Sejenak aku meniti butiran debu
pada jendelaku. Sekitar lima milimeter tebalnya. Karena aku jarang sekali
mengurus kamar beserta perkakasnya. Buku-buku berserakan di mana-mana bekas
kubaca. Dan terkadang ada gerombolan semut di kolong lemari. “Jangan kau sapu
kamar ini. Jangan kau usir kami.” Aku mencoba menebak-nebak semut itu berkata
apa ketika melihat langkah kakiku masuk ke kamar membawa sapu. Ya sudah,
mungkin mereka senang di kamarku. Mungkin mereka menyukai kamarku. Begitu aku
bicara pada mama sebagai alasan penutup malasku untuk tidak membersihkan kamar
ini.
”Run, sini turun! Teman mama
sudah datang.”
Akhirnya mama memanggilku juga.
Bukannya aku tidak sabar menunggu teman mama dan anaknya itu datang. Malah aku
enggan. Kemarin mama sudah bilang bahwa
akan ada temannya bersama anaknya datang bertamu. Dan mama ingin aku berkenalan
dengan anaknya. Pertemanan yang direncanakan. Sepertinya akan tidak
menyenangkan. Sebab anak teman mama yang satu ini kalau tidak salah sangat fashionable. Mama pernah, bahkan sering,
bercerita ketika mama dan anak temannya ini sering berbelanja berdua. Beli ini,
beli itu. Hobi perempuan yang paling tidak aku sukai.
Belum selesai anak tangga
kulewati, sudah terlihat tamu yang duduk di ruang tamu. Seorang perempuan tua –
teman mama – dan seorang laki-laki muda. Aku tidak melihat ada anak perempuan.
Yang ada perempuan tua, teman mama itu.
Ketika aku sampai dekat sofa,
laki-laki itu mengangkat kepala ke arahku. Sekilas terlihat mata bulat dan
bibirnya sedikit kecoklatan. Aku tahu itu bukan bibir perokok.
“Nah, ini dia putri semata
wayangku. Mbak Yen, Mas, kenalkan ini anakku.”
“Seruni. Panggil saja Runi,” aku
sunggingkan senyum setulus mungkin ketika memperkenalkan diri di depan Tante
Yeni dan...siapa nama anaknya?
“Dimas.”
Laki-laki itu menyebut namanya.
Meraih tanganku dan melempar senyuman kecil.
“Cantik ya, manis juga.
Sederhana lagi. Nggak kayak Disa, segala dipakai. Dikit-dikit dandan. Kemayu
gitu deh,” Tante Yeni menertawakan anaknya sendiri. Mama juga ikut tertawa. Aku
mencari-cari sisi mana yang lucunya.
“Tapi Disa itu hebat. Sudah
pintar mempercantik diri. Kalau Runi ini paling malas untuk dandan. Baju saja
pakainya oblong sama jeans terus. Nggak peernah pakai rok. Sedikit tomboy.”
Mama tidak sedang menjelek-jelekkan
aku. Karena aku memang demikian. Dan aku tidak merasa itu jelek.
“Nak Dimas kalau tidak salah
sekarang sudah semester tiga, ya?”
“Iya, Tante. Satu kampus dengan
Runi juga, kok.”
Aku membuka mata bulat-bulat.
“Apa? Satu kampus?”
Dimas mengangkat kedua alisnya.
Pertanda meng-iya-kan kekagetanku.
“Oalaaah...masak kamu nggak
tahu, Run, kalau kalian satu kampus? Nak Dimas saja sering lihat kamu.”
“Ya kan bukan berarti Runi lihat
dia juga, Ma,” aku melirik ke arah Dimas. “Kamu jurusan apa?”
“Teknik fisika. Kamu...Arkeolog,
kan?”
“Aha,” singkat jawab dariku.”
***
Aku sempat menebak pertemuan
dengan Tante Yeni dan anaknya siang tadi, ada indikasi perjodohan. Aku dan anak
Tante Yeni. Dimas. Ah, jangan gede rasa. Toh aku tidak mau ada embel-embel
perjodohan yang diusulkan mama dalam bentuk apapun. Ini cuma perkenalan biasa. Mungkin aku dan
Dimas bisa jadi teman atau sahabat. Apalagi dia satu kampus denganku. Tidak
diduga.
Aku mengambil bloknot diantara
tumpukkan majalah wanita yang diberikan mama untukku. Majalah-majalah itu
diberikan agar aku belajar menjadi wanita “tulen”. Bah! Mamaku sendiri
meragukan kepribadianku. Meskipun aku tomboy, sedikitnya aku bisa memoleskan
bedak ke wajahku sedikit-sedikit. Mewarnai bibir kecilku dengan lipbalm, dan
mencatok rambut. Tidak terlalu tomboy, kan?
Di lembaran baru, aku membuat
puisi baru. Menuangkan kata-kata yang sempat muncul saat menatap jendela tadi
siang, sebelum mama memanggil untuk menemui tamunya – Tante Yeni dan Dimas.
Butiran debu di atas jendela
Kasihan
Sebab ia hanya sebatas kotoran sederhana
Tak perlu dilirik, tak perlu disentuh
***
Hari
ini hanya ada satu mata kuliah wajib. Sebenarnya aku malas kuliah di hari
Jum’at. Datang
ke kampus jauh-jauh hanya demi satu jam mata kuliah yang sangat aku benci.
Bahasa Inggris. Ya Tuhan...Bahasa negeri sendiri saja masih belum baik. Ini
lagi harus menguasai bahasa negeri orang. Aku saja belum bisa bahkan belum tahu
bahasa suku-suku di Indonesia. Bagaimana ini para menteri pendidikan?
Aku
terpaksa naik angkutan umum. Motorku dipinjam Mas Indra – kakak sepupuku –
untuk menjemput calon istrinya di terminal. Baru datang dari Solo, sengaja ke
Jogja untuk dikenalkan pada keluargaku. Jarak rumahku ke depan gerbang komplek
lumayan jauh. Apalagi kalau-kalau bola api di angkasa sedang mengganas. Tiba di
kampus bisa basah kuyup oleh keringat.
“Hey!”
Langkahku
berhenti mendadak ketika sebuah motor berdecit di depanku yang direm mendadak
oleh pengendaranya. Dimas.
“Mau
ke kampus, kan? Bareng, yuk!” Dimas membuka kaca helmnya.
“Eh...iya.
Ah, nggak usah. Aku sendiri saja.”
“Panas-panasan?”
“Emm...”
aku ragu dengan keputusanku yang barusan.
“Udah,
yuk. Cepetan naik. Kalau lama mikir joknya jadi kayak panci panas,” Dimas
menyodorkan helm merah yang modelnya sama seperti helm yang ia pakai. Aku luluh
oleh paksaan Dimas. Sebab panas yang sedang menyengat kota Jogja ini sangat
menyiksaku.
Ada
apa ini? Mengapa aku merasakan hal aneh ketika satu motor dengan Dimas? Mengapa
aku seperti merasa nyaman? Oh, tidak. Ini hanya ilusi.
***
“Di
mana ruanganmu?” tanya Dimas setelah memarkirkan motornya.
“Di
belakang perpustakaan FIB.”
Aku menyerahkan helm yang tadi kupakai. Kukibaskan rambut setengah panjangku.
Gerah. Sayangnya aku lupa tidak mengikatnya.
“Oh,
oke. Ruang kelasku di sebrang ruanganmu. Barangkali nanti mau pulang bareng?”
“Em...”
aku berpikir sejenak. Sebenarnya aku mau menjawab “tidak”. Tapi disengat
matahari seharian membuatku berpikir dua kali. “Lihat nanti saja. Kalau mau,
aku akan mencarimu.”
“Baiklah.”
Aku
melihat punggungnya yang tegap menjauhiku. Aku mengikutinya perlahan keluar
dari area parkir. Langkahnya agak terburu-buru. Tapi aku tidak berusaha
mensejajarkannya.
Benar
ruang kelasnya bersebrangan dengan ruang kelasku. Jadi tidak salah jika aku
sedikit mengikutinya.
“Runi!”
Aku
menoleh pada pemilik suara yang meneriakki namaku.
“Dewi!
Sudah balik kau dari Medan? Katanya mau cuti satu bulan?” Aku memeluk
sahabatku.
“Adikku
sudah mendapatkan sumbangan ginjal. Minggu lalu baru selesai operasinya. Di
sana sudah banyak keluarga yang menjaga, jadi aku dipaksa balik ke Jogja. Ya
lagi pula aku tidak mau ketinggalan mata kuliah. Setidaknya sedikit tenang karena
banyak yang menjaganya.”
“Oh,
syukurlah. Semoga lekas sembuh untuk adikmu, Wi.”
“Aamiin.
Oh, iya. Tadi kamu bareng siapa?”
“Kapan?”
Aku membuka buku paket bahasa Inggris yang tebalnya hampir empat sentimeter.
“Tadi
pas kamu datang. Aku lihat kamu turun dari motor di parkiran.”
“Oh, itu Dimas. Anak teknik
fisika.”
“Kok bisa kenal?”
“Anaknya teman mamaku.”
“Hmmm…”
Runi melirik ke arah Dewi yang
hanya berdehem dengan senyum meledek.
***
Sebelum aku mencari Dimas, ia
sudah lewat di depan ruang kelasku. Aku menerima tawarannya untuk pulang
bersama. Sebab matahari semakin meninggi dan apinya serasa makin membara.
Membakar kota Jogja yang padat oleh manusia-manusia super sibuk dengan urusannya.
Dimas mengendarai motornya
sedikit kencang. Sehingga terasa angin bertiup membelai rambutku yang tidak
terikat. Tiupan angin menebarkan aroma parfum bulgari dari tubuh Dimas.
Wanginya terkesan mahal. Aku kenal parfum ini. Sama seperti yang dipakai Mas Indra.
Tidak sadar aku tersenyum kecil mencium aroma tubuh Dimas yang menyeruak ke
dalam indera penciumanku.
“Runi?” Dimas memanggil namaku.
“Hm?”
“Aku mau ambil kwitansi dulu di
tempat kakekku. Tidak
apa-apa, kan, kita mampir sebentar?”
“Oke. Di mana?”
“Di selatan Malioboro.” Aku
mengangguk.
***
Aku dibuat terpana ketika
menginjakkan kaki di rumah yang masih kental dengan ciri khas suku Jawa ini.
Sangan cantik dengan aksen-aksen kayu yang menempel di dinding depan.
Menggambarkan bahwa rumah ini masih sangat tradisional. Sentuhan modernnya
hanya terletak di ubinnya. Rumah ini menggunakan granit krem besar berukuran 40 x 40. Rumah yang bersih,
sejuk walaupun Jogja sedang dibakar matahari. Beranda rumah ini terdapat empat
kursi kayu cendana yang hanya cukup untuk satu orang. Mengelilingi meja kayu,
di depan, belakang, kanan dan kiri meja.
Rapi.
Saat aku masuk ke dalam, aku tak
kalah dibuat takjub. Tidak banyak perabot rumah tangga. Hanya sebatas kursi
tamu, tiga rak buku berderet memanjang diseberang pintu utama, dan satu radio
tua. Ruangan pertama yang kumasukki ini penuh dengan lukisan-lukisan. Dengan
perkakas melukis yang tertata rapi di pinggir rak.
Aku masuk hingga ruang tengah.
Di sanalah aku bertemu kakek Dimas. Beliau sedang melukis rupanya. Karena
ruangan tengah digunakan khusus “produksi”, alias tempat membuat
lukisan-lukisan yang dipamerkan di ruang depan.
“Assalamu’alaikum, Mbah.”
Sang Kakek menyundulkan
kepalanya dari balik kanvas.
“Wa’alaikumussalam. Eh, Dimas.
Kebetulan kamu kesini. Lihat!” Aku melihat gambar wajah tua di kanvas yang
kakek tunjukkan. “Akhirnya kakek bisa menyelesaikannya. Bagaimana menurutmu?”
Aku mengikuti Dimas yang sedang
memperhatikan lukisan kakek. Kanvas itu penuh dengan gradasi coklat. Mungkin
menggambarkan usianya yang tua. Tapi tetap terlihat cantik, dan sepertinya pemilik wajah itu baik
hati.
“Ini sempurna, Kek. Sangat mirip
dengan yang aslinya”, ucap Dimas sambil mengembangkan senyumnya. Terlihat kakek juga ikut tersenyum
dengan mimik yang sangat bahagia.
“Nanti
lukisan ini akan kakek taruh di kamar. Supaya kakek merasa bahwa almarhumah
masih ada”, ujar kakek seraya memeluk lukisan itu. Aku baru sadar, ternyata
wajah tua dilukisan itu adalah nenek Dimas. Dan aku jadi tahu bahwa nenek sudah
meninggal ketika kakek menyebutnya “almarhumah”. Aku berbalik menatap iba sang
kakek. Sepertinya mereka begitu saling mencintai. Sakin lamanya hidup bersama,
kakek bisa hafal gurat-gurat tua wajah nenek dengan persis seperti aslinya. Aku
meihat foto nenek di atas meja. Hanya saja berbeda gaya dengan yang ada di
lukisan. Tapi air mukanya sama persis.
“Oh
iya, gadis ini siapa? Calonmu, Mas?” kakek tiba-tiba menengok ke arahku yang
kemudian beliau melempar senyumannya yang ramah.
“Oh
iya, Kek. Ini kenalkan, Seruni. Anak teman mama yang kemarin dikenalkan itu.”
“Hmm...pilihan
yang tepat. Mamamu tidak akan salah pilih.”
“Maksud
kakek?”
Dimas
dan aku saling bertukar pandangan.
***
Bibir
jendela kamarku sedikit terlihat menghitam. Setelah aku mendekat, rupanya
karena debu yang lama tidak aku bersihkan. Sudah berapa bulan aku tidak merawat
kamar sendiri? Saat ini bahkan lebih pantas disebut gudang. Terpaksalah aku
membersihkan debu dan kotoran disekitar kamar.
Cukup
membersihkan debu di bibir jendela, di atas meja, dan membuang sampah bungkus
permen dan coklat di kolong tempat tidur. Lumayan rapi. Tidak terlalu buruk
seperti sebelumnya. Ku ambil gitar di sebelah lemari, lalu kupetik satu persatu
senarnya. Aku hanya mampu memainkan beberapa chord. Enam bulan belajar gitar belum juga berhasil memainkan satu
lagu. Payah!
Aku
melirik ke arah iPhone-ku yang
berdering. Alisku berkerut ketika membaca nama Dimas di layarnya. Ah, aku ingat
bahwa pertemanan kami sudah berlangsung tiga bulan lamanya. Hingga kami
benar-benar menjadi sepasang sahabt. Oh, iya. Aku juga sudah mengenal kakek
Dimas lebih dekat bersama lukisan-lukisannya. Karya lukisan favoritku adalah
lukisan bunga sakura yang rimbun di musim semi, hasil karya Dimas. Aku percaya
jika orang-orang melihat lukisan itu akan menganga karena terhipnotis keindahan
lukisan itu.
“Halo?”
“Halo,
Run. Lagi di mana?”
“Di
rumah. Ada apa, Dim?” Aku tidak mengikuti orang-orang yang memanggilnya dengan
kata ‘Mas’. Aku lebih nyaman memanggilnya ‘Dim’.
“Aku
mau ke rumahmu. Ini ada titipan dari mamaku.”
“Oke. Tapi mamaku tidak ada di rumah.”
“Tidak
apa-apa. Ini untuk kamu, kok.”
“Oh,
ya sudah. Datang saja.”
***
“Bagaimana?
Kau suka?”
Mataku
terbelalak setelah melihat isi dari kotak berwarna silver dari Dimas.
Kulebarkan di depan Dimas, dan kutambahkan ekspresi wajahku dengan mulut
terbuka lebar.
“Luar
biasa...Cantik.”
“Malam
ini kamu dan mamamu diundang untuk makan malam di rumah kami. Kalian akan aku
jemput nanti malam. Dan kau harus pakai ini.”
Yang
benar saja? Seumur-umur aku tidak pernah memakai gaun. Pakai rok kalau sekolah
saja. Ini gaun, bukan rok sekolah. Gaun yang cantik. Mana pantas terpasang
ditubuhku yang sama sekali tidak bisa disebut seksi.
“Tenang,
kau tidak akan terlihat seperti badut kalau memakai ini. Yaaa...paling-paling
nanti malam aku jadi kenyang duluan gara-gara menertawaimu”, Dimas tergelak
puas hingga matanya tertutup rapat sambil memegangi perut. Nanti malam pasti
akan lebih parah dari ini. Dimas akan lebih puas jika melihatku memakai gaun
ini. Karena aku akan terlihat konyol.
Aku
menjitak kepala Dimas sambil mencibir. Alisku berkerut dan kumajukan bibirku.
“Tidak!
Aku tidak mau memakai ini. Sumpah, aku lebih baik memakai baju badut sungguhan!”
“Apa
kamu mau mamaku benci padamu sebab pemberiannya tidak kau terima?” Dimas
berhenti tertawa sambil meringis akibat terlalu keras tertawa.
Yang
dikatakan Dimas ada benarnya. Kalau aku tidak memakai gaun ini, bisa dibilang
aku tidak tahu terimakasih. Ya Tuhan, malam ini akan jadi malam terburuk.
“Dasar
perempuan jadi-jadian.”
Aku
kembali memukuli Dimas dengan bantal. Ia kembali tertawa lebar. “Puas kamu!”
“Hehehe...Bagaimana
kalau kita taruhan. Kalau nanti orang tua kita takjub melihatmu, artinya kau
menang. Dan aku bersedia menjadi budakmu selama dua minggu.”
Aku
bergumam. “Tapi kalau sebaliknya...” Dimas melanjutkan, “aku yang menang. Dan
kau harus jadi budakku selama tiga minggu.
“Apa?
Tiga minggu?”
“Aha!”
Otak
licik Dimas mulai terlihat. Ia makin terkekeh melihat muka jengkelku. Ia juga
tahu taruhan ini tidak adil. Sangat tidak adil. Dan taruhan ini memaksaku untuk
kerja keras berdandan secantik dan semenarik mungkin. Sejenak aku bergeming.
“Oke.
Aku setuju. Tapi lihat nanti kalau aku cantik malam ini, kau pasti akan naksir
denganku”, kini giliran aku yang terkekeh dengan senyum percaya diri.
“Apa?
Naksir? Sama perempuan jadi-jadian kayak kamu? Ya Tuhan...Yang aku mau itu
seperti Lily Allen, atau Taylor Swift. Bukan Seruni Prasasti.”
“Ya
Tuhan...Jika malam ini aku bisa tampil cantik, buat lelaki ini jatuh cinta
padaku. Dan buat ia tergila-gila karena aku.” Aku merapatkan jari-jariku, berdo’a.
Tawa Dimas perlahan meyurut meninggalkan tatapan yang tertuju padaku. Sialnya
aku juga ikut membalas tatapannya. Matanya indah, ujungnya menyipit dan kelopaknya
sedikit turun. Mata almond.
Sial!
Tiba-tiba jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Ruang dadaku sesak
seperti tak ada oksigen. Beberapa detik berlalu tanpa suara. Aku sadar, kami
bertatapan cukup lama setelah aku memanjatkan do’a yang tadinya hanya untuk
candaan. Tapi aku, dan Dimas, sama-sama tersentak oleh do’aku. Ya Tuhan, tadi
aku hanya bergurau. Kemudian kami berdua salah tingkah.
***
Kini
meja rias di depanku tercecer macam-macam serbuk padat warna-warni. Dengan kuas
kecil hingga kuas berbulu lebat untuk mewarnai tulang pipiku dengan warna merah
muda. Ku poles bibir mungilku dengan warna yang sama, tidak terlalu tebal.
Karena rasanya aneh, basah dan sedikit lengket. Aku menegaskan garis mata
menggunakan cairan berwarna hitam pekat. Meruncingkan alis dengan pensil dan
menjepit bulu-bulu mataku. Aku mempelajarinya dari majalah wanita dari mama
yang menumpuk di sudut kamar da;am waktu tiga jam.
“Runi?”
Entah
kapan mama datang, yang jelas ia sudah ada di belakangku. Air mukanya tampak
tak percaya, seperti habis menerima kabar buruk bahwa kucing kesayangannya
terlindas truk molen.
“Kamu siapa?” Hah? Mama tidak amnesia
kan?
“Apaan
sih, Ma? Mama tidak habis terbentur kitchen
set lagi, kan? Sampai-sampai lupa anak sendiri?”
“Bukan
begitu. Lihat deh”, mama memperlihatkan sosok perempuan di dalam cermin.
Perempuan itu mengenakan gaun v-neck merah
marun selutut. Rambutnya tergelung dengan poni menyamping dan sedikit anak rambut
teruntai di depan telinga. Ya, itu aku.
“Coba
kamu dari dulu seperti ini, Run. Cantik sekali.”
Rasanya
ingin jingkrak-jingkrakan mendengar pujian mama. Ah, ya. Aku sedang memakai
rok.
***
Aku berjalan Stidak terlalu kaku dengan heels setinggi tiga sentimeter yang
kukenakan. Aku sengaja memilih yang hanya tiga senti. Cari aman. He-he.
Kulihat Dimas bersandar dimobil Pajero hijaunya yang
terparkir tepat depan pintu. Sepertinya ia mendengar ketukan heelsku, yang membuatnya membalikkan
badan. Aku melihat wajahnya berubah setelah melihatku yang berdiri di
hadapannya.
“Bagaimana, Nak Dimas? Anak tante cantik, kan? “
“He? Tante tidak salah bawa anak, kan?”
“Heh! Bilang saja aku ini cantik. Tidak perlu belaga
tidak tahu.” Aku terbahak puas.
“Eh, sudah cantik, sudah feminin, masak tertawanya
seperti itu?”
Aku buru-buru menutup mulutku, kemudian senyum-senyum
sendiri. Dimas yang melihat tingkahku yang sedikit aneh tertawa geli karenanya.
Ah, kau membohongi diri sendiri, Dim.
“Oh, ya. Omong-omong, jasmu keren. Ngutil di mana?”
“Wey...wey...Enak saja ngutil. Ini dapet beli di luar
negeri. Mahal tau!” Dimas menekankan kata mahal sebagai bentuk kesombongan. Ck! Tapi, kau tampan dengan jas hitam
dan jeans biru muda itu. Astaga! Aku
memujinya. Tiba-tiba aku kembali gelisah.
“Mari tante, kita langsung ke rumahku.” Dimas
membukakan pintu belakang untuk mama. Saat aku meraih pintu mobilnya, Dimas
buru-buru mengambil alih untuk membukakan pintunya. Ia mempersilakan aku masuk
selayaknya putri kerajaan. Kemudian, kegelisahanku makin menjadi.
***
“Aku
ndak percaya, Mbak. Runi cantik sekali malam ini.”
Aku
yang mendengar itu langsung senyum sumringah di depan semua orang. Aku dan
Dimas tak sengaja bertemu pandang. Beberapa detik kami berdua membeku. Kemudian
disadarkan oleh dentingan sendok makan Tante Yeni yang jatuh ke lantai.
“Mbak
Yen, terimakasih ya atas jamuannya malam ini. Semoga tali silatuahmi kita tidak
sampai di sini, harus semakin erat.”
“Sama-sama, Mbak. Itu dia niatku. Supaya kita semakin
dekat, terutama anak-anak kita.”
Aku tersedak mendengar kalimat Tante Yeni. Terutama
anak-anak kita? Apa maksudnya? Aku dan Dimas, begitu? Ah, bukankah kami memang
sudah dekat satu sama lain? Dalam konteks sahabat maksudnya.
Selesai makan, aku dan Dimas duduk-duduk di beranda
rumah. Malam yang aneh. Dan kegelisahanku masih ada sampai saat ini. Malah
makin menjadi. Tidak biasanya aku gugup ketika duduk bersebelahan dengan Dimas.
Kali ini lain hal. Dia juga sepertinya merasakan hal yang sama. Terlihat dari
gerak-gerik kakinya yang tidak mau diam.
“Run?”
“Hm.”
“Waktu itu kita tidak bikin perjanjian hitam di atas
putih, kan?”
“Ah, aku tahu. Bau-baunya kamu tidak terima atas
kekalahanmu. Ya, kan?”
“Hey! Memangnya aku kalah?”
“Dasar bodoh! Semua orang mengakui bahwa malam ini
aku cantik.”
“Semua orang? Memangnya kapan aku bilang kalau kau
cantik?”
“Itu, barusan.” Aku terkekeh.
“Hm. Oke. Aku mengaku kalah. Kau cantik malam ini.”
“Hey!” Aku melihat wajah Dimas berubah serius. “Jangan
coba-coba membuatku senang. Kalau aku jelek, katakan saja. Itu berarti aku yang
–“
“Kau benar-benar cantik. Sungguh. Tanyakan pada mama,
aku tidak pernah bohong. Kecuali saat membelanjakan permen pakai uang dari Om
Erwin yang seharusnya untuk beli obat sakit gigi mama.” Dimas tertawa. Diam-diam
wajahku merona. Untunglah aku sempat memakai blash on warna merah muda. Dan aku mengembangkan senyum selebar
mungkin.
“Yes! Aku menang!”
“Oke. Mulai besok atau dari sekarang, nih, aku jadi
kacungmu?”
“Hahaha, sudahlah. Lupakan taruhan itu. Aku tidak
akan menjadikanmu kacung. Apalagi selama dua minggu. Bisa dikira diktator.”
“Kau yakin?”
Aku mendapati mata almond itu sedang menata lurus ke arahku lagi. Ah, rasanya tubuhku
ingin mencair. Aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Aku menyukai Dimas. Ck!
***
Malam ini Dimas mengajakku bertemu di belakang
rumahnya. Kami duduk di tepi sungai – bukan selokan – yang airnya mengalir
cukup deras. Pukul 23.00. Kami seperti anak cabe-cabean yang mojok tengah malam. Ck!
Tubuhku
gemetar. Kakiku bergelayut tak menapak. Aku hanya mengamati deras sungai di
bawah kakiku. Ya Tuhan...Perasaanku semakin sulit diartikan.
“Runi.”
Suaranya memaksaku untuk menoleh. Wajahnya begitu
dekat hingga bau peppermint masuk ke
indera penciumanku. Aku yang sadar bahwa jarak kami sangat dekat, membiarkan
diri tetap dalam posisi ini. Sial! Harusnya aku mundur dan membuat jarak. Tapi
untuk berkedip saja aku terasa lemah. Aku semakin tidak bisa menguasai diri dan
hatiku makin ngelunjak. Dalam diam,
Dimas menyentuh jemariku.
“Sepertinya Tuhan mengabulkan do’amu.” Do’a yang
mana? Aku terlalu banyak berdo’a.
“Setiap saat aku selalu berdo’a. Tapi yang mana do’aku
yang kau maksud?”
Dimas semakin mengeratkan genggamannya. Meremas
lembut jemariku yang kedinginan.
“Apa kau pikir ini terlalu cepat, jika kubilang...aku
menyukaimu? Apa aku seperti menjilat ludah sendiri? Ketika aku mencintai
perempuan jadi-jadian di sebelahku saat ini?”
Buuumm!! Letupan dalam hati membuat tegang syaraf-syaraf dalam
tubuhku. Aku bukan bocak berusia tujuh tahun yang tidak mengerti gelagat
seorang lelaki ketika sedang menyukainya. Dari awal aku sudah menebak.
“Runi? Telingamu masih
berfungsi, kan? Kau tidak tuli, kan?”
Mataku memicing. Dalam suasana
romantis ini masih saja ia mengataiku tuli. Gendheng!
“Hey! Aku sedang memikirkan
jawaban. Sabar sedikit.”
“Jawaban untuk apa? Aku tidak
sedang memberimu soal sejarah Yunani atau Persia.”
“Dim, andai tanganku tidak kau
jerat, sudah kudorong kau ke sungai.”
Dimas tertawa. Suaranya renyah.
Aku menyukai tawa itu yang membuatku ingin ikut tertawa.
Satu, dua, tiga menit berlalu
tanpa suara, kecuali jangkrik yang sedang berlomba siapa yang paling merdu. Aku
tahu tidak akan ada yang menang. Kecuali lagi, kalau ada jangkrik bersuara
seperti Whitney Housten. Oke, kembali ke permasalahan. Hatiku yang sedang
bermasalah.
“Ada satu hal yang membuatku
gusar setiap harinya. Dan itu berawal setelah makan malam di rumahmu.”
Dimas mengernyitkan dahi.
Bingung.
“Aku bukan orang yang sering
mendapat pujian, dikejar-kejar dan dipuja para lelaki. Ya, mungkin ada satu-dua
orang. Tapi setelahnya mereka lenyap dengan sendirinya.” Aku menurunkan
pandangan ke dua kakiku yang menggantung. “Dim, boleh ku tanya sesuatu?”
“Tanyakan saja.”
Aku berdehem. “Apa aku boleh
mencintaimu?”
Dimas semakin melekatkan
pandangannya ke arahku. Terlihat jelas tulang pipi yang mengeras dan bibir yang
sedikit kecoklatan itu. Alisnya tebal seperti Shincan. Tapi...Ia sungguh tampan. Seketika pandangannya beralih ke
hamparan hitam di atas kepala kami. Tangannya masih membungkus tanganku.
Hangat.
“Seharusnya aku yang bertanya.
Sebab aku menghargaimu sebagai seorang perempuan. Seorang calon ibu, sama
seperti aku menghargai mamaku.” Ia kembali menatapku, “Sekarang aku yag
bertanya. Bolehkan aku mencintaimu, Seruni?”
Semilir angin bertiup di
belakang leherku. Menggelitik. Sama juga dengan tatapan dan ucapan Dimas. Aku
makin mengaguminya. Lelaki yang menghormati seorang perempuan sebab ia
memandang ibunya. Aku bergeming. Sekali lagi, aku balas menatap Dimas.
“Baiklah. Aku menjawab YA.”
Dimas menyipitkan matanya. “Aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu, gadis
merah marun”, ucap Dimas setelah diam beberapa saat.
“Gadis merah marun?”
“Iya. Sebab aku semakin yakin
tentang perasaanku, ketika melihatmu mengenakan gaun merah marun tempo lalu.”
Senyum kulebarkan selebar mungkin.
Aku merasakan degup jantungnya.
Dekapan yang tak pernah kudapat dari lelaki lain. Sungguh. Aku benci suasana
ini, yang membuatku jadi sendu. Suasana yang mendadak mengubahku jadi
melankolis. Rasanya ingin cepat-cepat membuka bloknot dan menggoyangkan pulpen
di atasnya. Ingin kutuliskan bahwa aku sudah tidak perlu lagi bergurau dibalik
jendela yang berdebu. Aku tidak perlu lagi gelisah karena butir-butir perasaan
aneh itu sudah terkuak. Aku mencintai Dimas.
Pukul 01.00. Aku bersandar di
bahu Dimas. Tangan kirinya meraih bahu kiriku dan mengeratkannya. Angin yang
semakin tidak bersahabat menelusup lewat sela-sela baju yang terbuka. Tidak
tahan dinginnya. Tapi juga tidak mau melewatkan semua ini.
Tetaplah malam
begini
Biar mentari
tak lagi kulihat
Asal dia masih
menggenggamku
Jangan dulu
usik kami
Sebab bara
menyatu dengan samara
Dan kami
sama-sama sedang bergelora
Saat kusadar
bahwa waktu masih berputar
Maka kami
bersiap menunggu pagi