Senin, 27 Juli 2015

Rena: Sebuah Prolog Milik Kami

     Bangku itu adalah favoritku. Warna cokelat tua, kayunya masih tampak kokoh walau ada banyak gigitan rayap di setiap tepinya. Berada tepat di belakang gedung kelas 5A, di bawah pohon jambu air. Ada banyak sekali kenangan yang terlukis di sana. Aku, Nufi, Gia, dan Key sering menghabiskan waktu di atas bangku itu. Kami bersahabat. Kami berceloteh, meracau hal-hal yang tidak jelas, membicarakan cinta monyet masing-masing. Hm, cinta monyet. Aku teringat satu memori di waktu lampau. Masa kecil yang hanya mengenal kata 'indah' dan 'bahagia'; saat papan tulis penuh dengan goresan kapur, meja penuh tipe-x, rok merah para anak perempuan bertompel permen karet yang menghitam, saat dunia membahagiakan, saat semuanya belum benar-benar berubah arah.
     Shareena Devani. Siapa yang tidak mengenalku? Anak baru pindahan Jakarta yang menginjak tanah Bandung pada tahun 2003. Siswi paling ngetop satu sekolah, karena gaya orang Jakarta melekat padaku. Satu-satunya siswi berlogat lo-gue. Bersepatu hitam legam - siswa lain bersepatu cokelat lumpur. Ransel Piglet yang sedikit kebesaran, tapi terlihat branded. Teman-teman memanggilku Shar. Tapi, hanya ada satu orang yang memanggilku lain. Bukan Shar.
     Dan dia spesial.

Rabu, 15 Juli 2015

Untuk Alden

Aku mengenalmu sejak lama. Lama sekali. Kau jadi teman sepermainanku semasa itu. Petak umpat adalah permainan favoritmu. Benar? Dan aku senang sekali bermain lompat tali yang terbuat dari susunan karet gelang. Setiap hari kita selalu bertatap muka, kecuali hari minggu. Sekolahmu dan sekolahku sama, bahkan duduk di dalam kelas yang sama. Tapi, hari minggu malah jadi hari wajib pertemuan kita karena kita sudah terlanjur dekat.

Jujur, Alden, aku senang punya teman – yang kini sudah menjadi sahabat – sepertimu. Apa yang tidak kuketahui tentang dirimu? Tanggal lahir? Makanan favorit? Hobi? Bahkan, latar belakang keluarga beserta praharanya aku tahu semua dengan detil. Meskipun kau punya dua keluarga – berkat sikap papamu yang menyebalkan – aku selalu mendukungmu dari sini, dari manapun. Ketika kau terpuruk karena keadaan – yang lebih sering bersumber dari papa dan keluarga keduamu – aku siap berbagi bahu.

Alden, kau tahu apa itu cinta? Hm, aku mendengar istilah itu dari orang-orang dewasa. Mereka selalu dibuat gila oleh cinta. Apa itu cinta, Al? Kalau artinya sama dengan tertarik dengan lawan jenis, kupikir aku sedang terkena sindrom cinta (sebenarnya itu sindrom atau bukan, ya?). tapi, aku belum tahu lebih dalam makna sesungguhnya dari istilah itu. Mungkin nanti ketika di Jakarta, aku akan mencari tahunya. Secara, di sana rata-rata orang sudah lebih maju. Bahkan, anak-anak sekolah menengah pertama seperti kita sudah banyak yang berpacaran (korban dari lingkungan). Dan kau tahu pacaran itu seperti apa? Intinya, sepasang manusia yang saling cinta menyatu. Ah, memusingkan. Tapi, memang itulah inti dari surat ini. Tentang cinta.

Kita memang masih duduk di sekolah menengah pertama. Tapi, apakah salah jika aku bilang aku cinta kamu? (Jangan tertawa! Aku tahu kau akan tertawa setelah membacanya). Aku hanya mengikuti tren orang dewasa, Al, ketika seseorang tertarik pada lawan jenisnya. He he he. Ya, aku tertarik padamu, lebih konyolnya lagi pada sahabatku sendiri.

Alden, jika suatu hari kau membaca surat ini, tolong berikan balasan melalui surat juga. Tapi, jangan kau berikan saat aku kembali pulang ke Bandung. Hm, bagaimana jika kau berikan balasannya saat malam tahun baru? Aku akan kembali pulang sekitar bulan Oktober, tepatnya setelah aku wisuda diploma (cukup lama, ya, Al).

Aku akan merindukanmu. Bagaimana mungkin kita akan berpisah bertahun-tahun tanpa ada rasa rindu dalam diri masing-masing? Terus hubungi aku, ya. Jika aku tidak membalas salah satu email atau Skype darimu, maafkan aku, ya. Mungkin aku akan jadi orang sibuk di Ibu Kota.

Jaga dirimu baik-baik.

Salam Hangat,
Pris_