Rabu, 05 Maret 2014

Cerpen Roman: Sang Waktu (Kuree-nai)

    Bibir jendela masih terasa dingin dan lembab bekas hujan tengah malam tadi. Pucuk ranting disebelahnya juga meneteskan bulir-bulir air hujan yang mengguyurnya. Meski celah jendela tertutup rapat, angin badai tetap bisa masuk berkat fentilasi di atas jendela. Sialnya tak ada selimut bersih yang bisa dipakai. Tidurpun meringkuk ke sudut dinding hingga flu itu menyerang Lasma.
     Langit memucat. Matahari entah sedang di mana ia bertengger. Lasma menyapu tepi jalan dengan matanya yang berair berkat bersin yang terus-menerus. Kubangan air membuatnya harus lebih pandai memilih jalan. Masih ada sisa rintik-rintik dari langit. Ia suka hujan. Lebih tepatnya ia menyukai gerimis dan pucatnya langit. Hatinya lebih tenang dalam cuaca seperti ini. Hidupnya lebih damai ketimbang saat panas terik dan semua orang terbakar emosinya oleh gerah yang tak tertahan.
     Hingga musim dingin tahun ini, aku masih yakin untuk berdiri. Bisik Lasma dalam hatinya. Ia tertegun sejenak dan berkaca pada satu kubangan air. Melihat dirinya yang belum juga beranjak dari keterpurukkan. Ia nyaman dalam keadaan itu. Meski sesekali membuatnya sesak dan merasa bodoh.

     "Lasma!"
     Si pemilik nama berhenti dan menoleh ke sumber suara. Dilihatnya Lisa berlari kecil menghampirinya dengan ransel jumbo dipunggungnya.
     "Tadi aku mampir ke rumahmu. Mau mengajak berangkat bareng. Ternyata kamu sudah pergi duluan." Nafas Lisa sedikit terengah-engah.
     "Coba kamu bilang dulu mau ke rumah. Pasti aku tungguin kamu. Ayo lanjut jalan lagi."

***

     Hawa dingin hanya membuat malas tak bergairah. Sebagian orang selalu muncul keinginan untuk tidur-tiduran atau bersantai dekat perapian bersama semangkuk sup krim atau secangkir kopi. Begitu juga Lasma. Hari-harinya seakan hambar tak berasa. Sekilas matanya menyorot Pak Johan yang sedang menerangkan. Tapi pikirannya tak mampu memanipulasi.
     Ada sedikit sesak ketika ia sadar bahwa musim dingin tahun ini sangat berbeda dengan tahun lalu. Tahun lalu begitu hangat. Satu hal yang ia terus menyangkalnya. Namun kali ini begitu jelas.
     Ia rindu dengan pangeran musim dinginnya.

***

From: Nefran Syahmara

Hey, gadis musim dingin! Masih saja kamu mengingat-ingat aku? Haha.Bagaimana kabarmu?

     Lasma sangat terkejut melihat dilayar ponselnya terdapat pesan dari Nefran. Lelaki itu, menghubunginya kembali? Bahkan ia menanyakan kabarnya? Sulit dipercaya.
     Lasma membalas pesan dari Nefran. Hingga berlanjut sampai pada Nefran mengajaknya untuk bertemu besok sambil sarapan bersama. Luar biasa senangnya. Lasma melukis senyum yang mengembang sempurna. Hatinya bergejolak hebat. Besok ia akan bertemu sang pangerannya. Apa ia benar-benar kembali? Lasma masih meraba-raba. Ini akan lebih baik. Setidaknya begitu harapannya.

***

     Ini harus ia lakukan. Nefran tahu pasti nantinya akan membuat Lasma lebih terluka. Tapi ia juga tak mau Lasma menghabiskan waktunya hanya untuk meratapi kisah mereka yang tak indah.
     Nefran perlu banyak waktu untuk memperbaikki diri. Dan minggu ini, ia akan pindah ke Bali bersama seluruh keluarganya. Ia akan memulai kehidupan baru di sana. Kehidupan yang lebih baik. Sebab orang tuanya akan mendirikan sebuah sanggar lukis. Dan memerintahkan anaknya untuk mengelolanya.
     Aku ingin kamu lebih bahagia. Dengan atau tanpa aku.

***

Pintu Utara Stasiun Bandung,

     "Lasma..." suara itu terdengar lirih dan terkesan berbisik. Begitu hangat di balik telinga. Menjalar ke seluruh tubuh yang sudah membeku setengah jam yang lalu.
     "Ya?" Lasma menjawab sama lirihnya.
     Nefran menyentuh ujung jari Lasma. Perlahan hingga tergenggam utuh. Lasma memejamkan matanya. Merasakan getara-getaran hebat yang membuatnya lemas. Genggaman itu erat tapi lembut.
     "Pergilah..."
     Lasma membuka matanya. Tersentak oleh kata yang baru saja terucap dari lelaki disebelahnya.
     "Aku tidak pantas untukmu. Kamu terlalu baik. Aku begitu buruk."
     Suasana makin pekik dengan remangnya.
     Degup jantung keduanya berlomba siapa yang paling keras. Dalam beberapa menit, mereka bergeming. Nefran pun tidak berani melanjutkan lagi. Ia merasakan tangan Lasma menegang. Ia tahu gadis di sampingnya itu tidak baik-baik saja. Terlebih hatinya.
     "Jangan menyuruhku untuk pergi."
     "Tapi kamu harus melakukannya."
     "Kenapa? Apakah aku pernah mempermasalahkan alasanmu barusan? Aku tidak memandangmu sebagai lelaki sempurna. Tapi aku pun tidak melihat kekuranganmu. Aku juga tidak lebih baik darimu, Nef." Tubuhnya semakin menegang.
     "Kamu tidak mengerti, Las..."
     "Kamu yang tidak mengerti aku..."
     Nefran mematung. Memang ia yang tidak mau memahami Lasma. Ia tidak mau tahu sebesar apa cinta gadis itu kepadanya. Meski ia bisa menebak segala isi hati Lasma. Ia tahu Lasma sangat mencintainya. Bahkan hingga setahun ini ia masih mau duduk bersamanya tanpa rasa marah dan dendam sedikitpun. Hatinya terlalu putih. Terlalu bagus untuk ia goreskan.
     "Kamu harus pergi. Kamu harus cari pengganti. Jangan kamu siksa diri sendiri dengan menungguku. Aku bukan yang terbaik untukmu, Lasma."

     Lasma merasakan sudut matanya basah. Pipinya yang dingin terasa lembab.
     "Tolong jangan paksa aku untuk ini. Biarkan aku terbawa waktu. Jika aku bukan untukmu, sang waktu akan membawaku pada hati yang lain. Bukan kamu."
     "Kamu pasti akan menemukan yang lebih dari aku."
     Nefran melepaskan tangannya perlahan. Kemudiann bangkit dari duduknya. Tangannya terulur pada Lasma, mengajaknya berdiri mengikutinya. Ia dan Lasma saling berhadapan. Berjarak tiga puluh senti. Nefran melihat mata sayu yang sembab dengan penuh haru. Sebenarnya hatinya ikut menangis. Tidak ada tega untuk membuatnya terluka. Tapi ini harus ia lakukan.     Untuk terakhir kalinya, tangannya kembali meraih tangan Lasma. Dua-duanya. Lasma membalas genggaman itu lebih erat. Nefran terhenyak ketika Lasma menyembur ke tubuhnya. Memeluknya erat dan mengeluarkan isak tak tertahankan. Ia semakin bingung dengan hatinya sendiri. Tangannya membungkus punggung gadis yang sedang membasahi dadanya dengan air mata. Erat. Tak mau kehilangan.

***

      Tidak pernah terpikir tentang Nefran yang menyuruhnya untuk menjauh. Lasma tidak tahu. Sama sekali tidak tahu akhirnya akan seperti ini. Napasnya memburu. Tubuhnya bergoncang menahan isak tangis yang semakin menjadi saat kakinya tiba di rumah.
       Bunyi jangkrik berlomba siapa yang paling merdu. Mereka mencoba menghibur Lasma. Tapi sayangnya ia tak menggubris. Ia merasa paling bodoh jika menyangkut urusan dengan Nefran. Bibirnya terkatup rapat, hatinya berteriak keras. Lututnya terlalu lemas untuk mematung. Lantas ia menjatuhkan diri ke tempat tidurnya. Merebahkan tubuh yang membeku. Sakit kepalanya kumat rupanya. Sebab tangis dan emosi yang menggebu.
       Inikah yang disebut perpisahan? Jika iya, sungguh pintar Nefran merancangnya. Kembalinya ia dalam ponsel, sarapan bersama, bicaranya yang selalu manis, hingga berakhir dengan pelepasan yang tak ada lagi alasan untuk bersatu. Menurutnya.
       Lasma menangis bukan karena marah.
       Ia tidak pernah marah.
       Kecewa. Kata yang tepat untuk hatinya saat ini. Mungkin kisah ini sudah benar-benar berakhir. Tidak akan ada lagi episode, tidak akan ada lagi season. Semua akan benar-benar menghilang, meninggalkan jejak tak berwarna.

***

Percayalah...
Aku tak pernah kedatangan amarah
Meski ribuan goresan darimu
Mencoba membunuh perasaanku
Pergilah...
Namun ketika kau lelah dan ingin kembali
Berharaplah agar kedua tanganku
Selalu siap menyambut kepulanganmu...

     Lasma merobek selembar kertas dari bloknotnya. Memasukkannya ke dalam amplop kecil berwarna marun. Di atas amplop ia tuliskan: untuk pangeran musim dinginku. Nafasnya terasa berat saat menuliskan itu. Hatinya bergetar mengingat tulisannya akan dibaca oleh Nefran.
     Perlahan ia bangkit dan segera berhambur melawan derasnya hujan. Dengan payung ungu ia menerjang angin berlawanan arah. Berat.
     Kakinya melangkah cepat. Memburu sang waktu yang sedang tidak memihak padanya.

***

     Dengan hati-hati Lasma menyelipkan amplop marunnya di sela-sela pintu rumah Nefran. Sekejap ia menatap kayu cendana di depannya. Seolah-olah ada Nefran dibaliknya. Matanya mengedip ketika sadar akan sang waktu. Ia harus cepat kembali sebelum Nefran melihatnya.
     Di depan pintu gerbang, Lasma kembali menoleh dan menatap haru kayu cendana yang membentuk pintu rumah itu. Kini aku akan benar-benar membuat jarak. Diantara kita, ada sang waktu. Tunggulah ia...Apakah kita akan di bawanya ke tengah hingga menyatu? Atau mendorong kita dan tak lagi ada titik untuk kita bersama? Aku akan merindukanmu...

0 komentar:

Posting Komentar