Jumat, 26 September 2014

Jurnal Satu



Jurnal Satu

Awalnya aku cuma tertarik.
Hal biasa.
Aku sudah sering merasakan hal ini.
Itu mudah sekali. Besok pun sudah hilang lagi.

Malam itu; malam sabtu.
Tepatnya di kedai nasi kucing.
Kita; dan kawan lainnya bercengkrama.
Membicarakan hal apapun yang tidak penting untuk dibahas.
Menertawakan kejelekkan satu sama lain.
Tiba-tiba beralih topik mengenai aku.
Lalu tawa mereka berubah lebih membahana.
Dan kau cuma tersenyum malu-malu.
Oh, aku dengar ada satu gosip diantara kita rupanya.
Kau menyukaiku?
Mereka bilang iya.
Aku anggap itu cuma permainan.
Dan malam makin terasa panjang saat itu.

Malam minggu.
Kita membentuk lingkaran untuk makan malam di sebuah gazebo.
Gelap; beruntung ada kembang api dari sebuah acara fakultas tetangga.
Jadi sedikit terang dan makin menyemarakkan makan malam kita.
Dan lagi; ditengah-tengah terdengar gosip itu lagi.
Kau malah makin membuatku tersipu.
Dengan leluconmu yang lebih mirip rayuan.
Tapi lagi; kuanggap itu cuma permainan.

Minggu siang.
Kita akan mengerjakan tugas di salah satu rumah teman kita.
Pada saat itu aku tidak ada kendaraan.
Entah apa yang mendorongku;
Aku meminta padamu untuk pergi bersama menggunakan motormu.
Kita pergi berdua.
Oke. Di sini aku mulai merasa aneh.
Makin aneh; ketika obrolan kita menjurus ke hal lain.
Dan jawabanmu semacam…hm…menggoda.
Aku mulai ragu apakah anggapanku semula masih sama atau berubah.

Tiba di lokasi.
Aku seperti salah tingkah.
Oh, kau tahu seperti apa orang yang duduk di samping kekasih barunya?
Gugup.
Apakah aku gugup?
Aku tidak tahu ini apa.

Pulang.
Kita berdua lagi.
Mereka bersorak heboh melihat kita bersama.
Dan aku jadi yakin kalau aku; gugup.
Begitu dekat dengan tubuhmu.
Membuat parfum yang kau pakai menguar dengan jelas.
Aku hafal harum itu.

Malam senin dan malam-malam selanjutnya.
Aku anggap cuma permainan; awalnya.
Ah, tapi saat ini aku belum mampu menafsirkan.
Apakah ini permainan atau keseriusan.
Komunikasi kita makin intens.
Dan aku tanpa sadar telah bersorak ria dalam hati.
Aku menyukaimu.

Kamis malam.
Aku menangis.
Semua berpaling padaku dan saling bertanya; kau kenapa?
Tapi saat ku tengadahkan kepala dan membuka mata yang basah.
Cuma kau yang berdiri tepat di depanku.
“Kenapa, Re?” tanyamu.
“Coba sini, lihat aku,” katamu lagi.
Kalau saja Pak Yuswari tidak segera masuk ruangan.
Mungkin saat itu kau akan lihat pertama kali.
Mataku basah dan penuh pilu.

Besoknya; jum’at pagi.
Aku sapa kau melalui do’a dalam Shubuh yang sunyi.
Dan perlahan kubisikkan ke udara; aku suka kau.
Tapi anggapanku semula masih disitu.
Dan sekarang malah ketakutan ikut melanda.
Ini cuma permainan, Re.

Rabu, 10 September 2014

Cerpen: Matahari

     Aku masih terbaring lemah. Duniaku dengan dunia luar hanya berbatas jendela berbungkus gorden merah tua. Pukul delapan pagi, naluriku ingin melihat dunia yang telah lama kutinggalkan. Barang sedikit melihat matahari yang sampai detik ini masih setia menyinari kehidupan.
      Dengan lembut, kusibak gorden itu. Secarik cahaya menyelinap ke dalam kamar dan terlihat diantaranya debu-debu beterbangan dengan ribut. Sudah lama kamar ini tidak kubersihkan termasuk jendela dan mengganti gorden lusuh itu. Tepatnya setelah ia memusnahkan semua cahaya di kehidupanku. Mematikan semua harapan yang sudah kususun.
     Mataku menyipit saat cahaya matahari sedikit menusuk. Makin lebar gorden terbuka, makin banyak cahaya yang kulihat. Hanya setengah  jendela yang berhasil kusingkirkan dari dekapan gorden lusuh itu. Rupanya setahun yang lalu aku tidak menguncinya. Setelah terbuka, aku melompat keluar sampai menginjak balkon yang dingin lantainya berkat hujan semalam. Semilir angin membawa bau tanah basah habis diguyur hujan.
    Lantai yang kuinjak berbalut percikkan air. Membuat langkahku sedikit limbung karena licin. Lalu tanganku berhasil mencengkram pagar pembatas balkon. Di bawah sana, titik-titik manusia dan kendaraan terlihat sibuk berlalu-lalang. Hm...inilah kehidupan. Pemandangan yang sudah satu tahun aku lewatkan hanya untuk mengeram dalam kegelapan. Andai waktu itu dia tidak mengundang luka, pasti hari ini aku dan dia sedang asyik bermain bersama anak-anak kami.
       Dengan piama biru lusuh – piama kedua selama setahun ini yang kupakai – aku masih berdiri menikmati dunia yang baru lagi kujumpai. Mata ini sedikit sayu, badan pun begitu kurus. Ah, kurasa ada banyak perubahan pada diriku. Apakah kerabatku akan mengenali aku?
    Kepalaku sakit, rasanya ingin pecah. Penglihatanku mulai kabur. Kueratkan cengkramanku pada pembatas balkon. Dan sekuat mungkin untuk bertahan dengan kaki yang sedikit kaku. Samar-samar telingaku mendengar derap langkah pantovel kulit mengetuk keramik kamar. Makin lama, makin keras, dan makin terasa dekat. Aku masih mengabaikan suara yang tak jelas itu. Karena sakit kepala ini menyita perhatian dari suara sepatu yang rasanya berhenti tepat dibelakangku. Sebelum aku memberanikan diri, aku sadar ada tangan kanan yang melingkar di bahu.
         “Nina.”
      Ada hembusan nafas yang terasa hangat dileher dan menggelitik. Suaranya agak sedikit berat, tapi merdu. Aku masih belum berani menoleh untuk mengetahui siapa pemilik tangan yang kini melingkar itu.
          “Nina.”
         Panggilan kedua itu akhirnya berhasil membujukku untuk memutar kepala. Perlahan. Terlihat seseorang berkepala tiga tepat di depan wajahku. Ah, tidak mungkin ada monster sepagi ini. Berkali-kali kukerjapkan mata untuk menormalkan penglihatanku.
        Bukannya jelas, tapi semua berubah hitam. Tubuhku terasa lemas. Sangat lemas. Dan aku hanya melihat kegelapan.
***
        Mungkin aku sedikit kekanak-kanakkan. Tapi memang tidak bisa dipungkiri kekesalanku kepadanya saat ini. Bisa-bisanya dalam enam hari ia tidak memberi kabar apapun. Setidaknya, membalas pesan atau chat. Sesibuk itukah ia dengan tugas-tugas akhirnya di kampus? Oh...Apakah ia tahu aku begitu membutuhkannya?
           “Nina. Apa kau di dalam?”
           Suara itu...Akhirnya baru lagi kudengar suara itu. “Ya. Masuklah.”
         Decit pintu tua dari kayu cendana di kamarku tidak membuatku berhenti merajut. Biarkan ia masuk dan mendekat sendiri.  Toh memang itu sudah jadi kebiasaannya setelah aku memberi kebebasan padanya untuk menguasai kamarku.
         Selang beberapa menit setelah ia duduk di sampingku, aku masih bersikap biasa. Merajut. Seolah tidak terjadi apa-apa diantara kami. Tapi dalam diam, aku menunggunya untuk berkata lebih dulu. Biar ia yang memulai semuanya.
           “Aku tahu kau marah. Aku memang bersalah. Jika aku memohon, apakah kau akan memaafkanku, Nin?”
            Aku masih diam.
            “Kau ingin aku merajuk, bukan? Baiklah.”
         Ia beranjak dari tempatnya duduk dan kini berlutut di depanku. Kemudian merogoh tasnya untuk mengambil sesuatu.
        “Kumohon, maafkanlah aku. Maaf tidak mengabarimu. Kemarin aku sempat sakit, dan memang sengaja tidak ingin mengabarimu. Takut kalau kamu khawatir. Lalu tugas akhirku memang sangat mengikat. Jadi…beginilah akibatnya.” Dean berlutut di depanku dengan mengulurkan seikat bunga mawar merah jambu. Satu…dua…tiga…Sembilan belas…dua puluh. Dua puluh tangkai. Oh, betapa tersentuhnya aku dengan sikapnya itu. Ini pertama kalinya aku diberi bunga, terutama dari seorang lelaki.
        Aku mengalihkan perhatianku ke Dean. Mata kami bertemu. Aku sama sekali tidak melihat kebohongan di matanya. Yang ada aku makin luluh, terlebih ketika ia meraih tanganku dan mengecupnya. Berkat kepintarannya dalam bertingkah manis, Dean berhasil membuatku memafkannya.
            “Baiklah. Kau memang cerdik, Dean. Kau berhasil meluluhkan aku. Bangunlah, jangan jadikan aku seperti berhala.”
           Dean tertawa dan mulai berdiri. “Sekarang, hentikan merajutnya. Lebih baik kita ke danau. “ Ia merebut benang dan kain tile dari pangkuanku dan menyimpannya di atas bantal. Lalu menarik lenganku dengan lembut dan kami pergi menuju danau di belakang komplek.
***
            Entah cupid dari mana yang telah menjatuhkan panahnya padaku. Yang jelas, dari awal aku bertemu Dean hingga kini, perasaanku begitu besar untuknya. Ya, aku begitu mencintainya. Bahkan sepertinya hidupku hanya kupersembahkan untuk dia seorang. Cuma Dean. Aku yakin Deanlah yang akan jadi pendamping hidupku sampai ajal menjemput nanti.
            “Nina.”
            Kami berdiri tepat di tepi danau. Sedikit mendekat di pohon palem yang tidak terlalu tinggi. Dean memelukku dari belakang. Melepas kerinduan yang terpendam  selama beberapa hari ke belakang. Aku sangat merindukannya. Dan kurasa ia juga merindukanku. Pelukannya begitu erat dan hangat. Bahkan saat ia bicara pun napasnya terasa masuk ke telinga. Menggelitik. Dan menimbulkan desiran dalam sekujur tubuh.
            “Iya?”
            “Aku minta maaf sekali lagi.”
             Aku tersenyum. “Aku sudah memafkanmu, Dean.”
        “Kali ini aku benar-benar minta maaf.” Nada bicaranya sedikit berubah serius. Tapi aku masih mencoba bersikap biasa. “Kau tahu perasaanku sesungguhnya?”
             Aku diam.
            “Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.”
          Dean makin mengeratkan pelukannya. Bersama dengan itu, aku merasakan ada yang aneh dengan sikapnya. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Entahlah. Aku tidak mau
            “Malam ini, aku akan ke bandara.”
     “Untuk apa?” Jantungku jadi berdegup kencang. Ada sedikit jeda sebelum Dean menjawab pertanyaanku. Dia seperti sedang berpikir.
            “Aku akan pindah ke Tokyo.”
           Deg. Benar dugaanku. Ada yang tidak beres. Aku mencoba mencerna perkataannya. Barangkali aku salah dengar. Barangkali aku sedang bermimpi buruk. Tapi seketika Dean membenamkan wajahnya di leherku, hingga aku menggeliat karena ia mulai menciumi leherku. Dan saat itulah aku sadar kalau aku sedang tidak bermimpi. Di belakangku ada Dean. Dan baru saja ia berkata akan pindah ke Tokyo.
            Aku melepaskan diri dan berbalik menghadapnya. “Apa alasan kepindahanmu?”
            Dean menundukkan kepala.Tapi aku masih berdiri tegak memperhatikannya. “Jawab aku.”
          “Nin…” katanya lirih. “Sebenarnya kemarin aku menghilang untuk berpikir tentang bagaimana cara mengatakannya padamu. Aku…akan dijodohkan dengan orang lain, oleh Papa.”
            Deg. Bahkan ini rasanya lebih sakit dari mendengar niatnya pindah ke Tokyo. Aku sangat berharap ini adalah mimpi buruk. Pasti aku sedang tertidur.
        “Nina…Aku mohon maafkan aku. Ini semua bukan kemauanku. Kau tahu Papa punya penyakit jantung, kan? Kemarin aku sempat menolak, tapi jantung Papa kumat. Dan selama enam hari kemarin aku menemani Papa di rumah sakit sambil berpikir jalan keluarnya. Api ketahuilah, Nina, aku…”
        “Baiklah. Pukul berapa kau berangkat? Biar kuantar sampai bandara.” Sekuat mungkin kutahan emosiku yang hampir meluap. Mataku mulai memanas. Aku seperti melayang, karena kakiku begitu terasa lemas. Bahuku tergoncang – hebat. Bagaimana mungkin bisa terjadi secepat ini? Ah, aku makin resah. Dan sepertinya aku akan menangis.
            “Nina, apa maksudmu? Kau tidak melarangku sama sekali? Apa kau sudah tidak mencintaiku?”
           Oh, Dean…Jangan menatapku seperti itu. Dan akupun menangis. Tak kuasa melihat tatapannya yang tajam tapi lembut itu. Lalu aku berhambur memeluknya.
            Tubuh ini, untuk terakhir kalinya aku memeluk tubuh ini.
            “Ya. Aku mencintaimu. Sungguh…Sekalipun aku tak pernah berdusta.” Aku makin terisak.
           Dean membiarkan kami berpelukkan cukup lama sambil mengelus-elus punggungku yang berguncang hebat. Elusan tangannya begitu halus dan terasa penuh kasih. Mungkin aku harus merelakannya dengan orang lain, meski hatiku memaksa menuruti ego. Aku tentu tidak punya hak untuk mencegahnya pergi. Aku sadar itu.
        Aku melepaskan diri. Sayangnya air mata ini belum mau berhenti. Tapi Dean berusaha mencoba membersihkan wajahku, menyeka buir-bulir air mataku. Lalu ia menarik pinggangku dengan kedua lengannya. Memperkecil jarak diantara kami dengan perlahan. Tubuhku lebih pendek, hanya setinggi dagunya. Sehingga saat kami berdiri, aku harus menengadah untuk melihat wajah Dean secara utuh.
            Perlahan Dean mendekatkan wajahnya hingga bibir kami bertemu. Hanya kecupan singkat.
           “Maafkan aku…” Bisiknya. Lalu ia kembali menciumku lebih lama. Lebih lembut. Hingga napas kami saling memburu.
***
            Aku harus bersusah payah merelakan Dean bersama orang lain. Ia telah pergi. Dan kota ini terasa mati. Mungkin aku mengutuk diriku sendiri; aku tidak akan pernah mencintai orang lain selain Dean. Biar aku tidak menikah, biar aku tidak punya anak, jika hasilnya dari kebersamaanku dengan orang lain.
             Hatiku telah terluka lalu mati. Kota ini juga akan ikut mati.
***
            Sedikit cahaya menyelinap ke dalam retinaku dan sedikit menusuk. Mataku masih mengerjap sampai aku benar-benar bisa melihat dengan jelas. Pertama yang kulihat adalah plafon berwarna putih gading. Menggantung lampu neon berkekuatan dua puluh lima watt dengan cahayanya yang hampir redup. Aku jadi ingat, usia lampu itu sudah sangat lama.
             “Syukurlah kau sudah sadar.”
           Kepalaku masih pusing. Bahkan lampu di atasku terlihat seperti komedi putar. Apa ini halusinasi? Ada seseorang duduk di samping ranjangku. Dia bukan yang tadi kulihat berkepala tiga. Tapi aku tidak mengenal wajahnya. Apa mungkin sebenarnya dia temanku? Jelas satu tahun terakhir aku tidak pernah meninggalkan kamar.
          “Kau Nina, kan?” Orang itu bertanya. Tapi aku terlalu lemah untuk menjawabnya. Cuma bisa menatap perempuan asing itu dengan menyiratkan jawabannya: iya, kau siapa?
               Dan sepertinya perempuan itu paham maksud tatapanku.
               “Aku Hana.”
            Kini aku sudah bisa kembali melihat dengan jelas. Perempuan bernama Hana di sebelahku terlihat seperti keturunan Jepang. Kulitnya putih bersih, matanya sipit dan saat tersenyum matanya hanya terlihat segaris. Wajahnya bulat dan pipinya chubby seperti aku. Hanya saja mataku tidak sipit.
             “K-kau s-siapa?” tanyaku dengan terbata-bata.
          Pintu kamarku berdecit. Tentu ada yang membukanya dan mencoba masuk. Sudah kubilang aku terlalu lemah. Jadi aku tidak bisa melihat siapa yang masuk dari ujung kamarku. Hanya ketukan pantovel di lantai seperti yang kudengar tadi.
             Semakin dekat…Semakin mendekat…Dan kini aku bisa melihat seorang pemuda mendekatiku. Oh, tidak! Penampilannya, caranya berjalan, dan senyumnya. Semua kembali mengingatkanku pada kegelapan. Dean.
            Aku harap ini mimpi. Tidak mungkin ada Dean di sini. Dan…Siapa Hana itu?
            ”Nina.” Sosok mirip Dean itu memanggil namaku. Bahkan suaranya terdengar sama.
        “Kau pasti tidak menyangka.” Kini Hana yang berbicara. “Kau pasti mengenalnya, Nina.” Hana bangkit dan mempersilakan pemuda itu duduk di kursinya.
           Pemuda itu melipat kedua tangannya di atas ranjang dan mulai menatapku. Mata itu…mata berbentuk almon yang bergelora. Tatapannya begitu lembut dan menunjukkan bahwa itu…Dean. Benar-benar Dean.
         Aku terperangah mengetahui bahwa pemuda yang kini duduk di sampingku adalah Dean, pemuda masa laluku. Yang kubilang bahwa ia telah mematikan semua cahaya di kehidupanku. Hingga aku bersimpuh dalam kegelapan. Dia yang pergi demi menuruti kemauan Papanya, dan membuatku terpaksa kalah dalam dunia ini. Dean. Pemuda yang amat kucintai hingga aku mengutuk diri untuk tidak mencintai orang lain – selain dia.
            “Hey. Kau tidak baik-baik saja. Kau sakit?”
            Aku berusaha keras untuk menjawabnya. “T-tidak.”
        Dean mengernyitkan dahi lalu menunduk mendengar suaraku yang parau. Oh, tidak. Bahkan aku seperti tidak pernah bicara dalam kurun waktu satu tahun ke belakang. Sampai hendak menjawab pun rasanya sulit. Terlebih tenggorokkanku tercekat ketika sadar bahwa ada Dean di sini.
            “Sepertinya kau begini karena aku.”
            Lagi-lagi aku tercekat.
            “Ah, Nina. Kenalkan. Ini Hana.”
            Orang yang dikenalkan mengulurkan tangannya. Perempuan itu tersenyum manis.
         “Dia temanku dari Tokyo. Orang yang sempat akan dijodohkan denganku.”  Dean menjelaskan dengan perlahan. Mungkin khawatir aku terkejut. Tapi usahanya gagal. Aku memang terkejut. Tapi apa maksudnya ‘orang yang sempat’?
            “Nina.” Hana mendekat dan terduduk di ujung ranjangku. Aku mencoba bangkit supaya lebih enak mengobrol dengan tamu-tamuku. Dean membantu. Tangannya meraih bahuku dan mengangkatnya. Aku tercekat. Baru lagi wajah kami berdekatan seperti ini. Kini aku bisa kembali merasakan napasnya yang harum mint segar.
              Kini aku bersandar dengan bantal sebagai penyangganya.
            “Kami dulu memang pernah dijodohkan oleh kedua orang tua kami. Tapi kau harus tahu. Aku dan Dean tidak pernah saling mencintai. Kami berdua menolak perjodohan itu. Tiga hari sebelum tanggal pernikahan kami, Om Darwis – Papa Dean – meninggal dunia.”
             Aku membulatkan mataku. Dan kulihat Dean – yang kini pindah duduk jadi berdempetan denganku – sedang menunduk sibuk memainkan ujung piamaku.
             “Ya, itu benar. Dan percayalah, aku belum menikah dengan siapapun.”
          Aku bergeming. Seberkas cahaya masuk menyelinap dari sela gorden yang sempat kubuka tadi. Bodohnya aku lupa untuk mematikan lampu kamar, padahal hari sudah pagi dan akan beranjak siang. Mungkin cahaya yang kulihat adalah cahaya dari balik jendela dan lampu kamarku. Tapi bukan hanya itu. Aku melihat seberkas cahaya menyelinap masuk ke dalam relung jiwaku yang semula gelap. Bisa dibilang aku sedikit lega mendengar pengakuan Dean yang ternyata tidak jadi milik orang lain. Tapi, aku meragukan kesempatanku untuk bisa kembali bersamanya.
        “Nina, Dean sangat mencintaimu. Dia sering bercerita tentangmu. Dan dia berjanji akan mengenalkanmu padaku. Makanya aku nekat datang ke Indonesia jauh-jauh dari Tokyo hanya untuk melihat sosok Nina yang selalu dipujanya.”
               Wajahku menghangat. Sepertinya Dean tahu kalau pipiku merona.
            “Aku senang bisa mengenalmu, Hana.” Akhirnya aku bisa berkata tanpa terbata-bata. Tenagaku seperti kembali sebagian. “Apa aku baru saja pingsan? Siapa yang mengangkutku kemari?”
              “Aku tidak mungkin menggendongmu. Aku bukan Herculas.” Hana melirik ke arah Dean.
***
            Embun di atas rumput sudah mulai mengering. Sebab terik matahari semakin menyengat. Tapi aku merasakan kehangatan yang sudah lama tak menyergapku. Kehangatan yang tulus dan lebih bermakna dibanding dingin yang mengusik dalam sunyi. Aku pernah membeku dalam kegelapan, tapi seperti yang aku katakan, matahari selalu setia menyinari kehidupan. Dan kini aku mulai bangkit berkat hangatnya matahari pagi yang diam-diam menyelinap masuk.
            “Kau kurus. Seperti orang yang tidak makan satu tahun, Nin. Apa saja yang kau lakukan selama aku di Tokyo, hmh?”
            Kami duduk di tepi danau favorit kami – yang berada di belakang komplek. Tepat di bawah pohon palem tempat kami biasa terduduk di sana. Aku ingat setahun yang lalu saat Dean memberitahu tentang kepergiannya ke Tokyo.
          “Hanya diam. Tidak melakukan apa-apa. Dan aku memang tidak makan satu tahun ini.” Aku memetik rumput dan memapahnya.
            “Bohong benar. Harusnya kau sudah di surga kalau tidak makan satu tahun.”
            “Kau berharap aku mati duluan?”
            Dean mengalihkan pandangannya ke arahku. “Tidak. Bukankah kita akan mati sama-sama?” Tangan Dean menyusup ke belakang tubuhku dan menarik pinggangku untuk merapatkan tubuh kami. Tak berjarak. Aku dapat merasakan detak jantungnya yang teratur. Juga hembusan napasnya yang harum mint menyeruak ke dalam hidungku. Aku sengaja membenamkan wajah ke lehernya untuk mencari kehangatan yang lebih. Sesekali mencium lehernya, yang sepertinya telah dipercikkan sedikit Bvlgari Aqua. Kedua tanganku juga memeluk tubuh Dean seperti satu tahun yang lalu – penuh cinta.
         “Aku tidak pernah mencintai laki-laki lain selama satu tahun ini. Aku tidak pernah melihat sosok laki-laki lain.”
            “Itu karena kau tidak pernah keluar dari kamar.” Dean mengelus kepalaku.
            “Bagaimana sekarang?”
            “Bagaimana apanya?”
        Aku membenarkan posisi dudukku. Kutatap wajahnya, mata almonnya, dan bibirnya. “Tentang perasaanmu?”
          “Perasaan yang seperti apa maksudmu?” Dean tertawa sambil menunjukkan deretan giginya yang putih bersih. “Ya ya ya, aku mengerti.”
            Aku mengernyitkan dahi.
            “Perasaanku masih sama. Mencintaimu. Aku cinta Karenina Maharani.”
           Wajahku menghangat. Dean tertawa melihatku yang menunduk malu-malu. Tangannya meraih daguku dan mengangkat wajahku. Mata kami bertemu dengan jarak yang sangat minim. Sekali lagi kuperhatikan seluk-beluk wajahnya. Matanya, hidungnya, bibirnya, senyumnya, sambil kuraba seluruh wajah itu dengan jari-jariku. Semua masih sama. Tidak ada yang berubah sedikitpun.
           Jarak diantara kami sudah tidak ada lagi. Dean mendekatkan wajahnya dan menciumku. Berawal dari kecupan sederhana sampai akhirnya kami saling berbalas ciuman.
         Aku merasa benar-benar hangat. Tidak ada lagi dingin dalam sunyi. Seperti halnya malam hari. Kebekuanku dalam kegelapan hanya sementara. Sebab matahari selalu setia menyinari kehidupan.