Abi,
entah dorongan apa yang bisa membuatku mau menuliskan ini. Saat ini, aku sedang
merasakan gejolak akhir 2012 yang lalu. Ketika aku mulai tertarik denganmu dan
setelahnya aku benar-benar jatuh cinta. Ruang dadaku terlalu sesak jika
mengingat kenangan manis kita yang tidak lama. Walau jarang kontak mata, hanya
mendengar suaramu lewat ponsel itu sudah buatku merasa beruntung. Tapi tahukah
kau, Bi? Beberapa waktu kemudian aku seperti terjatuh ke tanah dengan hentakkan
yang keras. Saat kau – orang bilang – melukaiku.
Tapi
tidak apa. Aku tidak pernah marah. Mengapa? Aku juga tidak paham dengan diriku
sendiri. Sampai detik ini, awal April di tahun 2014. Aku masih menyimpan rindu
untukmu. Baka!
Oh,
iya. Ini awal April, kan? Di Jepang sedang bermekaran bunga-bunga kecil
berwarna merah muda, sakura. Abi, aku punya satu impian. Di taman Ueno, Tokyo,
kita menggelar selimut dan duduk di atasnya. Di hujani sakura yang merubungi,
dan aku bahagia bersamamu. Oh, mungkin ini terdengar seperti fiktif. Seperti
aku yang sedang membuat cerpen dengan daya imajinasi tinggi. De wanai! Watashi wa shinkokuda.
Dulu aku pernah membuat
daftar keinginanku yang ingin dilakukan bersamamu. Sejak aku mendapati tatapan
matamu menyorotku, muncul harapan yang sampai sekarang aku masih memupuknya,
ternyata.
Abi,
oh...Bahkan memanggilmu dengan sebutan itu pun bibirku bergetar hingga dadaku
naik turun menahan sesak. Aku sadar, bahwa selama ini aku seperti menunggumu.
Bisakah kau pahami suratku? Bahwa aku masih mencintaimu? Bahwa aku masih
menyayangimu? Sungguh tidak ada dusta dalam surat ini.
Sebelum
aku pulang nanti, aku ingin kau sudah membaca ini. Sayang, aku tidak ada
keberanian untuk memberikannya langsung kepadamu. Nyaliku tidak cukup untuk
seorang perempuan yang bodoh masih mengharapkanmu, aku. Jika saja Tuhan
memberiku waktu banyak, suati saat aku ingin muncul dihadapanmu. Sekedar
mengucap “apa kabar?” dan melihat bentuk matamu sekali lagi. Abi, andai kau
tahu, aku menyukai bentuk matamu. Mata yang tak jarang kulihat bentuk dan
sorotannya. Aku rindu tatapanmu...Tatapan si mata sayu yang menyipit
diujungnya. Tidak besar, tidak juga kecil. Seperi almond.
Ya,
Abi. Kuharap kau benar-benar membaca ini. Aku sudah bisa memahami artinya
ketulusan dan kesetiaan. Sekarang tinggal dirimu. Bagaimana? Bisakah kau juga
paham? Semoga...sebelum aku pulang, kau sudah datang menjemputku untuk duduk
berdua. Tak perlu di taman Ueno, itu salah satu mimpiku yang kuanggap mustahil.
Walau aku tahu, dimata Tuhan tidak ada yang mustahil. Aku manusiawi.
Abi...Semoga
Tuhan hanya menegurmu dengan lirih dan dengan Kasih sayang-Nya. Semoga kau
tidak bertemu dengan karma yang akan merusak hidupmu menjadi kelabu. Sungguh,
aku tidak pernah merasa dendam atau benci padamu. Aku ikhlas. Dan aku juga minta
maaf atas keagresifanku dan kebodohanku. Gomen’nasai.
Bandung, 03 April 2014
Kuree-nai
Aku terharu baca ini kur aseli :'(
BalasHapusUwow...anggra punya blog? Ahahhahaa masukkin aku ke lingkaran atuc :D
BalasHapusYa ya ya...aku nulis ini bener2 pake hati. Aku bener2 lagi kangen Abi...