Halo,
readers. Sudah lama aku nggak posting
di blog ini. Pura-pura sibuk, sih.
Berhubungan dengan tanggal 4 November ini, aku ditantang
sama diri sendiri. “Re, kamu kan anak HI,
anak politik, anak ilmu sosial, nggak mau gitu menyampaikan aspirasi atau
berpendapat soal isu-isu yang ada di sekitar kamu?” kataku dalam hati.
Sebenarnya bukan nggak mau. Tapi, takut salah bicara dan
muncul anggapan sok tahu. Tapinya
lagi, aku sadar bahwa aku lahir dan dibesarkan di negara demokrasi.
Anggapan-anggapan apapun pasti akan ada dan akan selalu ada. Ya, ketika kita
membuat status di media sosial pun pasti ada yang komentar, kan? (kecuali kalau
akunnya belum terlalu eksis, hehe).
Aku berpendapat berdasarkan ilmu yang aku tahu ya.
Sebelumnya mohon maaf jika ada pendapatku yang kurang berkenan. Santai saja.
Silakan menyanggah jika memang kurang pas. Tapi, menyanggahlah dengan bijak dan
memperhatikan etika, ya :)
Pada dasarnya, Indonesia adalah negara demokrasi.
Sebelumnya kita perlu tahu makna demokrasi itu seperti apa. Demokrasi adalah
sistem sosial dan sistem politik pemerintahan di mana kekuasaannya berada di
tangan rakyat, dalam artian penyelenggaraan pemerintahannya dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi memungkinkan terjadinya kebebasan praktek
politik dari seluruh aspek masyarakat dan menjadikan masyarakat bebas
mengeluarkan aspirasinya pada pemerintah negaranya. Masyarakat bahkan bisa
berpartisipasi langsung dalam melakukan perumusan hukum, pengembangan serta pembuatan
hukum atau boleh juga diwakilkan oleh perwakilan rakyat. Salah satu contoh
bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat adalah pelaksanaan pemilihan umum atau
Pemilu. Di mana seluruh warga negara memiliki hak suara dalam menentukan
pimpinan suatu daerah atau wilayah.
Indonesia juga menganut liberalisme. Prinsip liberalisme
didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak merupakan nilai
politik yang utama. Oleh karena itu, tidak heran jika negara-negara yang
menganut aliran liberalis ini membebaskan masyarakatnya untuk berpikir dan
bertindak. Sebagian negara ada yang membatasinya dengan hukum atau konstitusi,
bahkan ada yang menolak untuk dibatasi oleh pemerintah maupun agama.
Nah, apakah negara mengatur tentang jalannya demokrasi?
Demontrasi memang telah diatur dalam undang-undang, artinya kegiatan ini boleh
dilakukan selama tidak melanggar hukum. Namun, tidak sedikit demonstrasi ini
menjurus kepada anarkisme. Anarkisme inilah yang tidak diperbolehkan, baik
dalam negara maupun agama.
Mengenai kasus penistaan agama yang dilakukan oleh salah
satu tokoh, ya aku memang tidak setuju dengan statement yang ia keluarkan. Sebagai umat beragama yang agamanya
bahkan kitabnya dianggap bohong,
tentu tidak hanya aku bahkan semua pun pasti akan bergetar hatinya. Dalam
Islam, kita tidak boleh mencampuri urusan agama lain. Seperti yang disebutkan
dalam Surah Al-Kaafiruun ayat 6: Lakum diinukum waliyadiin. Artinya: Untukmu
agamamu, dan untukkulah agamaku.
Kita tentunya tidak boleh berlaku melampaui batas-batas yang
seharusnya. Seperti yang dikatakan oleh Aa Gym (yang kulihat di salah satu
stasiun TV) beliau berkata yang intinya: kita tidak bisa memilih mau menjadi
orang bersuku apa ketika lahir di dunia, sementara agama yang kita anut itu
merupakan pilihan (bukan takdir). Namun, bagi penganut agama lain alangkah
baiknya untuk
tidak berbicara atau bertindak di luar kewenangannya seperti kasus yang sedang
marak saat ini dan mengundang kaum muslim yang merasa tidak berkenan dengan hal
tersebut turun ke jalan melakukan demonstrasi.
Apakah mereka benar-benar berdemo? Seperti apa demo itu?
Bersorak-sorak dengan lantang namun yang dikeluarkan adalah kalimat-kalimat
kasar dan kotor? Bukan kalimat tauhid
atau takbir? Kalau iya
mereka bertakbir, bertashbih, dan bersholawat, apakah semuanya dilakukan dengan
hati dan semata-mata karena Allah Ta’ala? Atau itu hanya latah di depan kamera wartawan? Apakah niat
mereka murni karena untuk membela agamanya? Membela kitabnya? Apakah mereka
berbondong-bondong ke ibu kota dengan emosi yang tersulut? Mampukah mereka
menahan emosi mereka? Itu emosi pasti bercampur hawa nafsu, benar? Bagaimana
jika emosi dan hawa nafsu tersebut tidak dapat diredamkan? Malah akan menimbulkan
anarkisme, bukan? Jadi, apakah Islam mengajarkan untuk membela agamanya dengan
anarki? Aa Gym berkata: kita boleh membela, tapi tidak boleh menzhalimi bahkan
dalam pertempuran sekalipun. Dan penisbatan pada Umar Bin Khattab bahwa beliau
melakukan demo dalam berjihad adalah salah besar.
Mari kita renungkan sebentar.
Aku pribadi memang tidak terima dengan statement yang mengatakan bahwa surah Al-Maidah ayat 51 itu bohong
adanya. Namun, aku tidak setuju dengan aksi demo yag ditunjukkan oleh kaum
muslim belakangan ini. Demonstrasi yang dilakukan tersebut malah akan
menimbulkan judgment bahwa umat Islam
senang melakukan anarkisme, umat
Islam itu kasar, emosional, dan tidak mencerminkan sifat
Rasulnya yang sering dijadikan dalil kaum muslim dalam menyanggah umat agama lain.
Right?
Kemudian yang aku takutkan lagi, bukan hanya sekadar ayat
dalam surah Al-Maidah tersebut, melainkan Islam akan sepenuhnya dianggap agama
yang bohong karena tidak mengajarkan perdamaian seperti yang sering disuarakan
oleh para ulama-ulama muslim di seluruh dunia. Lagi-lagi aku bertanya, apakah
umat yang pada tanggal 4 November berlari ke ibu kota itu bersungguh-sungguh
melakukan pembelaan atas agamanya? Aku pikir, alangkah baiknya umat sebanyak
itu selagi mereka bersatu padu dalam kekompakkan melakukan do’a bersama atau
istighatsah (memohon pertolongan di waktu genting), seperti yang Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan sebelum perang badar seperti yang tersurat
dalam surah Al-Anfaal ayat 9 yang artinya: “(Ingatlah),
ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu:
Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu
malaikat yang datang berturut-turut.” (Al-Anfaal:9)
Readers, aku sih lihatnya ini semacam
propaganda terhadap umat Islam. Kita tidak boleh mudah mengambil kesimpulan
terhadap sesuatu. Perlu pemikiran yang jernih dan ilmu yang cukup dalam
menyikapi sebuah kasus. Agama Islam adalah agama yang damai, agama yang
sempurna. Apapun yang terjadi di negara kita, tidak akan terlepas dari
kepentingan politik di dalamnya. Terbayangkah
diantara kalian? Jika kaum muslim yang adem ayem, tadinya, jadi tersulut karena
beberapa oknum yang memanas-manasi? Oknum yang basicly memang tidak menyukai orang yang sedang berkasus tersebut.
Lalu, Islam dijadikan sebagai senjata, ras dan suku juga dijadikan pemantik
sampai menjadi kasus yang serius.
Ini dampak dari negara yang
demokrasi, yang membebaskan masyarakatnya mengeluarkann aspirasi. Bahkan,
saking demokrasinya (masyarakat Indonesia), mau menginjak-injak gambar presiden
pun sah-sah saja, sepertinya. Kita coba lirik ke Thailand sebagai negara
monarki. Masyarakat Thailand manut-manut
saja atas kebijakan yang dikeluarkan raja. Bahkan masyarakatnya dilarang
berkomentar negatif atau bahkan melakukan penghinaan dan ancaman terhadap raja
mereka (raja Thailand memiliki hak Lese Majeste).
Jangan sampai perang saudara ini
menjadi benih terjadinya perang dunia ketiga (yang didesiskan akan segera
terjadi). Konspirasi dan propaganda di mana-mana, readers. Jika kita tidak memiliki ilmu
yang luas, maka kita akan dengan mudah hanyut dalam kehidupan yang terlampau
liberal ini.
Semoga bermanfaat.
Wassalam.
