Selasa, 24 November 2015

Siluet Manis


Source: http://designnotoself.blogspot.co.id

Di dalam mobil, ia berwujud seperti siluet. Tersinari lampu-lampu jalan yang sesekali berkedip saat mobil melewatinya. Semua hitam tapi tidak pekat. Aku masih bisa melihat bola mata dan gerak bibirnya ketika bicara. Malam ini aku mengharapkan banyak sesuatu yang terjadi. Tidak hanya sekadar berbincang biasa, tapi ada yang lain yang aku dapatkan darinya. Memang obrolan kami masih sangat ringan, tapi aku selalu merasa hangat ketika mendengarnya bercerita. Apapun itu, aku berusaha untuk menjadi satu-satunya perempuan yang dia ingat, bahwa aku selalu tertarik mendengar ceritanya.
Kita duduk berdekatan. Tanganku tanpa sengaja terjatuh di atas tangannya, dan ia perlahan menggenggam tanganku. Lembut. Sesuatu menggelitik isi perutku. Dan, dengan serentak aku menjatuhkan kepala di bahunya. Kita mendengarkan lagu yang sama dengan earphone dipakai berdua yang tersambung dari ponselku. Bibir kita menyenandungkan lagu yang sama juga. “Aku tidak pernah bosan mendengar lagu ini”, kataku. “Aku juga, ini favoritku”, katanya menyusul.
Entah dilagu yang mana, aku mulai tertidur. Masih di bahunya. Kurasa ia juga tidak menolak kehadiranku di sana. Aku makin merasa hangat dengan hembusan napasnya yang menyentuh pipiku. Kita tidak sedang bermesraan, bukan? Tapi malam ini aku merasa intim berdua dengannya meski kita bukanlah sepasang kekasih sungguhan.
Angin dari AC tidak mampu membuatku kedinginan, sekalipun ditambah angin dari luar berkat kaca jendela yang sedikit terbuka. Genggaman tangannya berhasil membuat seluruh aliran darah berdesir lebih deras dari biasanya. Aku mencium parfum yang menjadi bau khas tubuhnya. Menguar dari leher yang sebagian tertutup kerah sweter biru tua. Bahkan ia sama sekali tidak gusar ketika aku membenarkan posisiku untuk lebih merapat, agar aku bisa mencium bau tubuhnya lebih banyak lagi.
Kalau bintang bisa bicara, aku ingin mereka sampaikan pada lelaki di sampingku ini, bahwa aku bersedia menjadikannya pemeran utama dalam bola duniaku. Aku bukanlah orang yang dengan mudah memberikan kesempatan. Tapi dengannya, sudah kuberi dua kali meski tak tahu di masa depan apakah aku masih bisa memberikannya, ketika suatu hari mungkin saja ia kembali tertangkap tengah menjebakku. Aku harapkan ini, wahai bintang. Bahwa aku inginkan dirinya—sungguh. Aku cuma punya kasih, untuk bisa mendekap namanya dalam kurun waktu yang tak terhingga.
Bumi memang terus berputar. Menggulingkan banyak cerita yang kutahu tidak semua berakhir bahagia. Aku memang hanya manusia biasa. Selalu berpengharapan tinggi sampai lupa bahwa semesta tidak selalu terlihat cantik, tidak selalu terasa manis. Tapi bumi memang selalu berputar. Ketika aku tengah sulit mencari keindahan semesta, ada manis yang kutemui di tengah-tengah gelisah. Ketika ia—lelaki di sampingku—mengecup bibirku diam-diam, aku menemukannya.

Rabu, 11 November 2015

Keseimbangan


Kau sedang gencar-gencarnya mensejajarkan kaki denganku. Hingga pada suatu hari, kita mulai saling bergandengan (kau yang curi start). Tanpa penolakan sekecil apapun, aku seolah bersedia melenggang denganmu di atas jalan setapak yang sama.

Mengapa tangan kita bersatu tanpa tepisan?
Masing-masing dari kita tahu bahwa kau dan aku punya cara pandang yang--sangat--berbeda. Jujur, aku kagum dengan caramu melihat semesta. Kau punya logika yang masuk akal, aku punya intuisi yang kuat. Poin kesamaannya: kita punya keunggulan dalam fitrah masing-masing. Maka tak segan tangan kita pun saling merangkul, saling menuntun.

Perlukah saling menuntun?
Ya. Hidupku tidak baik dalam segala hal. Aku masih menemukan pondasi-pondasi yang terkikis keraguan dan ingkar. Kadang marah tak terkendali, kadang berlalu tanpa salah. Kau bisa jadi pengingatku?

Bumi itu seimbang. Aku pernah dapat petuah: jangan pernah mengejar kesempurnaan. Dan, aku pun terpengaruhi. Terlalu sempurna itu membosankan. Yang apa adanya adalah hal terjujur di bumi ini. Kau punya kekosongan, aku punya kekurangan, mungkinkah kita bisa saling menyeimbangi?

Tangan kita masih saling merangkul. Tapi, sampai di persimpangan, masih bisakah kita? Sekali lagi, kau dan aku punya cara pandang yang tak sama. Lebih menakutkan lagi, rangkulanmu tak seerat kemarin saat kita mulai dekat dengan persimpangan jalan. Aku menengadah melihat tubuhmu yang jauh lebih tinggi dariku. Matamu masih menatap lurus tanpa pedulikan aku yang mulai cemas.

Hingga kita benar-benar sampai di persimpangan. Pelan-pelan namun pasti; kita tak lagi bersentuhan. Kau tersenyum bersama mata sipitmu. "Kita tak akan pernah bisa seimbang."


Rabu, 11 November 2015.
-Ree K.