Kamis, 16 Januari 2014

Cerpen Romantis: Rahasia dibalik Ketidakpastian



                Lewat hari Natal, hujan tak pernah lagi berkunjung. Langit tampak ceria menjelang tahun baru. Tapi siapa yang tahu jika saat malam pergantian tahun nanti akan turun hujan. Orang awam memang sulit menebak cuaca. Begitupun dengan Kelma.
                Sore ini sepulang dari kantor, Kelma berencana mengunjungi rumah Raka untuk mengembalikan buku-buku yang ia pijam sebulan yang lalu. Sebenarnya buku-buku itu sudah selesai dibaca dalam waktu dua minggu dari tanggal peminjaman. Tapi ia baru sempat mengembalikannya hari ini.
                Di dalam bis, Kelma tercengang pada satu sosok di kursi depan. Dari belakang seperti Andre. Potongan rambutnya, bentuk kepalanya, panjang kakinya, nyaris mirip. Orang itu makin sulit terlihat ketika bis mulai dipenuhi penumpang yang berdesakkan mencari tempat duduk. Kelma berusaha memutar matanya ke arah lelaki itu. Tapi tetap tak terlihat.
                Keringat terasa mengalir dipunggung. Cuaca panas seperti ini bahkan bisa memancing emosional seseorang jadi meninggi. Rasa mual yang tak bisa diabaikan dan kantuk yang luar biasa menggoda.
                Kelma tertidur.
***
                Banyak perasaan aneh yang sering muncul belakangan ini. Mungkin Desember jadi penyebabnya. Kelma menerawang langit-langit kamarnya. Membuka cerita lama di bulan Desember tahun lalu…

Desember, 2016.
                Kedekatan Kelma dengan Andre sudah tidak mungkin disebut ‘hanya teman’. Orang-orang di sekitar menganggap ada hubungan lain diantara mereka. Tapi Kelma masih saja menyangkal dan mengatakan mereka hanya berteman biasa. Walaupun sebenarnya dalam hati Kelma menginginkan hubungan yang lebih.
                “Masak sih kalian hanya berteman biasa? Kalau di facebook kalian terlihat mesra. Apalagi saat saling bertemu, tatapan kalian itu beda, Kel”, kata Anis seraya memakai sepatu setelah shalat Ashar di masjid sekolah.
                “Sungguh, Nis. Aku dan Andre tidak ada hubungan apa-apa. Kalau tidak percaya tanyakan saja langsung pada Andre.”
                “Tapi kamu sebenarnya punya perasaan kan untuk Andre? Hayo ngaku.”
                “Yaaaa…tak tahu lah. Aku sendiri juga bingung.”
                Anis berdehem melihat temannya itu.
               
                Kelma dan Anis serta anggota yang lain menyambut kedatangan para alumni. Lima menit lagi latihan akan dimulai. Semua junior yang menjadi pasukan sudah berbaris di tengah lapang. Di depan pasukan, berdiri Kak Rofta dan Kak Dewi sebagai instruktur. Sedang senior atau alumni yang lain berada di samping dan di belakang.
                Saat balik kanan, Kelma yang baris paling belakang sedikit tercengang. Mengetahui Andre sudah ada dihadapannya. Ia tersipu malu ketika Andre memberikan senyuman untuknya. Ia balas tersenyum lebih manis. Kak Radhis yang melihat itu berbisik pada Kak Wulan. Menertawakan tingkah juniornya.
***
                Kelma berjalan sendiri menuju ruang sekretariat paskibra. Sedang yang lain sudah lebih dulu di sana. Ia menyadari ada seseorang mengikuti langkahnya dari belakang.
                “Hey!” sapa Andre.
                “Eh…hey, kok belakangan?” Kelma sedikit pikuk.
                “Iya tadi dari kamar mandi. Gimana? Capek ya latihannya?”
Mereka berjalan sangat pelan.
“Yaaa…beginilah. Kapan coba latihan paskibra tidak capek?”
“Hahaha…”
Kelma senang mendengar tawa Andre. Terdengar renyah. Sampai ia ingin ikut tertawa. Seperti menertawakan hal yang sangat konyol. Padahal dipikirnya jawabannya tadi tidak begitu lucu.
Dari jendela ruang sekretariat, Kak Rofta menertawakan Kelma dan Andre. Rupanya mereka berdua yang sedang mengobrol terlihat dari jendela. Ketika masuk, semua mata tertuju pada mereka berdua kemudian saling meledek.
“Cieee…yang mengaku tidak ada hubungan apa-apa.”
“Cieee…yang bilangnya cuma teman biasa.”
Kalimat ledekkan terlontar dari berbagai penjuru. Tawa mereka makin menjadi ketika melihat pipi Kelma merah merona. Andre ikut tertawa mengetahui hal itu.
“Sudah jelas-jelas mesra begitu, apalagi alasan kalian?” celetuk Kak Rofta.
“Harap tenang para hadirin, ini masih proses. Tunggu tanggal mainnya!” jawab Andre, yang membuat Kelma mengernyitkan dahi.
“Ahay! Tanggal main untuk apa, Ndre?”
“Tanggal peresmian hubungan mereka maksudnya mungkin”, timpal Kak Rian, lantang.
Semua orang makin tertawa keras. Kelma hanya senyum-senyum malu.
***
                Kelma masih tidak menyangka. Waktu begitu cepat membawanya bertemu dengan Andre sampai sedekat ini. Ia mengenal Andre ketika kelas satu SMA. Saat itu ia dan teman-temannya sedang latihan satuan rutin. Kak Teti, salah satu seniornya, memperkenalkan Andre pada junior-juniornya.
                Andre berasal dari lain sekolah. Tapi ia sama-sama anggota paskibra. Hanya saja beda sekolah. Andre adalah adik junior Kak Teti sewaktu SMP. Rumah mereka berdekatan. Dan sampai saat ini mereka sudah seperti adik kakak asli, bukan senior-junior. Andre sering membantu memberikan variasi dan formasi PBB. Ketika akan lomba pun, ia sering turut turun ke lapangan untuk melatih.
                Kelma mulai mengenal lebih sosok Andre ketika akhir semester empat. Yang pada saat itu ia dan anggota yang lain selesai lomba di Lembang. Andre mulai menyapanya di media twitter. Dari situlah mereka jadi sering bercengkrama di sosial media. Dan ketika Kelma akan mengikuti perlombaan terakhirnya sebagai anggota paskibra, ia mulai lebih dekat sampai muncul gossip ‘pacaran’ dengan Andre.
                Ponsel Kelma bordering.
                Muncul logo amplop menandakan ada pesan baru masuk.
“Jika ada air yang mengalir menuju samudera. Umpamakan air yang mengalir itu adalah cintamu, dan izinkan aku untuk menjadi samuderanya..”
                Matanya terbelalak setelah membaca pesan baru itu. Perlahan bulir air jatuh dari salah satu matanya. Seketika ruang dadanya menjadi sesak, macam kebahagiaan yang masuk tanpa mengetuk. Kelma tak percaya tentang ini semua, yang datang begitu cepat tanpa sebuah ancang-ancang. Kau mampu menyentuhku, Ndre. Ucap hatinya.
                Tiap kali Kelma dan Andre bertemu, hanya bisa malu-malu tak mampu berkata apapun. Mendadak bisu. Kelma yang kerap terlihat menahan tawa ketika Andre menggoda dengan ketengilannya.  Lain hal pada komunikasi mereka lewat SMS dan telfon. Seperti banyak hal penting yang wajib dibahas dan memakan waktu berhari-hari. Yang tadinya tak mampu berkutik, malu-malu tapi mau, jadi berubah kebalikannya.
                Kelma dan Andre sudah punya panggilan kesayangan. Dan tak segan-segan saling mengucap “Aku sayang kamu” tiap saat, saling memuji satu sama lain, dan saling berusaha membahagiakan. Tapi Kelma sadar akan satu hal, mereka menyatu dalam satu ikatan. Tapi entah apa itu namanya. Dikata pacaran pun rasanya janggal. Kekurangan diantara mereka adalah tidak adanya sebuah kepastian.
                “Maaf, aku masih mencari waktu yang tepat untuk kita menjadi pasti.” Begitu kata Andre beberapa hari yang lalu.
                “Waktu yang tepat itu seperti apa? Apa masih ada keraguan di dirimu? Kau tidak menganggap serius semua ini?” Kelma tak paham dengan jalan pikiran Andre.
                “Kau jangan dulu salah paham. Kau akan tahu nanti, saat semuanya sudah matang.”
                Kelma tunduk kepala. Diam.
                Andre mencoba mencari arti diam itu dalam ponselnya. Tapi sangat sulit untuk menerka-nerka apakah Kelma bisa menerima atau tidak. Beberapa detik berlalu tanpa sepatah kata.
                “Apakah aku harus menunggu itu?”
                “Kalau kau sudi...Tidak pun terserah. Tapi aku akan kecewa.”
                Terdengar Kelma yang mendesahkan nafasnya. Harap cemas raut wajah Andre menanti kalimat selanjutnya dari Kelma menanggapi perkataannya tadi.
                “Sayangnya aku terlanjur menaruh perasaan dan harapan besar. Dalam dirimu.”
                Andre makin cemas. “Aku mau...Menunggu waktu yang tepat itu.”
                Batin Andre terasa lega. Kecemasannya berganti bahagia.
                “Aku tak akan mengecewakanmu, Sayang...”
                “Aku percaya...”
                Keduanya sama-sama terhanyut dalam buaian cinta yang memabukkan. Namun dalam diri Kelma terselip kekhawatiran yang mengganggu kesenangannya saat ini. Seketika senyumnya menyusut setelah menutup telfon dari Andre.
***
                “Alhamdulillah...Meskipun kita hanya mendapat juara harapan, tapi inilah hasil kerja keras kita. Kerja keras adik-adik semua di lapangan. Jangan jadi berkecil hati, karena kesuksesan tidak mudah dicapai begitu saja tanpa tahu apa itu ketidakberhasilan.”
                Kak Rian menyampaikan pesan setelah lomba berakhir. Dan mereka bergegas membereskan perlengkapan ke dalam mobil. Mereka tidak pernah kecewa atas hasil yang mereka raih. Mereka sudah menganggap ini sebuah prestasi. Dan harus ditingkatkan lagi untuk mencapai yang lebih baik dari ini.
                Anis mendapati air muka Kelma yang pucat pasi. Jalannya gontai tak bersemangat. Segera ia mendekati Kelma dan merangkul lengannya. Ia tahu apa yang akan terjadi. Brakk!!
               
Anis sudah menduganya.
                “Kaaaak...Tolong!”
                Kakak-kakak senior yang sudah berjalan di depan sontak menyerbu Anis dan Kelma yang tersungkur di tanah. Cepat-cepat Kelma digotong ke ruang kesehatan untuk diberi pertolongan pertama. Lima menit berlalu barulah Kelma membuka matanya.
                “Kel? Kelma? Bisa lihat aku?”
                Sesaat telinga Kelma berdengung dan matanya hanya melihat bayangan banyak orang. Tapi setelah itu, akhirnya Kelma benar-benar sadar. Didapatinya Andre persis di sebelah kanannya, menggenggam lembut tangannya. Hangat.
                “Tolong kau antar saja dia pulang, Ndre. Pakai mobilku. Dia masih sangat terlihat lemah”, ucap Kak Rofta.
“Tapi apa kau tahu rumahnya?” tanya Kak Rian.
                “Aku hanya tahu daerahnya, persisnya mungkin Kelma bisa menunjukkan”, jawab Andre.
                “Baiklah. Tunggu apa lagi? Ayo bawa dia ke mobilku.”
***
                Kelopak matanya terlihat sayu. Tangannya dingin. Bibirnya kering dan memutih. Andre tak lepas dari pandangannya pada Kelma. Semburat kekhawatiran terulas pada air mukanya. Ia meremas lembut tangan gadis yang ia beri harapan.
                “Ndre...” ucap Kelma, lirih.
                “Pasti kau terlalu capek berlebihan. Tenagamu kau habiskan untuk lomba kemarin. Tapi kau hebat. Juara harapan satu utama itu sangat luar biasa.”
                Kelma mencoba bangkit untuk bersandar.
                “Jangan bangun. Tidurlah.”
                “Kau tidak pulang?” Kelma melirik jam mungil di tangannya.
                “Kalau kau sudah tidur.”
                “Kalau aku belum juga tidur?”
                “Akan ku paksa kau untuk minum obat tidur!”
Kelma tertawa samar.
                “Aku senang kau di sini, Andre”
                Andre menatap dalam-dalam. Matanya seolah bicarakan tentang cinta. Jutaan rasa yang asing menelusup tanpa izin. Kelma membalas tatapannya lebih dalam. Seutas harapan tentang lelaki yang dicintainya. Hubungan mereka saat ini bukan lagi sekedar teman. Kelma mengindahkan semua perlakuan Andre terhadapnya. Tiap kata manis yang keluar dari bibir Andre, sikap yang respek pada semua hal mengenai dirinya. Dan malam ini, keberadaan Andre di sisinya yang sedang terbaring lemah mampu membuatnya percaya dan yakin. Andre bukan sedang main-main.
                Semoga aku tak merasakan kecewa karenamu...
               
                “Ayo...Tidurlah. Apa kau tega membuatku terjaga semalaman karena mengkhawatirkanmu?” Andre membelai kepala Kelma dengan penuh kasih sayang. Kelma makin terkulai lemah atas sentuhan lelaki disampingnya itu.
                “Baiklah. Aku akan paksakan mataku untuk terpejam. Tapi setelah kau pulang. Biar aku melihat punggungmu di pintu sana.”
                “Kau yakin akan benar-benar tidur?”
                “Yakin.”
                “Apa kau tidak akan sedih bila melihatku keluar dari sini?”
                Kelma mengernyitkan dahi. “Hey! Pertanyaan macam apa itu?”
                “Hahaha..Oke oke. Aku yang salah, malah melontarkan pertanyaan bodoh. Yang jelas-jelas aku sudah tahu jawabannya.”
                “Memangnya apa?”
                “Jawaban dari pertanyaan tadi pasti...YA!”
                Kelma mendengus sebal. Tapi ia bahagia.
                Sebelum pulang, Andre menyempatkan untuk merapikan tempat tidur Kelma dan menyelimuti tubuh lemah itu dengan selimut tebal. Kemudian kembali terduduk di samping Kelma, dan didekatkan wajahnya pada wajah Kelma. Tangannya menggenggam kuat. Mata mereka kembali beradu. Semakin dekat dan menunduk.
                Di tengah-tengah Andre menghentikan wajahnya yang mendekat hingga jarak hanya satu sentimeter. Terhirup angin panas dari hidung Kelma akibat suhu tubuhnya yang meninggi. Wajah mereka begitu dekat. Seutas senyuman tersungging di bibir Andre.
                “Aku sadar, ini belum saatnya. Aku hanya ingin melihat lebih dekat bola matamu.” Tangan Andre yang lain mengusap kening Kelma penuh kasih. “Selamat malam, Bidadariku. I will love you for a thousand years.”
                Andre mengangkat kembali tubuhnya dan bangkit untuk berdiri.  Dieratkannya jaketnya dan melangkah perlahan untuk keluar. Berat hati yang dirasakan Kelma tersembunyi dalam dasar hatinya. Sebelum pintu tertutup rapat memisahkan dunia mereka, Kelma melambaikan tangannya seraya berkata i love you dengan senyum lirihnya. Dan itu berhasil dilihat Andre.
***
                Pembagian hasil ujian akhir semester akan dilaksanakan esok hari. Pertanda libur panjang akan tiba. Banyak orang sudah membuat daftar liburan mereka untuk dihabiskan bersama orang-orang terkasih. Tentu Kelma juga sudah menyiapkan semua hal untuk mengisi waktu liburannya. Di malam tahun baru nanti, Kelma ingin mengajak Andre untuk mengunjungi bukit di Lembang. Di sana pastinya akan terkesan romantis dengan percikan api warna-warni di langit hitam. Mereka akan memadu kasih berdua lebih intim. Saling berbagi kasih yang mereka punya. Bertukar lagu cinta dalam senandung asmara yang bergejolak.
                Tapi sudah satu minggu Kelma tak mendapat kabar tentang Andre. Ia sudah berusaha untuk menghubunginya terlebih dahulu, menanyakannya pada senior dan sahabat di sekolahnya. Tapi tidak ada jawaban yang sesuai dengan harapannya. Andre menghilang tanpa ada yang tahu alasannya. Tentu kecemasan melanda Kelma hingga detik ini.
                Di mana dia? Tidak ada yang tahu.
***

Juli, 2017.
Berbulan-bulan Kelma bergelut dengan perasaannya yang kini berbalik gundah. Ketenangannya terusik oleh khawatir yang usil bersinggah. Apa marah atau memaklumi, Kelma masih belum paham tentang apa yang harus ia lakukan. Kelana kesana-kemari tak kunjung mengisi semua deret pertanyaan dalam hatinya. Tak segan Kelma menangis dihadapan teman-temannya seraya menceritakan semua persasaannya. Berhari-hari sampai kelopak matanya membengkak dan menutupi setengah bola matanya.
                Kelma teringat janji yang dulu diucap Andre. Bahwa ia menunggu waktu yang tepat untuk mereka jadi lebih pasti. Tapi sampai bulan ini, ia lagi nampak dengan kata-kata manisnya dan sikap respeknya. Hampir setengah tahun Kelma frustasi dengan semua yang sedang terjadi. Belum ada jawaban atas apa yang ia tanya-tanyakan. Tak ada wujud dan kepastian yang tertera di hadapannya.
                Mungkin semua sudah tak bernilai. Hingga ia berlalu tanpa pamit.

                Kelma mencoba melupakan semua peristiwa-peristiwa yang sempat membuatnya berani berimajinasi. Ia sadar bahwa kegundahannya tidak membuahkan apapun selain kemunduran dalam cara melalui hidup. Waktunya habis untuk melayani kecemasan dan amarah yang tak pernah lupa untuk mampir. Untunglah teman-temannya memahami apa yang dirasakan Kelma. Mereka tak henti menyemangatinya dan berusaha mengalihkan pikirannya tentang masa lalu.
                Dirinya beruntun dikelilingi cinta dan kasih sayang yang begitu besar tanpa pamrih. Juga tanpa ada janji yang muluk-muluk, sehingga membuat resah jika janji itu hanya berupa kekosongan.
***

Desember, 2017.
                Pagi-pagi sekali Kelma sudah diharuskan untuk mengantar adik pertamanya ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor, sehubungan dengan adiknya yang akan menjadi petugas upacara. Senin pagi tak luput dengan kemacetan para pengendara yang berebut jalan.
                Selepas mengantar adik, Kelma bergegas menuju kantor. Hari ini sepertinya hanya setengah hari kerja. Karena besoknya libur tahun baru. Dia berencana di sore hari untuk belanja terompet untuk adik bungsunya. Bersama Anis ia pergi menuju alun-alun kota.
                “Nis, aku ingat tahun lalu aku sempat punya rencana. Menghabiskan malam tahun baru dengan...”
                “Andre!”
                “Hahaha...Kau pandai menebak. Tentu, siapa lagi orang yang aku galaukan selain Andre.”
                “Iya, Andre. Itu Andre!”
                “Kamu bicara apa sih?”
                “Coba kau lihat arah jam sepuluh.”
                Perlahan mata Kelma melebar ketika melihat Andre berdiri tak jauh dari tempatnya terduduk. Andre mulai mendekat dengan sedikit keraguan. Kelma mendengar degup jantungnya sendiri yang mendadak ricuh. Saat dirinya dan Anis berdiri, kaki dan tangannya gemetar manakala Andre semakin dekat dengan mereka.
                “Hey!” Itu kata pertama yang baru terdengar lagi dari mulutnya.
                “Kemana saja kau? Sudah satu tahun aku tidak melihatmu. Semenjak...” Anis ragu melanjutkan kalimatnya, “...lomba waktu itu.” Anis menggigit bibir. Merutuki kalimat yang baru saja ia keluarkan. “Hey, Kelma. Kau punya riwayat dehidrasi kan? Aku akan belikan minuman, biar elektrolitmu bertambah. Oke!”
                “Anis, tidak perlu!” teriakkan Kelma tidak mampu menghentikan Anis yang berlari dengan alasan mau membeli minum.
                Mereka berdua kini duduk bersebelahan. Dengan suasana kikuk yang meliputi mereka. Tak ada yang berani memulai. Masing-masing sibuk menyusun kata untuk dijadikan kalimat.
                “Bagaimana kabarmu? Apa kau akan memberitahu kabarmu?” Kelma memberanikan diri untuk memulai percakapan, yang walaupun sedikit membuat Andre bingung.
                “Aku baik. Kau sendiri? Apa masih suka pingsan?” suaranya terdengar canggung.
                “Tidak. Aku sehat. Fisikku makin kuat. Aku baik-baik saja secara lahiriah.”
                Jawaban Kelma membuat Andre tercengang. Ia paham maksud Kelma mengatakan itu. Sesaat mereka kembali membeku. Keduanya belum pernah lagi saling bertatap muka. Kelma hanya memainkan kakinya yang menggantung.
                “Apa kau mau mendengarkan ceritaku?”
                Kelma berfikir sejenak.
                “Tentu.”
                “Kelma...” Andre menghadapkan tubuhnya pada Kelma. Dan Kelma pun terpaksa menoleh untuk tanda menghargai. “Selama aku pergi, apa yang kau lakukan?”
                “Apa maksud pertanyaanmu?”
                “Begini. Apa kau mencariku? Mencari tahu tentang keberadaanku? Mencemaskan aku? Memikirkan aku?”
                Kelma mengalihkan wajah dan melempar pandangannya ke tengah alun-alun kota. Matanya seolah memandangi macam-macam manusia yang lalu-lalang. Padahal hati dan otaknya terfokus pada Andre.
                “Apa kau anggap itu pertanyaan bodoh?” Andre terus bertanya, tapi Kelma tak kunjung menjawab. Ia mendesah.
                Suasana kembali kikuk.
                Cuma dengungan terompet yang berlomba siapa yang paling merdu. Hatinya berteriak memanggil nama orang yang ia cinta.
                “Haruskah aku menjeritkan semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan bodohmu? Haruskah ku jabarkan detail atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan bodohmu? Apa kau akan melihatku rendah jika aku menjawab pertanyaan-pertanyaan bodohmu? Oh, Andre...” Kelma terisak bersamaan dengan tiupan terompet. Tangannya menutup wajahnya sekaligus untuk menopang kepala.
                Andre cemas melihat Kelma demikian.
                “Aku tahu aku salah. Ya, terlalu salah. Terlalu hina untukmu yang begitu suci. Aku harap kau mau menjeritkan semua jawaban yang aku butuhkan. Tapi ketahuilah, aku tak akan dan tak pernah menganggapmu rendah.”
                “Ya. Selama kau pergi, aku mencarimu. Mencari tahu keberadaanmu, mencemaskanmu, memikirkanmu. Lalu apa?” Kelma mulai kembali mengangkat kepala. Nada bicaranya masih tenang tanpa emosi yang meledak-ledak.
                Andre bangkit. Memposisikan dirinya berlutut di depan Kelma. Meraih tangan gadis di depannya dengan lembut seperti dulu.
                “Kelma...Aku sudah menemukan waktu yang tepat itu.”
                Kelma menghentikan isakannya dan menatap Andre yang kini seperti menyembahnya untuk kembali.
                “Selama satu tahun ini, aku fokus pada sekolahku. Karena aku bertekad untuk lulus dengan nilai terbaik, dan supaya bisa lolos pada seleksi pekerjaan di kantor development milik teman Ayahku. Dan kau tahu? Aku berhasil.”
                “Maksud dari waktu yang tepat itu adalah waktu di mana aku bisa langsung meminangmu. Karena dari awal aku sudah yakin kalau kau yang terbaik untuk hidupku. Tapi meminang seorang gadis bukan perkara sepele. Butuh kesiapan yang matang. Dan sekarang, aku kembali dengan semua kematangan yang telah aku siapkan. Syukurnya aku bisa dibilang berhasil dalam karir. Sekarang aku punya sedikit tabungan untuk kita. Jelas aku tersiksa saat jauh darimu. Aku sempat ingin menyerah dengan tekadku.”
                “Ya, aku tahu kita masih sangat muda. Tapi meminang lalu mengikatkan diri dalam tali pernikahan, bukan berarti setelah itu harus memiliki anak dan mengurusi rumah tangga yang serius. Kita bisa pacaran lebih lama setelah menikah.”
                Kelma seperti terbangun dari mimpi buruk. Ia tak menduga Andre sedemikian serius padanya, sampai merencanakan semua hal. Dan mengorbankan perasaan dirinya sendiri juga perasaannya. Pemikirannya begitu dewasa. Jauh dari prasangkanya selama ini.
                “Apa kau percaya, Kelma? Apa kau terima semua maksudku?” Andre masih berlutut dengan genggamannya yang tak lepas selama ia bercerita. Kelma tak tahu apa yang harus dikatakannya. Perasaannya seperti dikoyak-koyak. Ia pun menyadari pipinya basah terkena air yang mengalir dari matanya.
                “Andre...”, panggil Kelma. Lirih.
                “Ya?”
                “Aku bingung.”
                “Bingung kenapa?”
                “Bingung tentang apa yang harus ku katakan. Ceritamu berhasil membuatku terkepung.”
                Andre yang kini berdiri dengan kedua lututnya, tangannya beralih memegang pipi basah di hadapannya dan mengelap air yang membuatnya lembab.
                Sontak Kelma balas memegang kedua tangan yang menopang kepalanya. Posisi mereka kini benar-benar saling berhadapan. Beruntung tempat mereka duduk agak tersembunyi di sudut alun-alun yang jauh dari jangkauan.
                “Biar hatiku yang membaca hatimu. Jangan paksakan pikiranmu untuk menyusun kalimat yang tak mampu kau ucap.”
                “Ndre...Apa kau masih serius dengan rencanamu?
                “Rencana yang mana?”
                “Tadi bukankan kau bilang akan meminangku?”
                “Oh ya, tentu.”
                Keduanya menampakkan senyum bahagia. Tanpa melihat sekeliling, Andre mendaratkan ciuman di kening gadis yang akan menjadi pendamping hidupnya.
                “Kau yang terindah, Bidadariku. I’ll love you for a thousand years...
                And I’ll love for a thousand more.."