Aku masih terbaring lemah. Duniaku
dengan dunia luar hanya berbatas jendela berbungkus gorden merah tua. Pukul
delapan pagi, naluriku ingin melihat dunia yang telah lama kutinggalkan. Barang
sedikit melihat matahari yang sampai detik ini masih setia menyinari kehidupan.
Dengan lembut, kusibak gorden itu.
Secarik cahaya menyelinap ke dalam kamar dan terlihat diantaranya debu-debu
beterbangan dengan ribut. Sudah lama kamar ini tidak kubersihkan termasuk
jendela dan mengganti gorden lusuh itu. Tepatnya setelah ia memusnahkan semua
cahaya di kehidupanku. Mematikan semua harapan yang sudah kususun.
Mataku menyipit saat cahaya matahari
sedikit menusuk. Makin lebar gorden terbuka, makin banyak cahaya yang kulihat. Hanya setengah jendela
yang berhasil kusingkirkan
dari dekapan gorden lusuh itu.
Rupanya setahun yang lalu aku tidak menguncinya. Setelah terbuka, aku melompat
keluar sampai menginjak balkon yang dingin lantainya berkat hujan semalam.
Semilir angin membawa bau tanah basah habis diguyur hujan.
Lantai yang kuinjak berbalut
percikkan air. Membuat langkahku sedikit limbung karena licin. Lalu tanganku
berhasil mencengkram pagar pembatas balkon. Di bawah sana, titik-titik manusia
dan kendaraan terlihat sibuk berlalu-lalang. Hm...inilah kehidupan. Pemandangan
yang sudah satu tahun aku lewatkan hanya untuk mengeram dalam kegelapan. Andai
waktu itu dia tidak mengundang luka, pasti hari ini aku dan dia sedang asyik
bermain bersama anak-anak kami.
Dengan piama biru lusuh – piama
kedua selama setahun ini yang kupakai – aku
masih
berdiri menikmati dunia yang baru lagi kujumpai. Mata ini sedikit sayu, badan pun begitu kurus. Ah, kurasa
ada banyak perubahan pada diriku. Apakah kerabatku akan mengenali aku?
Kepalaku sakit, rasanya ingin pecah.
Penglihatanku mulai kabur. Kueratkan cengkramanku pada pembatas balkon. Dan
sekuat mungkin untuk bertahan dengan kaki yang sedikit kaku. Samar-samar
telingaku mendengar derap langkah pantovel kulit mengetuk keramik kamar. Makin
lama, makin keras, dan makin terasa dekat. Aku masih mengabaikan suara yang tak
jelas itu. Karena sakit kepala ini menyita perhatian dari suara sepatu yang
rasanya berhenti tepat dibelakangku. Sebelum aku memberanikan diri, aku sadar
ada tangan kanan yang melingkar di bahu.
“Nina.”
Ada
hembusan nafas yang
terasa
hangat dileher dan menggelitik. Suaranya agak sedikit berat, tapi merdu. Aku masih
belum berani menoleh untuk mengetahui siapa pemilik tangan yang kini melingkar
itu.
“Nina.”
Panggilan kedua itu akhirnya berhasil
membujukku untuk memutar kepala. Perlahan. Terlihat seseorang berkepala tiga
tepat di depan wajahku. Ah, tidak mungkin ada monster sepagi ini. Berkali-kali
kukerjapkan mata untuk menormalkan penglihatanku.
Bukannya jelas, tapi semua berubah
hitam. Tubuhku terasa lemas. Sangat lemas. Dan aku hanya melihat kegelapan.
***
Mungkin aku sedikit
kekanak-kanakkan. Tapi memang tidak bisa dipungkiri kekesalanku kepadanya saat
ini. Bisa-bisanya dalam enam
hari ia tidak memberi kabar apapun. Setidaknya, membalas pesan atau chat. Sesibuk itukah ia dengan
tugas-tugas akhirnya di kampus? Oh...Apakah ia tahu aku begitu membutuhkannya?
“Nina. Apa kau di dalam?”
Suara itu...Akhirnya baru lagi kudengar suara itu.
“Ya. Masuklah.”
Decit pintu tua dari kayu cendana di
kamarku tidak membuatku berhenti merajut. Biarkan ia masuk dan mendekat
sendiri. Toh memang itu sudah jadi
kebiasaannya setelah aku memberi kebebasan padanya untuk menguasai kamarku.
Selang beberapa menit setelah ia
duduk di sampingku, aku masih bersikap biasa. Merajut. Seolah tidak terjadi
apa-apa diantara kami. Tapi dalam diam, aku menunggunya untuk berkata lebih
dulu. Biar ia yang memulai semuanya.
“Aku tahu kau marah. Aku memang
bersalah. Jika aku memohon, apakah kau akan memaafkanku, Nin?”
Aku masih diam.
“Kau ingin aku merajuk, bukan? Baiklah.”
Ia beranjak dari tempatnya duduk dan
kini berlutut di depanku. Kemudian merogoh tasnya untuk mengambil sesuatu.
“Kumohon, maafkanlah aku. Maaf tidak
mengabarimu. Kemarin aku sempat sakit,
dan memang sengaja tidak ingin mengabarimu. Takut kalau kamu khawatir. Lalu
tugas akhirku memang sangat mengikat. Jadi…beginilah akibatnya.” Dean berlutut
di depanku dengan mengulurkan seikat bunga mawar merah jambu. Satu…dua…tiga…Sembilan belas…dua puluh.
Dua puluh tangkai. Oh, betapa tersentuhnya aku dengan sikapnya itu. Ini pertama
kalinya aku diberi bunga, terutama dari seorang lelaki.
Aku
mengalihkan perhatianku ke Dean. Mata kami bertemu. Aku sama sekali tidak
melihat kebohongan di matanya. Yang ada aku makin luluh, terlebih ketika ia
meraih tanganku dan mengecupnya. Berkat kepintarannya dalam bertingkah manis,
Dean berhasil membuatku memafkannya.
“Baiklah.
Kau memang cerdik, Dean. Kau berhasil meluluhkan aku. Bangunlah, jangan jadikan
aku seperti berhala.”
Dean
tertawa dan mulai berdiri. “Sekarang, hentikan merajutnya. Lebih baik kita ke
danau. “ Ia merebut benang dan kain tile
dari pangkuanku dan menyimpannya di atas bantal. Lalu menarik lenganku dengan
lembut dan kami pergi menuju danau di belakang komplek.
***
Entah
cupid dari mana yang telah menjatuhkan panahnya padaku. Yang jelas, dari awal
aku bertemu Dean hingga kini, perasaanku begitu besar untuknya. Ya, aku begitu
mencintainya. Bahkan sepertinya hidupku hanya kupersembahkan untuk dia seorang.
Cuma Dean. Aku yakin Deanlah yang akan jadi pendamping hidupku sampai ajal
menjemput nanti.
“Nina.”
Kami
berdiri tepat di tepi danau. Sedikit mendekat di pohon palem yang tidak terlalu
tinggi. Dean memelukku dari belakang. Melepas kerinduan yang terpendam selama beberapa hari ke belakang. Aku sangat
merindukannya. Dan kurasa ia juga merindukanku. Pelukannya begitu erat dan
hangat. Bahkan saat ia bicara pun napasnya terasa masuk ke telinga.
Menggelitik. Dan menimbulkan desiran dalam sekujur tubuh.
“Iya?”
“Aku minta
maaf sekali lagi.”
Aku
tersenyum. “Aku sudah memafkanmu, Dean.”
“Kali
ini aku benar-benar minta maaf.” Nada bicaranya sedikit berubah serius. Tapi
aku masih mencoba bersikap biasa. “Kau tahu perasaanku sesungguhnya?”
Aku
diam.
“Aku
mencintaimu. Sangat mencintaimu.”
Dean
makin mengeratkan pelukannya. Bersama dengan itu, aku merasakan ada yang aneh
dengan sikapnya. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Entahlah. Aku tidak mau
“Malam
ini, aku akan ke bandara.”
“Untuk
apa?” Jantungku jadi berdegup kencang. Ada sedikit jeda sebelum Dean menjawab
pertanyaanku. Dia seperti sedang berpikir.
“Aku
akan pindah ke Tokyo.”
Deg. Benar dugaanku. Ada yang tidak
beres. Aku mencoba mencerna perkataannya. Barangkali aku salah dengar.
Barangkali aku sedang bermimpi buruk. Tapi seketika Dean membenamkan wajahnya
di leherku, hingga aku menggeliat karena ia mulai menciumi leherku. Dan saat
itulah aku sadar kalau aku sedang tidak bermimpi. Di belakangku ada Dean. Dan
baru saja ia berkata akan pindah ke Tokyo.
Aku
melepaskan diri dan berbalik menghadapnya. “Apa alasan kepindahanmu?”
Dean
menundukkan kepala.Tapi aku masih berdiri tegak memperhatikannya. “Jawab aku.”
“Nin…”
katanya lirih. “Sebenarnya kemarin aku menghilang untuk berpikir tentang bagaimana
cara mengatakannya padamu. Aku…akan dijodohkan dengan orang lain, oleh Papa.”
Deg. Bahkan ini rasanya lebih sakit dari
mendengar niatnya pindah ke Tokyo. Aku sangat berharap ini adalah mimpi buruk.
Pasti aku sedang tertidur.
“Nina…Aku
mohon maafkan aku. Ini semua bukan kemauanku. Kau tahu Papa punya penyakit
jantung, kan? Kemarin aku sempat menolak, tapi jantung Papa kumat. Dan selama
enam hari kemarin aku menemani Papa di rumah sakit sambil berpikir jalan
keluarnya. Api ketahuilah, Nina, aku…”
“Baiklah.
Pukul berapa kau berangkat? Biar kuantar sampai bandara.” Sekuat mungkin
kutahan emosiku yang hampir meluap. Mataku mulai memanas. Aku seperti melayang,
karena kakiku begitu terasa lemas. Bahuku tergoncang – hebat. Bagaimana mungkin
bisa terjadi secepat ini? Ah, aku makin resah. Dan sepertinya aku akan
menangis.
“Nina,
apa maksudmu? Kau tidak melarangku sama sekali? Apa kau sudah tidak
mencintaiku?”
Oh, Dean…Jangan menatapku seperti itu.
Dan akupun menangis. Tak kuasa melihat tatapannya yang tajam tapi lembut itu.
Lalu aku berhambur memeluknya.
Tubuh
ini, untuk terakhir kalinya aku memeluk tubuh ini.
“Ya.
Aku mencintaimu. Sungguh…Sekalipun aku tak pernah berdusta.” Aku makin terisak.
Dean
membiarkan kami berpelukkan cukup lama sambil mengelus-elus punggungku yang
berguncang hebat. Elusan tangannya begitu halus dan terasa penuh kasih. Mungkin
aku harus merelakannya dengan orang lain, meski hatiku memaksa menuruti ego.
Aku tentu tidak punya hak untuk mencegahnya pergi. Aku sadar itu.
Aku
melepaskan diri. Sayangnya air mata ini belum mau berhenti. Tapi Dean berusaha
mencoba membersihkan wajahku, menyeka buir-bulir air mataku. Lalu ia menarik
pinggangku dengan kedua lengannya. Memperkecil jarak diantara kami dengan
perlahan. Tubuhku lebih pendek, hanya setinggi dagunya. Sehingga saat kami
berdiri, aku harus menengadah untuk melihat wajah Dean secara utuh.
Perlahan
Dean mendekatkan wajahnya hingga bibir kami bertemu. Hanya kecupan singkat.
“Maafkan
aku…” Bisiknya. Lalu ia kembali menciumku lebih lama. Lebih lembut. Hingga
napas kami saling memburu.
***
Aku
harus bersusah payah merelakan Dean bersama orang lain. Ia telah pergi. Dan
kota ini terasa mati. Mungkin aku mengutuk diriku sendiri; aku tidak akan
pernah mencintai orang lain selain Dean. Biar aku tidak menikah, biar aku tidak
punya anak, jika hasilnya dari kebersamaanku dengan orang lain.
Hatiku
telah terluka lalu mati. Kota ini juga akan ikut mati.
***
Sedikit
cahaya menyelinap ke dalam retinaku dan sedikit menusuk. Mataku masih mengerjap
sampai aku benar-benar bisa melihat dengan jelas. Pertama yang kulihat adalah
plafon berwarna putih gading. Menggantung lampu neon berkekuatan dua puluh lima
watt dengan cahayanya yang hampir redup. Aku jadi ingat, usia lampu itu sudah
sangat lama.
“Syukurlah
kau sudah sadar.”
Kepalaku
masih pusing. Bahkan lampu di atasku terlihat seperti komedi putar. Apa ini
halusinasi? Ada seseorang duduk di samping ranjangku. Dia bukan yang tadi
kulihat berkepala tiga. Tapi aku tidak mengenal wajahnya. Apa mungkin
sebenarnya dia temanku? Jelas satu tahun terakhir aku tidak pernah meninggalkan
kamar.
“Kau
Nina, kan?” Orang itu bertanya. Tapi aku terlalu lemah untuk menjawabnya. Cuma
bisa menatap perempuan asing itu dengan menyiratkan jawabannya: iya, kau siapa?
Dan
sepertinya perempuan itu paham maksud tatapanku.
“Aku
Hana.”
Kini
aku sudah bisa kembali melihat dengan jelas. Perempuan bernama Hana di
sebelahku terlihat seperti keturunan Jepang. Kulitnya putih bersih, matanya
sipit dan saat tersenyum matanya hanya terlihat segaris. Wajahnya bulat dan
pipinya chubby seperti aku. Hanya
saja mataku tidak sipit.
“K-kau
s-siapa?” tanyaku dengan terbata-bata.
Pintu
kamarku berdecit. Tentu ada yang membukanya dan mencoba masuk. Sudah kubilang
aku terlalu lemah. Jadi aku tidak bisa melihat siapa yang masuk dari ujung
kamarku. Hanya ketukan pantovel di lantai seperti yang kudengar tadi.
Semakin
dekat…Semakin mendekat…Dan kini aku bisa melihat seorang pemuda mendekatiku. Oh, tidak! Penampilannya, caranya
berjalan, dan senyumnya. Semua kembali mengingatkanku pada kegelapan. Dean.
Aku
harap ini mimpi. Tidak mungkin ada Dean di sini. Dan…Siapa Hana itu?
”Nina.”
Sosok mirip Dean itu memanggil namaku. Bahkan suaranya terdengar sama.
“Kau
pasti tidak menyangka.” Kini Hana yang berbicara. “Kau pasti mengenalnya,
Nina.” Hana bangkit dan mempersilakan pemuda itu duduk di kursinya.
Pemuda
itu melipat kedua tangannya di atas ranjang dan mulai menatapku. Mata itu…mata
berbentuk almon yang bergelora. Tatapannya begitu lembut dan menunjukkan bahwa
itu…Dean. Benar-benar Dean.
Aku
terperangah mengetahui bahwa pemuda yang kini duduk di sampingku adalah Dean,
pemuda masa laluku. Yang kubilang bahwa ia telah mematikan semua cahaya di
kehidupanku. Hingga aku bersimpuh dalam kegelapan. Dia yang pergi demi menuruti
kemauan Papanya, dan membuatku terpaksa kalah dalam dunia ini. Dean. Pemuda
yang amat kucintai hingga aku mengutuk diri untuk tidak mencintai orang lain –
selain dia.
“Hey.
Kau tidak baik-baik saja. Kau sakit?”
Aku
berusaha keras untuk menjawabnya. “T-tidak.”
Dean
mengernyitkan dahi lalu menunduk mendengar suaraku yang parau. Oh, tidak. Bahkan aku seperti tidak
pernah bicara dalam kurun waktu satu tahun ke belakang. Sampai hendak menjawab
pun rasanya sulit. Terlebih tenggorokkanku tercekat ketika sadar bahwa ada Dean
di sini.
“Sepertinya
kau begini karena aku.”
Lagi-lagi
aku tercekat.
“Ah,
Nina. Kenalkan. Ini Hana.”
Orang
yang dikenalkan mengulurkan tangannya. Perempuan itu tersenyum manis.
“Dia
temanku dari Tokyo. Orang yang sempat akan dijodohkan denganku.” Dean menjelaskan dengan perlahan. Mungkin
khawatir aku terkejut. Tapi usahanya gagal. Aku memang terkejut. Tapi apa
maksudnya ‘orang yang sempat’?
“Nina.”
Hana mendekat dan terduduk di ujung ranjangku. Aku mencoba bangkit supaya lebih
enak mengobrol dengan tamu-tamuku. Dean membantu. Tangannya meraih bahuku dan
mengangkatnya. Aku tercekat. Baru lagi wajah kami berdekatan seperti ini. Kini
aku bisa kembali merasakan napasnya yang harum mint segar.
Kini
aku bersandar dengan bantal sebagai penyangganya.
“Kami
dulu memang pernah dijodohkan oleh kedua orang tua kami. Tapi kau harus tahu. Aku
dan Dean tidak pernah saling mencintai. Kami berdua menolak perjodohan itu.
Tiga hari sebelum tanggal pernikahan kami, Om Darwis – Papa Dean – meninggal
dunia.”
Aku
membulatkan mataku. Dan kulihat Dean – yang kini pindah duduk jadi berdempetan
denganku – sedang menunduk sibuk memainkan ujung piamaku.
“Ya,
itu benar. Dan percayalah, aku belum menikah dengan siapapun.”
Aku
bergeming. Seberkas cahaya masuk menyelinap dari sela gorden yang sempat kubuka
tadi. Bodohnya aku lupa untuk mematikan lampu kamar, padahal hari sudah pagi
dan akan beranjak siang. Mungkin cahaya yang kulihat adalah cahaya dari balik
jendela dan lampu kamarku. Tapi bukan hanya itu. Aku melihat seberkas cahaya
menyelinap masuk ke dalam relung jiwaku yang semula gelap. Bisa dibilang aku
sedikit lega mendengar pengakuan Dean yang ternyata tidak jadi milik orang
lain. Tapi, aku meragukan kesempatanku untuk bisa kembali bersamanya.
“Nina,
Dean sangat mencintaimu. Dia sering bercerita tentangmu. Dan dia berjanji akan
mengenalkanmu padaku. Makanya aku nekat datang ke Indonesia jauh-jauh dari
Tokyo hanya untuk melihat sosok Nina yang selalu dipujanya.”
Wajahku
menghangat. Sepertinya Dean tahu kalau pipiku merona.
“Aku
senang bisa mengenalmu, Hana.” Akhirnya aku bisa berkata tanpa terbata-bata.
Tenagaku seperti kembali sebagian. “Apa aku baru saja pingsan? Siapa yang
mengangkutku kemari?”
“Aku
tidak mungkin menggendongmu. Aku bukan Herculas.” Hana melirik ke arah Dean.
***
Embun
di atas rumput sudah mulai mengering. Sebab terik matahari semakin menyengat.
Tapi aku merasakan kehangatan yang sudah lama tak menyergapku. Kehangatan yang
tulus dan lebih bermakna dibanding dingin yang mengusik dalam sunyi. Aku pernah
membeku dalam kegelapan, tapi seperti yang aku katakan, matahari selalu setia
menyinari kehidupan. Dan kini aku mulai bangkit berkat hangatnya matahari pagi
yang diam-diam menyelinap masuk.
“Kau kurus.
Seperti orang yang tidak makan satu tahun, Nin. Apa saja yang kau lakukan
selama aku di Tokyo, hmh?”
Kami
duduk di tepi danau favorit kami – yang berada di belakang komplek. Tepat di
bawah pohon palem tempat kami biasa terduduk di sana. Aku ingat setahun yang
lalu saat Dean memberitahu tentang kepergiannya ke Tokyo.
“Hanya
diam. Tidak melakukan apa-apa. Dan aku memang tidak makan satu tahun ini.” Aku
memetik rumput dan memapahnya.
“Bohong
benar. Harusnya kau sudah di surga kalau tidak makan satu tahun.”
“Kau
berharap aku mati duluan?”
Dean
mengalihkan pandangannya ke arahku. “Tidak. Bukankah kita akan mati sama-sama?”
Tangan Dean menyusup ke belakang tubuhku dan menarik pinggangku untuk
merapatkan tubuh kami. Tak berjarak. Aku dapat merasakan detak jantungnya yang
teratur. Juga hembusan napasnya yang harum mint
menyeruak ke dalam hidungku. Aku sengaja membenamkan wajah ke lehernya untuk
mencari kehangatan yang lebih. Sesekali mencium lehernya, yang sepertinya telah
dipercikkan sedikit Bvlgari Aqua. Kedua tanganku juga memeluk tubuh Dean
seperti satu tahun yang lalu – penuh cinta.
“Aku
tidak pernah mencintai laki-laki lain selama satu tahun ini. Aku tidak pernah
melihat sosok laki-laki lain.”
“Itu
karena kau tidak pernah keluar dari kamar.” Dean mengelus kepalaku.
“Bagaimana
sekarang?”
“Bagaimana
apanya?”
Aku
membenarkan posisi dudukku. Kutatap wajahnya, mata almonnya, dan bibirnya.
“Tentang perasaanmu?”
“Perasaan
yang seperti apa maksudmu?” Dean tertawa sambil menunjukkan deretan giginya
yang putih bersih. “Ya ya ya, aku mengerti.”
Aku
mengernyitkan dahi.
“Perasaanku
masih sama. Mencintaimu. Aku cinta Karenina Maharani.”
Wajahku
menghangat. Dean tertawa melihatku yang menunduk malu-malu. Tangannya meraih
daguku dan mengangkat wajahku. Mata kami bertemu dengan jarak yang sangat
minim. Sekali lagi kuperhatikan seluk-beluk wajahnya. Matanya, hidungnya,
bibirnya, senyumnya, sambil kuraba seluruh wajah itu dengan jari-jariku. Semua
masih sama. Tidak ada yang berubah sedikitpun.
Jarak
diantara kami sudah tidak ada lagi. Dean mendekatkan wajahnya dan menciumku.
Berawal dari kecupan sederhana sampai akhirnya kami saling berbalas ciuman.
Aku
merasa benar-benar hangat. Tidak ada lagi dingin dalam sunyi. Seperti halnya
malam hari. Kebekuanku dalam kegelapan hanya sementara. Sebab matahari selalu
setia menyinari kehidupan.