku sengaja memilih yang hanya tiga senti. Cari aman. He-he.
                Kulihat Dimas bersandar dimobil Pajero hijaunya yang terparkir tepat depan pintu. Sepertinya ia mendengar ketukan heelsku, yang membuatnya membalikkan badan. Aku melihat wajahnya berubah setelah melihatku yang berdiri di hadapannya.
                “Bagaimana, Nak Dimas? Anak tante cantik, kan? “
                “He? Tante tidak salah bawa anak, kan?”
                “Heh! Bilang saja aku ini cantik. Tidak perlu belaga tidak tahu.” Aku terbahak puas.
                “Eh, sudah cantik, sudah feminin, masak tertawanya seperti itu?”
                Aku buru-buru menutup mulutku, kemudian senyum-senyum sendiri. Dimas yang melihat tingkahku yang sedikit aneh tertawa geli karenanya. Ah, kau membohongi diri sendiri, Dim.
                “Oh, ya. Omong-omong, jasmu keren. Ngutil di mana?”
                “Wey...wey...Enak saja ngutil. Ini dapet beli di luar negeri. Mahal tau!” Dimas menekankan kata mahal sebagai bentuk kesombongan. Ck! Tapi, kau tampan dengan jas hitam dan jeans biru muda itu. Astaga! Aku memujinya. Tiba-tiba aku kembali gelisah.
                “Mari tante, kita langsung ke rumahku.” Dimas membukakan pintu belakang untuk mama. Saat aku meraih pintu mobilnya, Dimas buru-buru mengambil alih untuk membukakan pintunya. Ia mempersilakan aku masuk selayaknya putri kerajaan. Kemudian, kegelisahanku makin menjadi.
***
                “Aku ndak percaya, Mbak. Runi cantik sekali malam ini.”
                Aku yang mendengar itu langsung senyum sumringah di depan semua orang. Aku dan Dimas tak sengaja bertemu pandang. Beberapa detik kami berdua membeku. Kemudian disadarkan oleh dentingan sendok makan Tante Yeni yang jatuh ke lantai.
                “Mbak Yen, terimakasih ya atas jamuannya malam ini. Semoga tali silatuahmi kita tidak sampai di sini, harus semakin erat.”
                “Sama-sama, Mbak. Itu dia niatku. Supaya kita semakin dekat, terutama anak-anak kita.”
                Aku tersedak mendengar kalimat Tante Yeni. Terutama anak-anak kita? Apa maksudnya? Aku dan Dimas, begitu? Ah, bukankah kami memang sudah dekat satu sama lain? Dalam konteks sahabat maksudnya.
                Selesai makan, aku dan Dimas duduk-duduk di beranda rumah. Malam yang aneh. Dan kegelisahanku masih ada sampai saat ini. Malah makin menjadi. Tidak biasanya aku gugup ketika duduk bersebelahan dengan Dimas. Kali ini lain hal. Dia juga sepertinya merasakan hal yang sama. Terlihat dari gerak-gerik kakinya yang tidak mau diam.
                “Run?”
                “Hm.”
                “Waktu itu kita tidak bikin perjanjian hitam di atas putih, kan?”
                “Ah, aku tahu. Bau-baunya kamu tidak terima atas kekalahanmu. Ya, kan?”
                “Hey! Memangnya aku kalah?”
                “Dasar bodoh! Semua orang mengakui bahwa malam ini aku cantik.”
                “Semua orang? Memangnya kapan aku bilang kalau kau cantik?”
                “Itu, barusan.” Aku terkekeh.
                “Hm. Oke. Aku mengaku kalah. Kau cantik malam ini.”
                “Hey!” Aku melihat wajah Dimas berubah serius. “Jangan coba-coba membuatku senang. Kalau aku jelek, katakan saja. Itu berarti aku yang –“
                “Kau benar-benar cantik. Sungguh. Tanyakan pada mama, aku tidak pernah bohong. Kecuali saat membelanjakan permen pakai uang dari Om Erwin yang seharusnya untuk beli obat sakit gigi mama.” Dimas tertawa. Diam-diam wajahku merona. Untunglah aku sempat memakai blash on warna merah muda. Dan aku mengembangkan senyum selebar mungkin.
                “Yes! Aku menang!”
                “Oke. Mulai besok atau dari sekarang, nih, aku jadi kacungmu?”
                “Hahaha, sudahlah. Lupakan taruhan itu. Aku tidak akan menjadikanmu kacung. Apalagi selama dua minggu. Bisa dikira diktator.”
                “Kau yakin?”
                Aku mendapati mata almond itu sedang menata lurus ke arahku lagi. Ah, rasanya tubuhku ingin mencair. Aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Aku menyukai Dimas. Ck!
***
                Malam ini Dimas mengajakku bertemu di belakang rumahnya. Kami duduk di tepi sungai – bukan selokan – yang airnya mengalir cukup deras. Pukul 23.00. Kami seperti anak cabe-cabean yang mojok tengah malam. Ck!
Tubuhku gemetar. Kakiku bergelayut tak menapak. Aku hanya mengamati deras sungai di bawah kakiku. Ya Tuhan...Perasaanku semakin sulit diartikan.
                “Runi.”
                Suaranya memaksaku untuk menoleh. Wajahnya begitu dekat hingga bau peppermint masuk ke indera penciumanku. Aku yang sadar bahwa jarak kami sangat dekat, membiarkan diri tetap dalam posisi ini. Sial! Harusnya aku mundur dan membuat jarak. Tapi untuk berkedip saja aku terasa lemah. Aku semakin tidak bisa menguasai diri dan hatiku makin ngelunjak. Dalam diam, Dimas menyentuh jemariku.
                “Sepertinya Tuhan mengabulkan do’amu.” Do’a yang mana? Aku terlalu banyak berdo’a.
                “Setiap saat aku selalu berdo’a. Tapi yang mana do’aku yang kau maksud?”
                Dimas semakin mengeratkan genggamannya. Meremas lembut jemariku yang kedinginan.
                “Apa kau pikir ini terlalu cepat, jika kubilang...aku menyukaimu? Apa aku seperti menjilat ludah sendiri? Ketika aku mencintai perempuan jadi-jadian di sebelahku saat ini?”
                Buuumm!! Letupan dalam hati membuat tegang syaraf-syaraf dalam tubuhku. Aku bukan bocak berusia tujuh tahun yang tidak mengerti gelagat seorang lelaki ketika sedang menyukainya. Dari awal aku sudah menebak.
                “Runi? Telingamu masih berfungsi, kan? Kau tidak tuli, kan?”
                Mataku memicing. Dalam suasana romantis ini masih saja ia mengataiku tuli. Gendheng!
                “Hey! Aku sedang memikirkan jawaban. Sabar sedikit.”
                “Jawaban untuk apa? Aku tidak sedang memberimu soal sejarah Yunani atau Persia.”
                “Dim, andai tanganku tidak kau jerat, sudah kudorong kau ke sungai.”
                Dimas tertawa. Suaranya renyah. Aku menyukai tawa itu yang membuatku ingin ikut tertawa.
                Satu, dua, tiga menit berlalu tanpa suara, kecuali jangkrik yang sedang berlomba siapa yang paling merdu. Aku tahu tidak akan ada yang menang. Kecuali lagi, kalau ada jangkrik bersuara seperti Whitney Housten. Oke, kembali ke permasalahan. Hatiku yang sedang bermasalah.
                “Ada satu hal yang membuatku gusar setiap harinya. Dan itu berawal setelah makan malam di rumahmu.”
                Dimas mengernyitkan dahi. Bingung.
                “Aku bukan orang yang sering mendapat pujian, dikejar-kejar dan dipuja para lelaki. Ya, mungkin ada satu-dua orang. Tapi setelahnya mereka lenyap dengan sendirinya.” Aku menurunkan pandangan ke dua kakiku yang menggantung. “Dim, boleh ku tanya sesuatu?”
                “Tanyakan saja.”
                Aku berdehem. “Apa aku boleh mencintaimu?”
                Dimas semakin melekatkan pandangannya ke arahku. Terlihat jelas tulang pipi yang mengeras dan bibir yang sedikit kecoklatan itu. Alisnya tebal seperti Shincan. Tapi...Ia sungguh tampan. Seketika pandangannya beralih ke hamparan hitam di atas kepala kami. Tangannya masih membungkus tanganku. Hangat.
                “Seharusnya aku yang bertanya. Sebab aku menghargaimu sebagai seorang perempuan. Seorang calon ibu, sama seperti aku menghargai mamaku.” Ia kembali menatapku, “Sekarang aku yag bertanya. Bolehkan aku mencintaimu, Seruni?”
                Semilir angin bertiup di belakang leherku. Menggelitik. Sama juga dengan tatapan dan ucapan Dimas. Aku makin mengaguminya. Lelaki yang menghormati seorang perempuan sebab ia memandang ibunya. Aku bergeming. Sekali lagi, aku balas menatap Dimas.
                “Baiklah. Aku menjawab YA.” Dimas menyipitkan matanya. “Aku mencintaimu.”
                “Aku juga mencintaimu, gadis merah marun”, ucap Dimas setelah diam beberapa saat.
                “Gadis merah marun?”
                “Iya. Sebab aku semakin yakin tentang perasaanku, ketika melihatmu mengenakan gaun merah marun tempo lalu.” Senyum kulebarkan selebar mungkin.
                Aku merasakan degup jantungnya. Dekapan yang tak pernah kudapat dari lelaki lain. Sungguh. Aku benci suasana ini, yang membuatku jadi sendu. Suasana yang mendadak mengubahku jadi melankolis. Rasanya ingin cepat-cepat membuka bloknot dan menggoyangkan pulpen di atasnya. Ingin kutuliskan bahwa aku sudah tidak perlu lagi bergurau dibalik jendela yang berdebu. Aku tidak perlu lagi gelisah karena butir-butir perasaan aneh itu sudah terkuak. Aku mencintai Dimas.
                Pukul 01.00. Aku bersandar di bahu Dimas. Tangan kirinya meraih bahu kiriku dan mengeratkannya. Angin yang semakin tidak bersahabat menelusup lewat sela-sela baju yang terbuka. Tidak tahan dinginnya. Tapi juga tidak mau melewatkan semua ini.
Tetaplah malam begini
Biar mentari tak lagi kulihat
Asal dia masih menggenggamku
Jangan dulu usik kami
Sebab bara menyatu dengan samara
Dan kami sama-sama sedang bergelora
Saat kusadar bahwa waktu masih berputar
Maka kami bersiap menunggu pagi

0 komentar:

Posting Komentar